Di balik semak-semak
Naln melangkah pelan di atas tanah yang basah dan dingin. Suara kresak-kresuk dari langkahnya terdengar jelas, seolah menggema di antara keheningan hutan yang familiar ini. Di sekelilingnya, pohon-pohon tinggi menjulang, kurus dan sunyi, dengan daun-daun yang hanya tersisa sedikit di ranting-ranting kering mereka.
Langit malam tampak terbuka lebar, memperlihatkan bulan yang bulat sempurna menggantung di atas sana, memancarkan cahaya terang yang membuat segalanya tampak seperti mimpi. Atau mimpi buruk.
"Ini tampak familiar... apa aku bermimpi lagi?" gumam Naln pelan, matanya menyapu setiap sudut hutan yang masih samar tertutup kabut tipis.
Langkahnya terhenti. Dadanya bergemuruh, bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang perlahan menyusup dari dalam. Ia mengenali tempat ini. Pohon-pohon yang menjulang tanpa suara. Cahaya bulan yang terang menyinari jalan setapak yang tak pernah ia lewati dalam dunia nyata… tapi sangat familiar dalam pikirannya.
“Ini... hutan itu,” batinnya.
“Tempat aku bertemu dengannya.”
Wajah pria itu kembali muncul dalam benaknya, rambut putih yang pekat dan berantakan, mata yang seolah bisa menembus jiwa, menatap lurus ke dalam dirinya dengan pandangan tajam. Sorot matanya seperti menahan rahasia yang tak ingin diketahui siapa pun, namun sengaja ditunjukkan pada Naln.
“Apakah dia akan muncul lagi?”
Pertanyaan itu menggantung di antara gemerisik daun dan desir angin malam. Ketakutan yang dulu sempat terkubur kini mulai merayap kembali, mencengkram benaknya. Mimpi itu... saat kakinya ditarik, saat suara-suara memanggil dari dalam kegelapan, saat ia menutup telinga dan berteriak "Hentikan!"
Kenangan itu kembali, seperti tayangan yang diputar ulang paksa dalam kepala. Naln memejamkan mata sejenak, menarik napas, mencoba menetralisir rasa takut yang perlahan berubah menjadi gemetar halus di tangannya. Naln menutup matanya sejenak, untuk menangkan dirinya.
Namun saat ia membuka mata...
Naln menelan ludahnya perlahan. Entah mengapa, posisi Naln tiba-tiba berada tepat di batas lahan berbentuk lingkaran itu.persis sperti mimpi sebelumnya, Hening. Seakan hutan menahan napas.
"Apa ini...?" batinnya, matanya tertuju pada satu-satunya hal yang mencolok di tengah lingkaran itu. Sebuah pohon tinggi, tegak. Namun bukan itu yang membuatnya terpaku.
Simbol itu. Dua segitiga. Satu mengarah ke atas, satu ke bawah. Salin bertumpuk, berdampingan, membentuk pola yang aneh.
"Ini persis seperti mimpi itu…pohon dengan symbol aneh?" pikirnya sambil memegangi dadanya yang mulai terasa sesak. Naln mendengar langkah kaki dari seberang, terdengar pelan namun cukup membuat bulu kuduk Naln tegang.
Penasaran ingin melihat. Tapi pandangannya terhalang oleh kegelapan. Tak ada cahaya yang masuk ke sana untuk melihat siapa yang datang dari balik bayang pepohonan. Lalu, terdengar suara aneh, suara yang tak bisa di jelaskan oleh kata-kata.
Tiba-tiba, pohon di depannya, pohon dengan simbol dua segitiga, bergetar pelan. Tanpa peringatan, permukaannya mulai retak, dan dalam hitungan detik, pohon itu hancur menjadi abu. Seperti sisa pembakaran, abunya melayang ringan ke udara, terbawa angin yang tak terasa sebelumnya.
Dari sisa abu itu, muncul sebuah tangan, keluar perlahan dari bayangan di balik pohon. Kulitnya tampak pucat, dan di telapak tangannya ada semacam aura abu yang berkabut dan aura hitam yang berkobar seperti api.
Tangan itu tidak bergerak lama. Ia perlahan ditarik kembali ke dalam gelap.
Dan tak lama setelah itu, sesosok pria melangkah keluar dari balik kegelapan. Rambutnya putih pekat. Wajahnya belum sepenuhnya terlihat, tapi Naln tahu siapa dia.
Naln semakin menegang. Nafasnya naik turun. Jantungnya berdegup lebih keras dari sebelumnya. Ketakutan perlahan merambat dari punggungnya ke ujung jari. Dia datang lagi.
Pria itu melangkah pelan. Sepatunya menjejak tanah basah tanpa suara, seolah bumi pun enggan memprotes kehadirannya. Cahaya bulan perlahan menyibak sebagian wajahnya yang berkulit pucat, mata kelam seperti sumur tanpa dasar, dan garis senyum yang entah ramah… atau berbahaya. Naln mundur satu langkah. Tangannya mengepal.
“Siapa kamu sebenarnya?” Pria itu tidak langsung menjawab. Ia memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang mengamati Naln untuk pertama kali, padahal ini bukan pertemuan mereka yang pertama. Ia terkekeh.
“Apa kau takut padaku, Naln?” tanyanya pelan, dengan senyuman mengejek. Naln tidak menjawab. Tenggorokannya kering.
“Padahal kita sudah sangat… dekat.” Pria itu melangkah lebih dekat.
“Retakan itu…Apa kau tahu, retakan itu lah yang membuat kita dekat?” Naln memelototinya, mencoba menahan gemetar pada kakinya.
“Kau yang melakukannya? Membuat retakan ini hadir dalam hidupku?.” Pria itu tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya yang tadi muncul dari kegelapan. Di sekitarnya, abu kembali berputar pelan, seolah menari mengikuti gerak jarinya.
“Bukan aku,” katanya tenang.
“Tetapi retakan itulah yang memilih sendiri.” Naln mengerutkan kening.
“Apa maksudmu?”
"Retakan itu… bukan sesuatu yang bisa kupilih. Ia hadir… dengan sendirinya, memilihmu seperti dulu ia memilihku." Senyum miring terukir di bibir pria berambut putih itu, samar namun penuh makna kelam.
"Karena kita memiliki retakan yang sama… kau berhak mencariku. Di tempat berbahaya yang disebut Deringle. Hutan itu akan membawamu padaku. Dan ketika kau menemukanku, aku dengan senang hati akan melatihmu…" Ia melangkah pelan, abu tipis masih mengambang di sekitar tangannya, menciptakan bayangan aneh di udara malam.
"Ada kekuatan besar yang tersembunyi di balik retakan itu. Kekuatan yang belum kau pahami… belum kau pakai. Tapi ia ada. Menunggu dipanggil keluar." Pria itu menatap tajam ke arah Naln, matanya berkilat seperti bara.
"Jika kau ingin kekuatan itu bangkit, dan aku tahu kau menginginkannya, maka datanglah. Aku akan melatihmu hingga retakan itu tak lagi menjadi aib… melainkan senjata. Kau akan mampu membungkam semua yang pernah menghinamu. Memusnahkan manusia-manusia sampah yang hanya bisa mengolok-olok orang lain. Aku akan mendukung mu. Bahkan membantu." Suaranya menegang, namun nadanya seperti ajakan lembut.
"Aku pun dulu dihina… ditakuti… dijauhi. Tapi kini, aku yang menentukan siapa yang akan hancur, dan siapa yang akan hidup." Ia diam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik:
"Tapi jika kau memilih untuk tak datang… mungkin nasibmu akan sama seperti pohon tadi. Menghilang menjadi abu. Tanpa bekas. Tanpa makna." Senyum dingin kembali muncul di wajahnya.
Pria itu mengangkat tangan kanannya perlahan ke depan. Dari telapak tangannya, pusaran abu mulai terbentuk, abu hangus, sisa sesuatu yang terbakar hingga tak bersisa. Partikel-partikelnya menari di udara, mengelilingi tangan itu dengan gerakan melingkar yang menghipnotis.
Lalu, dari balik pusaran abu itu… muncul aura hitam. Bukan sekadar gelap, tapi pekat seperti malam tanpa bulan, berkobar seperti api yang tak memberi Cahaya, hanya kehancuran.
Naln melangkah mundur setengah inci. Detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, ini bukan sekadar pertunjukan. Jurus itu, apapun Namanya, bisa mengubah sesuatu menjadi abu dalam sekejap. Seperti pohon tadi.
Pohon itu hanya sempat berdiri selama beberapa detik, lalu… hilang. Tertelan oleh abu. Naik ke langit. Hilang seolah tak pernah ada.
Naln menelan ludah. Tenggorokannya kering. Firasat buruk mencengkeram dadanya. Ini bukan mimpi biasa. Ini terasa seperti peringatan
"Cari aku, Naln..." Suara pria itu bergema berat, seperti bisikan yang menusuk langsung ke dalam tulang. Tatapannya tertuju pada Naln.
"Berlatihlah denganku. Gunakan kekuatanmu untuk memusnahkan umat manusia yang penuh sampah. Takkan ada lagi ejekan dari mulut-mulut busuk mereka. Kembangkan semua kekuatan yang kamu miliki... dan hapuskan seluruh penduduk desa. Termasuk mereka yang kau sayangi."
"Ingat itu, Naln." Tiba-tiba, sosok pria itu lenyap secepat kilat. Tanpa aba-aba, ia telah berada tepat di depan Naln, dalam posisi menyerang.
kanannya terangkat tinggi, aura abu menyelimutinya, mata tajamnya mengunci pandang ke Naln. Dalam sepersekian detik, Naln bisa melihat wajah itu, jelas. Retakan di keningnya… Senyuman jahat, getir, namun penuh keyakinan. Lalu...
Braak!
Naln terhempas dari kursinya. Tubuhnya terjatuh ke lantai kelas. Nafasnya tersengal. Dunia nyata menyambutnya kembali. Kelas sudah memasuki jam pelajaran kedua. Seisi ruangan langsung terdiam.
Pak Mat, guru matematika yang tadi menulis di papan, kini berdiri kaku menatap Naln yang masih duduk di lantai. Lalu, satu per satu... tawa mulai terdengar. Tertahan. Meledak.
Gema tawa memenuhi kelas, membentuk tembok malu yang menghantam dada Naln.
Semua tertawa, Kecuali Zen, dan tentu saja Pak Mat.
Zen memandangi Naln dengan tatapan sulit dijelaskan. Tak ada tawa. Mungkin ia belum lupa bagaimana sepasang mata Naln sempat memerah di hadapannya. Ada sesuatu yang ia rasa… tak wajar.
Sementara Pak Mat menatapnya dengan ekspresi kesal, sudah jelas, hukuman akan menyusul.
Naln hanya bisa menunduk. Setunduk-tunduknya. Jantungnya masih berpacu cepat. Sisa ketakutan dari mimpi tadi belum benar-benar pergi. Dan kini, ia bukan hanya diterkam oleh mimpi... tapi juga kenyataan yang memalukan.
***
Naln dan Lenard melangkah berdampingan di sepanjang koridor sekolah yang mulai lengang. Suara langkah kaki mereka bergema samar, bersatu dengan suara angin dari luar jendela yang terbuka sebagian.
Sejak tadi, Naln hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya masih tersangkut pada mimpi aneh itu, tentang sosok pria dengan rambut putih pekat, tentang ajakan penuh ancaman, tentang retakan di keningnya yang terus tumbuh bercabang.
Lenard yang berjalan di sampingnya, beberapa kali melirik ke atas, ke wajah sang kakak.
"Kakak kenapa? Kok diem aja?" tanyanya pelan, dengan nada cemas yang berusaha ia sembunyikan. Ekspresinya polos, matanya sedikit menyipit, membuat wajahnya tampak lucu dan menggemaskan.
Naln menoleh. Meskipun wajahnya lelah, ia berusaha tersenyum. Senyuman tipis itu akhirnya berhasil terukir.
"Gapapa," katanya pelan.
"Kakak cuma… capek." Lenard mengangguk pelan, meski sorot matanya menunjukkan bahwa ia tahu kakaknya tidak jujur. Tapi ia juga tahu, terlalu banyak bertanya hanya akan membuat Naln marah, walau itu tidak akan Naln lakukan kepada Lenard.
"Kakak, kalau ibu minta kakak cari kayu bakar, aku ikut ya," kata Lenard sambil berjalan kecil di samping Naln, matanya bersinar penuh semangat. Naln menoleh perlahan, diam sejenak. Lalu menjawab dengan suara tenang, tapi tega.
"Nggak usah. Kau di rumah aja, temani ibu. Di hutan banyak nyamuk, nanti kamu digigit dan rewel." Langkah Lenard mendadak terhenti. Wajahnya berubah cemberut, pipinya menggembung kesal, tapi bukannya terlihat galak, ia justru tampak seperti anak kucing yang tidak diajak main. Naln melihat itu dan tak bisa menahan tawanya. Tawa kecil, ringan, hangat.
"Aku mau ikut," rengek Lenard, kini bersedekap dan menatap kakaknya dengan sorot mata memohon, tapi keras kepala.
Naln tersenyum kecil, namun di dalam hati ia ragu. Bukan soal nyamuk atau repot, tapi karena ia pasti akan berbincang-bincang dengan Alam, yang akan membantunya mencari kayu yang kering. Kalau Lenard ada disana, pasti ia akan bertanya-tanya dengan siapa sang kakak berbicara?
***
Dan benar saja, sesampainya di rumah, Lenard menyampaikan pesan Ibu yang meminta Naln mencarikan stok kayu bakar.
"Kakak, Ibu minta kakak cari kayu bakar ke hutan," katanya polos. Lalu tanpa jeda, dengan mata berbinar, ia menambahkan,
"Aku mau ikut ya!"
Naln baru saja melepaskan sandal, belum sempat duduk. Tapi tiba-tiba Lenard sudah memeluk kakinya erat-erat, merengek sambil menatap ke atas dengan ekspresi memohon.
"Aku mau ikut... ayo kakak, ya? Please…" Naln menghela napas panjang, tatapannya jatuh pada rambut adiknya yang acak-acakan dan wajahnya yang penuh harapan. Ia ingin menolak, tapi hatinya terlalu lembut untuk berkata ‘tidak’ saat Lenard memohon seperti ini.
"...Baiklah," ucap Naln akhirnya, pasrah.
Seketika senyuman lebar mengembang di wajah Lenard. Ia melompat-lompat kegirangan, seperti baru mendapatkan hadiah dorprise kulkas.
"Yay! Hutan! Kayu bakar! Petualangan!" Naln hanya bisa tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Tapi di balik senyum itu, ada sesuatu yang terasa berat di dadanya. Naln tahu, kali ini… perjalanannya ke hutan mungkin tidak sesederhana seperti biasanya.
***
Di tengah padatnya pepohonan, mereka akhirnya tiba. Cahaya matahari menyusup di antara celah daun, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak pelan. Suara burung dan serangga hutan mengisi udara.
Lenard tampak takjub. Matanya tak berhenti menatap ke segala arah, seolah ingin merekam setiap sudut hutan ke dalam kepalanya. Ini pertama kalinya ia masuk hutan, dan semuanya terasa seperti petualangan besar baginya.
"Waaah... banyak banget pohonnya..." gumam Lenard, matanya berbinar.
Naln tersenyum kecil melihat adiknya yang begitu antusias. Ia melepaskan tali yang digulung dari bahunya, lalu menunjuk ke arah tanah yang agak lapang di bawah pohon besar.
"Taruh talinya di sini, Lenard. Ini akan jadi tempat kita ngumpulin kayu kering," katanya sambil mulai merapikan area tersebut. Lenard dengan cepat mengikuti.
"Siap, Kak!" katanya semangat, lalu meletakkan tali dengan hati-hati di tempat yang kakaknya ditunjuk. Naln menepuk-nepuk tangannya, membersihkan sisa daun kering yang menempel.
"Oke. Sekarang tugas kita adalah mencari ranting-ranting yang sudah kering dan tidak terlalu besar. Jangan ambil yang masih nempel di pohon, ya." Lenard mengangguk seperti prajurit yang menerima perintah penting.
"Siap laksanakan!" Naln terkekeh pelan. Tapi di balik itu, ia tetap waspada. Ia tidak bisa melupakan mimpi semalam. Sosok pria itu… dan kata-katanya yang terus terngiang di benaknya. Tapi untuk sekarang, ia mencoba menenangkan diri. Setidaknya di sini, bersama Lenard, ia bisa merasa sedikit lebih aman
Selama mencari kayu bakar, Naln dan Lenard tak berpencar terlalu jauh. Mereka tetap dalam jangkauan pandang satu sama lain, menjaga agar tak saling kehilangan. Hutan ini cukup lebat, dan meskipun belum terlalu dalam, tetap saja ada keteduhan yang kadang terasa mencurigakan.
Setengah jam berlalu…
Lenard berjalan sambil mengamati tanah. Sesekali ia menendang-nendang ranting kecil yang ternyata masih terlalu basah.
“Kenapa susah banget nyari yang kering, sih…” gerutunya pelan.
Sementara itu, Naln tampak tenang. Tak ada yang mendengar kecuali angin dan pepohonan. Seolah-olah pohon itu membalas bisikannya dengan derit halus atau lambaian daun yang lembut.
Tak lama, Naln melangkah ke arah Semak-semak yang agak terbuka, lalu membungkuk, dan di sana, tepat seperti yang “diberitahukan” Alam kepadanya, ada seikat ranting kering yang bersandar di akar pohon. Ia mengangkatnya perlahan, menyelipkan satu-dua ke ikatan tali yang dibawanya. Diam-diam, Naln tersenyum.
"Terima kasih," bisiknya ke udara, dan dedaunan di atasnya bergemerisik pelan, seperti menjawab.
Lenard tiba beberapa saat kemudian dengan hanya beberapa ranting di tangan. Wajahnya sedikit masam ketika melihat tumpukan kayu Naln yang lebih banyak.
"Kakak kok bisa dapet banyak banget sih? Aku muter-muter, tapi basah semua!" katanya sambil menjatuhkan ranting-rantingnya ke tumpukan di tanah yang sudah mereka tandai sejak awal. Naln hanya menatapnya sambil tersenyum kecil, tidak menjawab. Lenard menyipitkan mata.
“Kakak nyembunyiin kayu dari aku ya?” Naln terkekeh.
"Enggak, mungkin kamu aja yang belum jago nyarinya." Lenard mengembungkan pipinya kesal. Tapi tawa kecil dari kakaknya membuatnya ikut tersenyum. Keduanya duduk sebentar, beristirahat di bawah pohon. Sementara di sekeliling mereka, angin terus berhembus pelan… dan Naln merasa seperti ada yang mengawasi mereka dari kejauhan.
“Kakak kok kaya gampang banget nyari kayu kering?” Tanya Lenard seraya mulai meneguk air dari botol minum yang ia bawa. Naln tertawa kecil.
“Karna kakak udah biasa nyari kayu bakar kaya gini, makanya cepet.” Naln memberi senyuman. Seolah-olah tidak ada kebohongan di balik kata-kata tersebut. Sebenarnya Naln meminta bantuan Alam untuk memberi tahu Lokasi kayu kering yang banyak.
Lenard memperhatikan kakanya. Mencari kebohongan yang tersembunyi. Namun kali ini Lenard tidak bisa mendeteksi sang kakak bohong atau tidak. Ia membalas dengan mengangkat bahu. Melupakan pertanyaan tadi yang ia tanyakan.
Di tengah kedamaian obrolan ringan antara Naln dan Lenard, tiba-tiba terdengar suara gresak-grusuk dari balik semak-semak tak jauh dari mereka.
Naln langsung terdiam. Tubuhnya menegang. Matanya menyipit, menatap ke arah semak itu dengan penuh waspada. Lenard ikut membisu. Tatapannya beralih pada semak yang sama, lalu kembali ke kakaknya.
"Itu suara apa, Kak?" bisik Lenard pelan, nyaris tak terdengar. Naln tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat agar Lenard tetap diam dan tidak bergerak.
Gresak... Gresuk...
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Semak-semak bergoyang, ranting-ranting kecil patah. Naln perlahan meraih sebatang kayu yang ada di dekatnya, menjadikannya sebagai senajata. Naln tidak terpikirkan untuk mengambil golok.
Wajahnya serius. Udara seolah menebal, dan suara hutan mendadak sunyi. Bahkan burung pun tak lagi bersuara. Lenard makin cemas. Ia menggenggam ujung baju kakaknya.
"Kak… itu bukan hewan ya?" Tiba-tiba, sesuatu meluncur keluar dari semak-semak, seekor ular. Sedang, terlihat berbahaya, dengan corak yang unik. Disusul ular kedua... lalu ketiga... dan keempat.
Naln refleks berdiri, tubuhnya kaku menahan panik. Lenard pun ikut berdiri dengan mata membelalak.
"Tetap di belakangku, Lenard!" seru Naln sambil merentangkan satu tangan ke samping, melindungi adiknya. Namun ular-ular itu tak berhenti. Mereka terus merayap keluar dari semak. Lima... enam... tujuh... delapan... sepuluh...Semuanya mengarah ke tempat Naln dan Lenard berdiri. Mereka tak menyerang secara langsung. Justru, mereka berpencar membentuk lingkaran di sekitar dua bersaudara itu.
Naln meneguk ludah. Ini tidak biasa. Ular-ular itu bergerak serempak. Perlahan. Teratur.
Seolah ada yang mengendalikan mereka. Naln mundur selangkah. Tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di dahinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tak teratur.
“Apa ini…?” bisik Naln dalam hati.