Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Tanggung jawab

 

 

  Panas matahari menusuk kulit. Awan-awan seolah memberi jalan, membiarkan cahaya mentari menyinari bumi tanpa penghalang. Burung-burung berkicau merdu di atas dahan, sebagian beterbangan membelah langit. Daun-daun bergoyang pelan tertiup angin, menciptakan irama yang samar namun menenangkan.

  Jalanan setapak tampak lengang. Yang terdengar hanyalah derap langkah dua saudara yang baru saja pulang sekolah, menyusuri jalan menuju rumah mereka yang terletak di ujung kampung.

  Lenard, sang adik, sesekali melirik jalan di depan, lalu kembali menatap kakaknya. Naln, sang kakak, belum juga mengeluarkan sepatah kata pun sejak tadi.
Wajahnya tampak aneh, hening dan sulit ditebak.

  "Kakak kenapa, kok diem aja?" Lenard akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

  "Kakak cuma capek, nggak ada apa-apa kok." Naln menoleh, menatap adiknya dan menyunggingkan senyuman kecil.

  Tapi Lenard tahu. Itu bukan senyuman yang tulus, itu hanya senyuman yang dibuat agar dirinya tidak khawatir. Dan alasan itu… selalu sama. Setiap kali Naln sedang punya masalah, lalu di tanya oleh Lenard, ia pasti menjawab dengan alasan “capek”.

  Lenard mengangguk pelan, memilih diam daripada membuat kakaknya kesal jika terus-menerus bertanya tanpa hasil. Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Naln, tapi ia juga  tahu, memaksa bukan cara yang tepat. Lenard menarik napas, mencoba mencairkan suasana.

 "Kakak, mau latihan lagi ke hutan?" Naln tidak langsung menjawab. Langkahnya tetap tenang, tapi ada jeda dalam suaranya saat akhirnya berkata,

  "Sepertinya… iya." Senyuman langsung merekah di wajah Lenard.

  "Kalau begitu ayo! Untung kita belum kelewatan hutannya." Naln melirik adiknya, lalu tersenyum. Kali ini, lebih tulus.

  Beberapa menit melangkah, akhirnya mereka sampai juga di hutan, tempat yang sudah seperti base camp pribadi bagi keduanya. Di sanalah mereka biasa berlatih, atau mencari kayu bakar untuk sang ibu.

  Langkah mereka berhenti di sebuah tanah lapang yang dikelilingi pohon tinggi menjulang.

  Naln menjatuhkan tasnya ke tanah, disusul oleh Lenard yang melakukan hal yang sama. Mereka duduk sebentar, membiarkan kaki dan pikiran beristirahat sebelum memulai latihan.

  "Kakak, mau nanya, boleh?" tanya Lenard tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi jelas terdengar. Naln menoleh, matanya menatap adiknya dengan tenang.

  "Boleh, mau nanya apa emangnya?"Lenard tampak ragu sesaat. Ia menunduk sebentar sebelum akhirnya bersuara.

  "Kakak tahu nggak... alasan Kak David ke ruang BK?" Seketika, tubuh Naln menegang. Nama itu kembali memanggil kenangan yang baru saja terjadi siang tadi. David...

  "E-emang David ke ruang BK?" tanya Naln, berusaha terdengar biasa saja.

  "Hmm, nggak tahu sih dipanggil atau bukan. Tapi tadi aku lihat Kak David ada di dalam. Muka-nya kayak panik gitu." Lenard berhenti sejenak, menimbang pikirannya.

  "Dibully kah? Tapi nggak mungkin ya... Kak David kan orangnya baik." Naln mengalihkan pandangannya. Tatapannya kosong menembus pepohonan.

  "Jangan mikir yang enggak-enggak deh, Lenard." Lenard tertawa kecil, agak canggung.

  "Hehe, maaf, Kak. Habisnya aku penasaran." Naln hanya mengangguk pelan. Tapi pikirannya tidak setenang seperti yang di tunjukan.

  Mereka beristirahat di sana selama sepuluh menit sebelum latihan dimulai. Suasana hutan tenang, hanya terdengar suara dedaunan yang bergoyang tertiup angin dan nyanyian burung yang samar dari kejauhan.

  Lenard masih duduk santai, memeluk lututnya sambil menatap sekeliling. Ia tampak nyaman, seolah hutan ini memang sudah seperti halaman rumah sendiri.

  Naln, di sisi lain, mulai bersiap. Ia berdiri perlahan, menepuk celana dari debu yang menempel, lalu menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, ekspresinya mulai berubah menjadi lebih serius. Latihan kali ini akan menjadi bagian dari rutinitas yang tak bisa ia lewatkan, bukan hanya untuk kekuatannya, tapi juga untuk pikirannya yang sedang tidak tenang.

 

***

 

  Keesokan harinya di sekolah, suasana tak seperti biasanya. Naln mendengar kabar yang mulai menyebar seperti angin kencang, tiga siswa dinyatakan hilang tanpa jejak. Gosip itu tak bisa dibendung, dari lorong kelas hingga kantin, semua murid membicarakannya.

  Namun, di tengah ramainya bisik-bisik dan rasa penasaran yang tercampur ketakutan, Naln justru dilanda kecemasan yang sulit dijelaskan. Saat pelajaran berlangsung, Naln duduk di bangkunya, tubuhnya tegak tapi pikirannya melayang entah ke mana.

  Guru yang mengajar bahkan ikut membahas kejadian itu. Dengan nada serius, beliau memberi nasihat kepada murid-murid agar selalu meminta izin kepada orang tua jika ingin pergi ke mana pun, tidak membolos, dan menghindari berbicara dengan orang asing.

  Nasihat-nasihat itu terdengar seperti bunyi gema di kepala Naln, memantul tanpa henti. Ia menahan napas, mencoba untuk tetap tenang, tapi dadanya terasa sesak. Keringat dingin mulai merembes di pelipis, meski cuaca di dalam kelas tak begitu panas. Ia tahu... Ia tahu sesuatu. Dan justru karena itu, ia semakin cemas.

  Lenard, ia juga tau gosip itu dari teman sekelasnya. Dengan rasa penasaran. Ia terus bertanya pada sang kakak. Tetapi Naln hanya menjawab  “tidak tau” atau alasan lain, namun dengan ekspresi yang…Aneh? Sebenarnya hal itu menambah kecurigaan Lenard terhadap kakaknya. Terlebih lagi, David sekarang menjadi saksi tentang hilangnya tiga siswa itu. Sudah ketebak kan siapa tiga siswa yang dimaksud? Ya, Vero dan dua rekannya.

  Di waktu Lenard melihat David yang di ruang BK, itu David sedang menceritakan Vero dan dua rekannya yang mencoba menyerangnya karena ia mengambil posisi juara satu di lomba LCC. Namun, saat guru BK dan David ke sana, ke belakang sekolah, tidak ada siapa-siapa. Tempat itu kosong. Sepi. Benda yang dimaksud David juga tidak ada. Tidak ada jejak. Tidak ada tanda perlawanan. Seolah-olah semuanya menghilang menjadi abu.

  Dengan itulah sang guru BK mengira David berhalusinasi, namun guru BK juga masih bingung, karena dari ekspresi panik David, menyatakan bahwa David tidak berbohong. Bahkan beberapa guru lain sempat membicarakan perilaku dan ekspresi David yang berubah drastis sejak hari itu.

  Semenjak saat itu, setiap David berpapasan dengan Naln dan tak sengaja mata mereka bertemu, wajah David menunjukkan rasa takut. Ia tak berani bertanya. Tapi Naln tahu. Dan David pun tahu, meski tak pernah benar-benar bisa menjelaskannya pada siapa pun.

  Sekarang, David lebih sering dipanggil BK hanya untuk sekadar ditanya soal kejadian itu. Perlahan, guru BK mulai menyadari bahwa laporan yang David berikan bukan halusinasi, melainkan kenyataan yang pahit. Vero dan dua rekannya memang benar-benar menghilang, entah ke mana.

  Kalian tahu? Berita itu menyebar cepat ke seluruh kampung. Salah satu wali murid dari tiga siswa itu melapor langsung ke kepala kampung. Warga pun ikut turun tangan, mencari keberadaan Vero dan dua rekannya. Namun, mereka belum tahu kebenaran yang sesungguhnya.

 

***

 

  Lenard… sekarang ia merasa sedang diperhatikan saat menemani sang kakak berlatih. Tapi kakaknya tampak sibuk. Memangnya kakak memperhatikanku? Nggak mungkin.

  Gresak-grusuk.

  Lenard spontan menoleh ke arah semak-semak tak jauh dari tempat ia duduk. Rasa cemas mulai menjalar ke pikirannya. Ia langsung berdiri. Mengambil langkah mundur. Tatapannya tak lepas dari semak-semak itu.

  Gresak-grusuk.

  Suara itu kembali terdengar. Rasa cemas Lenard semakin menjadi-jadi. Angin berembus pelan, membuat dedaunan ikut bergerak. Ia mulai memikirkan skenario aneh-aneh di kepalanya. Jangan-jangan… ada yang ngintip? Lalu…

  Meow~

  Seekor kucing abu-abu keluar dari balik semak-semak. Ekornya bergoyang santai, seperti tak terjadi apa-apa.

  Lenard terdiam. Jantungnya hampir copot. Ternyata cuma kucing. Ia mendesah panjang. Kesal… tapi juga lega. Sangat lega. Ia sempat membayangkan yang muncul dari semak-semak itu bukan kucing, tapi sepuluh ekor ular api.

  Ia masih ingat dengan jelas kejadian waktu itu, ketika ia dan kakaknya diserang tiba-tiba. Kakaknya nyaris mati. Untung saja Om Dareth datang dari langit untuk menyelamatkan mereka. Hehe.

  Tetapi, tetap saja , perasaan diawasi itu belum pergi. Seolah ada yang mengintip dari balik pohon, menunggu… mengamati.

  Bug!

  Lenard menabrak sesuatu.

  "Siapa itu!" Ia reflek berbalik badan, siap menyerang. Tapi… ternyata yang ia tabrak adalah kakaknya sendiri. Naln menatapnya bingung.

   "Kamu kenapa?" Lenard terdiam. Ia mencari alasan.

   "Eh… aku kira ini mimpi, kak… hehe…" Senyumnya ragu, jelas sekali sedang menyembunyikan sesuatu. Naln terkekeh pelan.

   "Kamu tidur, ya?" Lenard cepat-cepat mengangguk.

   "Iya. E-emang kakak udah beres?"

   "Udah, ayo pulang," kata Naln sambil menggantungkan tas ke bahunya.

  Begitu juga dengan Lenard. Mereka mulai melangkahkan kaki. Waktunya pulang. Matahari hampir tenggelam sempurna di balik cakrawala. Langit berubah jingga. Angin mulai dingin.

  Ingat… matahari nggak bisa berenang.

 

***

 

  Di sekolah, akhir-akhir ini guru-guru lebih fokus ke kasus yang sedang beredar. Terutama guru BK. Ia terus bertanya pada David, namun sekarang berbeda. Narasumbernya bertambah. Siapa?

   Naln.

  Naln yang sedang mengantuk di mejanya, nyaris tertidur, tiba-tiba terlonjak ketika mendengar suara Pak Mat.

  "NALN! Ke ruang BK sana!" Sekejap, rasa kantuk hilang. Lenyaap. Di gantikan rasa cemas yang mulai menggulung di dalam dadanya. Setiap langkah menuju ruang BK seakan membuat pikirannya semakin berat. Apa yang akan ditanyakan? Apakah ini tentang…itu?

  Sampailah ia di depan pintu ruang BK yang sedikit terbuka. Dari sela pintu, terlihat David dan Bu Dea, guru BK. sudah menunggu. Naln berdiri sejenak di ambang pintu, mengatur nafas. Lalu masuk.

  Bu Dea mempersilakan Naln duduk. Kursinya… di samping David. Hal itu membuat David gelisah. Ia melirik Naln, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Tatapan Bu Dea tertuju pada kening Naln. Retakan itu… terlihat lebih jelas sekarang.

  "Kau sudah berlatih kekuatanmu, Naln?" Pertanyaan itu datang mendadak. Tidak seperti biasanya. Naln terdiam. Gugup.

  "I-iya..." jawabnya pelan.

  Bu Dea mengangguk kecil, mencatat sesuatu di lembarannya. Suara pena terdengar jelas di ruangan yang hening.

  "Sudah pernah kekuatanmu aktif… tanpa kendali darimu?" Naln hanya mengangguk. Kali ini, mulutnya susah terbuka. Catatan kembali tercetak di kertas.

  "Apa benar kamu mencoba menolong David saat ia tengah… terpojok?" Naln menoleh ke arah David sekilas. Ia mengangguk.

  "Lalu kau menyuruh David lari?" Lagi-lagi, Naln mengangguk. Bu Dea meletakkan penanya sejenak. Lalu menatap langsung ke mata Naln.

  "Oke… pertanyaan selanjutnya, Ibu harap kau menjawabnya dengan jujur. Karena kunci jawaban dari semua ini... mungkin ada di kamu." Ia diam sejenak. Suara jam dinding terdengar, mengisi ruang yang makin terasa sesak.

  "Apa yang kau lakukan kepada Vero dan dua rekannya?"

  Ruangan seketika menjadi sunyi. Lebih sunyi dari sebelumnya. Bahkan suara napas terdengar jelas. David menunduk, tak berani menatap siapa pun. Naln masih terdiam. Matanya tajam... tapi penuh beban.

 

***

 

  Pulang sekolah kali ini berbeda. Yang biasanya sang kakak berjalan berdua dengan adiknya, sekarang berjalan berdua dengan seorang guru, Bu Dea. Pasti kalian penasaran, kenapa Naln berjalan bersama Bu Dea setelah pulang sekolah? Ke mana mereka?

  Tujuan mereka adalah rumah Bu Tia. Ingat Bu Tia? Ibu-ibu yang dulu secara tidak sengaja Naln hipnotis saat sedang menemani Lenard bermain di TK.

  Sejak kejadian itu, Bu Tia masih dalam kondisi yang sama, duduk diam, pandangan kosong, seolah waktu berhenti di tubuhnya. Tapi sang suami, lelaki yang tabah, dengan penuh sukarela merawat istrinya. Setiap hari.

  Mereka punya seorang anak. Dan anak itu, kebetulan... sekelas dengan Lenard. Lenard beberapa kali bercerita, bahwa anak itu sekarang lebih sering diam di kelas. Kadang menangis tiba-tiba. Tidak menjawab saat ditanya. Ia hanya menunduk dan memeluk bukunya erat-erat.

  Lenard bilang, mungkin anak itu rindu ibunya. Rindu dengan pelukan hangat, dengan suara lembut sebelum tidur, dengan kata-kata sederhana seperti,

   “Mimpi yang indah." Atau

   "Ibu bangga padamu." Naln mendengar cerita itu dalam diam. Ada rasa yang mengganjal, tapi ia belum tahu apa.

  Langkah Naln dan Bu Dea semakin mendekat ke rumah itu. Rumah kecil dengan pagar besi rendah dan tanaman rambat di terasnya. Rumah yang dulu tampak ceria. Sekarang… sepi, seperti menunggu waktu untuk bicara.

  Dan di sinilah mereka. Di depan pintu yang sama. Menunggu seseorang membukakan… atau menunggu masa lalu mengulangi ceritanya kembali.

  Saat di ruang BK, selain ditanya tentang kejadian Vero dan dua rekannya, Naln juga mendapat pertanyaan yang membuat dadanya semakin berat.

  "Apa yang kau lakukan pada Bu Tia?" Tanya Bu Dea dengan nada tenang, namun tegas.

  Naln terdiam beberapa saat, lalu perlahan mulai bicara. Ia menceritakan semuanya. Jujur. Tanpa ditutup-tutupi. Tentang saat itu, ketika ia sedang menemani Lenard bermain di TK.

  Tentang bagaimana Bu Tia membicarakannya dari kejauhan, mengoloknya, menertawakan retakan hitam di keningnya. Dan bagaimana semua itu memicu kekuatannya… yang saat itu belum ia kuasai sepenuhnya. Tentang pandangan Bu Tia yang perlahan kosong, tubuhnya yang kaku, dan kesunyian yang tercipta sesudahnya.

  Bu Dea mendengarkan tanpa menyela. Tidak marah. Tidak menghakimi. Ia tahu... semua itu memang tanpa sengaja. Namun tetap saja, jika seseorang memiliki kekuatan, maka ia juga harus memiliki tanggung jawab.

  Kini saatnya Naln menghadapi hal itu. Dengan keberanian untuk bertanggung jawab.

  Maka, Bu Dea dengan sukarela mengantar Naln ke rumah Bu Tia. Ia tidak memaksa Naln. Tapi Naln mengerti sendiri. Sudah waktunya.

  Langkah mereka menyusuri jalan kampung yang mulai senyap menjelang senja. Naln tahu, perjalanannya hari ini bukan soal pulang atau pergi. Tapi soal menghadapi masa lalu… dan memulihkan sesuatu yang sempat ia hancurkan.

  Bu Dea mengetuk pintu rumah Bu Tia. Setelah beberpa detik menunggu, suara langkah kaki yang mendekat terdengar dari balik pintu.

  Cklak!

  Suara kunci diputar searah jarum jam, menandakan pintu telah dibuka oleh sang pemilik rumah. Tampak seorang pria sekitar umur tiga puluhan, berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap berusaha ramah saat melihat Bu Dea.

  Tapi... saat matanya bergeser dan melihat anak di samping Bu Dea, Naln, wajahnya seketika berubah. Keramahan itu memudar, digantikan oleh gurat amarah dan luka yang lama tertahan. Sorot matanya tajam, dan raut mukanya tegang.

  Bu Dea menyadari perubahan itu. Ia tahu, suasana bisa memburuk jika tidak segera dinetralisir. Maka, dengan tenang, ia mulai bicara.

  "Maaf, Pak Budi. Saya tahu ini mendadak… tapi maksud kedatangan kami ke sini adalah… untuk mengantar Naln." Ia menoleh sedikit pada Naln, lalu melanjutkan.

  "Dia ingin bertanggung jawab… atas kondisi Bu Tia sekarang."

  Pak Budi tidak langsung menjawab. Ia menatap Naln tanpa berkedip. Sorot matanya seperti hendak menembus isi kepala bocah itu. Lalu, bibirnya bergerak, namun bukan untuk menyambut.

  "Memangnya, kau bisa?" Nada suaranya tak terdengar seperti pertanyaan, lebih menyerupai sindiran yang tajam dan menusuk.

  Naln menunduk, bukan karena takut, tapi karena tahu... ucapan itu bukan tanpa alasan. Ia bisa merasakan beban yang tak kasat mata dari rumah ini, kesepian, kehilangan, dan amarah yang menggantung.

  Bu Dea melirik Naln. Ia memberi kode halus agar tetap tenang. Pak Budi menghela napas berat, lalu membuka pintu lebih lebar. Masih dengan tatapan yang sama, ia berkata pelan,

  "Masuklah, kalau memang mau mencoba."

  Langkah Naln terasa berat saat memasuki rumah itu. Rumah yang pernah menjadi tempat tawa seorang ibu yang kini hanya menyisakan keheningan.

  Dan mungkin, penebusan tak selalu dimulai dengan kata maaf. Tapi dari keberanian untuk hadir dan tanggung jawab… meski tahu tak akan disambut.

  Pak Budi mengantarkan Bu Dea dan Naln ke salah satu ruangan di rumah itu. Langkah-langkah mereka bergema pelan, seolah tak ingin membangunkan suasana yang sudah terlanjur beku. Sesampainya di depan pintu, Pak Budi membuka knop pelan. Dan begitu pintu itu terbuka…

  Tampaklah Bu Tia.

  Masih dalam posisi yang sama seperti saat Naln pertama kali menghipnotisnya. Tubuhnya kaku, duduk di atas kasur dengan punggung yang sedikit membungkuk, tangan tertata rapi di pangkuan. Kepalanya menengadah sedikit, namun tatapannya...Masih kosong.

  Mata Bu Tia sebelumnya melotot tak berkedip dan sekarang ditutup dengan kain tipis oleh Pak Budi. Bukan untuk menutupi dari pandangan orang, tapi untuk mencegah iritasi… agar tidak semakin parah.

  Namun bahkan dengan kain itu, bayangan matanya yang dulu masih terbayang jelas di ingatan Naln. Naln tahu, mengapa Bu Tia sebagai korban hipnotisnya hanya bisa berdiam dan membeku. Tidak seperti...

  Karna Naln tidak melepaskan pengaruh kekuatannya. Tidak menuntun pikiran yang ia kunci. Dibiarkan Begitu saja. Karna pada saat itu Naln belum tahu bahwa ia memiliki kekuatan seperti ini.

  "Tunggu apa lagi?" Suara Pak Budi memecah keheningan.

  "Cepat kembalikan istri saya." Nada itu keras, namun menahan—seperti bara yang belum menyala sempurna.

  Pak Budi menatap Naln tajam. Lalu, tanpa diduga, ia mendekat. Membungkuk sedikit ke telinga Naln, lalu berbisik,

  "Jika kau tak berhasil, lebih baik kau pergi dari kampung ini... sekalian dari dunia ini.
Kau membuat keluargaku yang awalnya ceria, tanpa masalah... malah hancur karenamu."

  Suaranya pelan, namun cukup membuat hati Naln tertusuk. Nafasnya tertahan seketika.

  Pak Budi mendorong Naln pelan ke arah Bu Tia.

  "Jika kau hanya berdiri di situ, berarti kau memang tidak bisa. Hanya sok-soan." Naln menelan ludah. Tenggorokannya kering. Kakinya terasa berat seperti tertanam. Tapi ia tetap melangkah.

  Sampai akhirnya, ia sampai di hadapan Bu Tia. Tangannya gemetar saat menyentuh kain tipis penutup mata itu. Dan ketika ia membuka penutupnya…

  Tampak mata Bu Tia. Merah. Kering. Tak berkedip sedikit pun, namun tampak perih. Seolah menahan sakit yang tak bisa ia ungkapkan. Naln hampir tak bisa menahan rasa bersalah yang semakin dalam.

  Bu Dea yang menyaksikan di belakang menahan napas. Ada rasa ngeri… dan iba. Sedangkan Pak Budi, berdiri diam… namun wajahnya berubah. Tatapan tajamnya perlahan tenggelam dalam kesedihan. Matanya mulai berkaca. Tapi tak setetes pun air jatuh. Karena yang lebih menyakitkan dari air mata…adalah luka yang tak bisa ditangisi.

  Naln menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang. Tangan di sisi tubuhnya menggenggam celana panjangnya sendiri, menyalurkan gugup yang mulai melonjak.

  "Tenang, Naln... lupakan dulu kata-kata bapak-bapak itu. Fokus pada tanggung jawabmu." Sebuah suara tanpa wujud, namun terasa akrab, melintas begitu saja di telinganya. Bukan bisikan dari luar, tapi dari dalam dirinya, itu Alam. Cukup untuk menenangkan pikirannya yang sempat kacau.

  Naln menatap mata Bu Tia. Seraya Mencoba mengingat saat ia berlatih… Saat menghadapi sepuluh ular api yang juga terpengaruh hipnotisnya. Ia membayangkan sebuah tali tipis yang tersambung dari kepalanya ke kepala Bu Tia. Tali itu berdenyut perlahan, menyala samar, pertanda kekuatan masih mengikat korban.

  Naln menarik napas sekali lagi. Lalu... membayangkan tali itu putus.

  Tssss—!

  Sebuah suara kecil terdengar di pikirannya. Naln langsung menghela napas dengan lega. Keringat dingin yang sempat menetes dari pelipisnya perlahan berhenti.

  Sosok yang duduk di hadapannya, Bu Tia, perlahan mulai berkedip. Kelopak matanya bergerak dengan kaku. Lalu, tangan kurusnya perlahan mengangkat, mengucek mata yang jelas terasa perih.

  Naln tersentak kecil, lalu mengambil langkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Sampai ia berada di samping Bu Dea.

  Di Saat yang sama, suara kaki terdengar dari sisi ruangan. Pak Budi yang sebelumnya berdiri mematung, kini berjalan cepat, nyaris berlari menuju istrinya. Wajahnya bukan lagi penuh emosi... tapi gembira. Ia memeluk istrinya pelan dari samping, seperti takut jika pelukannya terlalu kuat akan merusaknya.

  Bu Tia perlahan menoleh, meski masih lemah.  Sorot matanya masih buram, tapi cukup untuk mengenali siapa yang ada di sisinya.

  Bu Dea yang menyaksikan semua itu ikut tersenyum. Matanya tampak lega, bahkan sedikit berkaca.

  Sedangkan Naln...

  Ia tetap berdiri di tempatnya. Matanya memandang kosong ke arah lantai. Dingin. Sunyi. Bukannya merasa senang…Justru ada rasa aneh yang tumbuh perlahan dari dalam dadanya.
Bukan bangga. Bukan puas. Tapi...

  Takut.

  Entah kenapa, hatinya terasa berat. Seolah sesuatu yang buruk sedang menunggu… hanya tinggal menghitung waktu. Dan ia tidak tahu dari arah mana itu akan datang.

  Tapi Naln sadar... Ketenangan ini hanya sementara. Dan ia harus Bersiap dengan tantangan baru yang akan dia hadapi.

  Apa pun itu.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lantunan Ayat Cinta Azra
815      535     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Segitiga Sama Kaki
589      416     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Metanoia
46      39     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Sebab Pria Tidak Berduka
112      93     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Bisikan yang Hilang
63      57     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Sendiri diantara kita
934      570     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Ruang Suara
189      130     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...