Tanpa sadar
Desisan sepuluh ular terdengar di sekeliling Naln, dan Lenard. Alam seakan ikut menahan napas, menyaksikan dua saudara itu berdiri dengan tubuh membeku di dalam lingkaran ular yang mencekam.
Lenard mencengkeram erat baju kakaknya, terlalu erat hingga kainnya kusut dan nyaris robek. Tangan kecilnya gemetar, namun ia tak melepaskan pegangan.
Naln berdiri di depannya, tubuhnya menegang. Ia menggenggam sebatang kayu yang diambil entah dari mana, jemarinya mencengkeram kuat hingga buku-bukunya memutih. Kayu itu bergetar, bukan karena angin... tapi karena tangannya sendiri. Keringat membasahi wajah dan lehernya, menetes menuruni dagu, menyerap ke dalam kerah bajunya.
"I-ini... ular dari mana coba?" gumam Naln, suaranya nyaris tak terdengar.
Wajar kalau pikirannya kalut. Sepuluh ekor ular itu tidak datang secara kebetulan. Mereka mengendap, menyisir tanah, dan kini melingkari Naln dan Lenard seperti prajurit yang mengepung musuh yang sudah ditentukan. Gerakan mereka pelan, tapi pasti, seakan menikmati rasa takut yang merambat dari jantung dua bocah itu ke udara sekitarnya.
Naln menatap ular yang berada tepat di hadapannya. Matanya ya ampun…berwarna merah menyala, bercahaya dari dalam seolah bara api. Pupilnya sempit dan memanjang, membentuk sesuatu yang membuat napas Naln tercekat. Itu... bentuknya...
Dua segitiga. Saling bertolak belakang. Yang satu menunjuk ke atas, yang lainnya ke bawah. Simbol itu... Naln pernah melihatnya. Bukan di dunia nyata, tapi di mimpi. Terukir di kulit pohon raksasa, dikelilingi bisikan dan kabut. Simbol yang membuatnya terbangun dengan dada sesak dan keringat dingin. Dan sekarang... simbol itu hidup. Menatapnya langsung di hadapan. Di dunia nyata.
Ular-ular itu berdesis semakin nyaring. Tubuh mereka bergerak-gerak, menggeliat seolah tengah bersiap. Gerakan itu membuat udara seakan membeku, membuat bulu kuduk berdiri. Hening mendadak tercabik oleh satu momen mengejutkan.
Tiba-tiba... ular-ular itu melompat. Melesat ke udara dalam satu gerakan mematikan, lidah bercabang mereka menjulur, taring menyeringai.
Naln, tanpa berpikir panjang, langsung merunduk dan menarik Lenard ke pelukannya. Ia menutupi tubuh adiknya dengan tubuhnya sendiri, menggenggam kepala Lenard erat ke dadanya, seolah bisa melindunginya dari dunia.
Detik-detik berikutnya terasa lambat. Ia bisa merasakan angin yang terbentuk dari lompatan ular itu. Ia bersiap menahan sakit, menerima gigitan dan lilitan mematikan di punggungnya.
Namun... tak ada rasa sakit.
Naln membuka mata. Ular-ular itu memang jatuh ke punggungnya, ia bisa merasakannya. Tapi anehnya... mereka tidak menyerang. Tidak menggigit. Tidak melilit. Mereka hanya... diam sebentar, lalu merayap turun kembali ke tanah.
Dengan napas tercekat, Naln perlahan mengangkat wajah. Matanya bertemu dengan mata salah satu ular.
Dia terpaku.
Mata itu... kini berwarna biru menyala, bercahaya seperti safir hidup. Bukan satu, tapi semua mata ular kini bersinar biru.
Naln mengerutkan kening, kaget dan bingung. Kedua alisnya naik, mulutnya terbuka setengah.
"Lah...?" gumamnya lirih. Ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya pada ular-ular itu. Tapi juga... di dalam dirinya.
Naln mengucek-ucek matanya. Perih... entah karena cahaya biru dari mata ular-ular itu, atau karena sesuatu yang lain…sesuatu yang terasa asing menyusup ke dalam kepalanya. Pandangannya sempat buram, lalu terang, lalu buram lagi. Semuanya berputar beberapa detik sebelum kembali stabil.
Dekapannya pada Lenard mulai melonggar, bahunya turun, napasnya belum sepenuhnya kembali tenang.
"Kak?..." suara Lenard lirih, nyaris seperti bisikan. Ia perlahan mengangkat kepalanya dari pelukan itu, menatap wajah kakaknya dari dekat. Wajah Naln berkeringat, tapi tak ada luka. Tak ada darah. Ia masih hidup. Masih di sini.
Namun ekspresi Naln kosong sesaat, seakan pikirannya sedang tidak berada di tempat yang sama dengan tubuhnya. Lenard menggoyang pelan lengan kakaknya.
"Mata kakak kenapa?" Naln berhenti mengucek. Matanya masih terasa aneh, berdenyut, hangat... dan entah kenapa, dunia di sekitarnya terasa berbeda. Warna-warna jadi lebih tajam, ular-ular di sekeliling mereka terlihat... tenang? Tidak mengancam lagi?
Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Kakak?..." suara Lenard pelan, ragu.
Naln melirik ke arahnya. Tapi yang ia lihat membuat dadanya terasa berat. Wajah Lenard yang biasanya ceria dan penuh rasa percaya, kini tampak kaku. Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka seperti ingin bicara tapi tak bisa.
Naln mengerutkan kening. "Lenard? Kenapa wajahmu kaya gitu?"
Lenard tidak menjawab. Ia justru mundur selangkah. Kecil, tapi cukup untuk membuat Naln menyadarinya. Ada sesuatu yang tidak beres.
Naln merasakan jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Bukan karena ular... tapi karena tatapan adiknya sendiri. Tatapan yang penuh ketakutan.
"Kenapa kau menjauh?" tanyanya, suaranya lebih pelan, hampir putus asa. Lenard terdiam sejenak. Bibirnya gemetar saat akhirnya bicara.
"Mata kakak kok... warna merah?"
Naln membeku. "Hah?" gumamnya. Mulutnya menganga. Otaknya berusaha mencerna maksud kata-kata itu. Merah?
"Maksudmu apa, Lenard? Mataku... biru, kan?" Naln menggeleng perlahan, mencoba menepis rasa tidak nyaman yang mulai merayap naik ke tengkuknya.
Ia mengangkat tangannya, menyentuh wajah sendiri, seolah bisa merasakan perubahan lewat kulitnya. Tapi tentu saja tak ada yang berbeda, setidaknya dari dalam dirinya.
Namun sorot mata Lenard tak berbohong. Dan entah mengapa, para ular itu... masih mengelilingi mereka, tapi kini menunduk, seperti tunduk pada sesuatu. Atau... seseorang?
"Bener, Kakak! Mata kakak merah! Kakak apakan ular-ular itu?!" Nada suara Lenard meninggi, gemetar tapi tegas. Ia bukan berteriak karena marah, tapi karena takut, takut pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ia mengerti. Ekspresi wajahnya pun jujur... terlalu jujur untuk dianggap kebohongan.
Naln menatapnya, napasnya mulai tersengal. Ia ingin menyangkal, tapi suaranya terdengar rapuh bahkan bagi dirinya sendiri.
"Nggak, nggak... Lenard, mata kakak biru. Bukan merah."
Lenard mundur lagi. Gerakannya kecil, tapi seperti jarak di antara mereka kini tak bisa dijangkau.
"Itu merah, Kak! Jelas-jelas merah!" Lenard menunjuk wajah kakaknya. "Dan rambut kakak... poni kakak sekarang makin putih! Retakan itu... makin bercabang!"
Seketika Naln membeku. Retakan? Ia memegang dahinya perlahan. Retakan hitam itu... kini terasa lebih dalam, seperti akar yang menyebar ke seluruh pikirannya.
"Apa-apaan ini...?" pikir Naln.
"Apa yang sudah kulakukan...?"
Pandangannya bergetar, dan tiba-tiba—tanpa suara dari luar, tapi begitu jelas di dalam kepalanya—suara itu terdengar.
"Itu kekuatanmu, Naln..."
Naln menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya Lenard yang masih berdiri terpaku, dan lingkaran ular yang kini merunduk. Suara itu kembali. Tenang. Dalam. Hanya bisa didengar olehnya.
"Kau menatap salah satu ular itu. Tanpa sadar, kau menghancurkan hipnotis lama yang mengikat mereka. Ular itu terhubung satu sama lain... dan karena kau, mereka bebas."
Napas Naln tercekat. Suara itu... Alam. Ia mengenalinya. Tapi suaranya kini berbeda. Lebih... dalam. Lebih tahu segalanya. Seolah suara itu bukan hanya berasal dari luar, tapi juga dari dirinya sendiri.
"Mereka tidak menyerangmu karena mereka sekarang telah mengenalmu, Naln. Atau lebih tepatnya... mereka telah di kendalikan olehmu."
Hah? Hipnotis? Dikendalikan? Naln mengernyit, langkahnya goyah. "Maksudmu apa?"
Suara dalam kepalanya barusan, suara Alam, terdengar begitu nyata. Tapi semua itu... terdengar tidak masuk akal.
"Apa maksud semua perkataanmu? Jangan mengada-ada deh." Suaranya mulai meninggi, tapi gemetar. Naln menggertakkan giginya. "Aku sedang tidak ingin bermain-main."
Ia melantunkan kalimat itu. Tapi dalam hatinya, ia tahu, ini bukan permainan. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang menyentuh dirinya... merayapi tubuhnya... pikirannya.
Lenard hanya bisa berdiri di tempat, menatap kakaknya dengan mata kebingungan yang diselimuti ketakutan. Ia memiringkan kepala, mencoba memahami apa yang terjadi. Naln sedang berbicara, tapi bukan padanya.
"Kakak...? Kakak bicara sama siapa...?" suaranya pelan, seperti takut mengganggu sesuatu yang tidak bisa ia lihat.
Naln menoleh cepat. Matanya merah menyala menatap Lenard dengan tatapan campur aduk antara panik dan frustasi. Tapi bukan karena Lenard... tapi karena dirinya sendiri.
Apa yang sedang terjadi padaku?
Naln memegang kepalanya, tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu bergerak... dalam pikirannya. Sebuah kesadaran asing yang mencoba menyatu. Dan suara itu kembali.
"Kau mengira ini lelucon, Naln?" Suara Alam bergema dalam pikirannya tenang, tapi berat, seperti gema yang datang dari kedalaman tanah atau waktu.
"Itu kekuatanmu. Hipnotis." Naln terdiam, napasnya tertahan.
"Kekuatan untuk mengendalikan—bukan hanya manusia, tapi juga hewan... bahkan monster."
"Barusan, kau tidak hanya menatap ular itu. Kau merebut kendali dari tangan orang lain yang sebelumnya menguasai mereka."
Naln memundurkan langkahnya, jantungnya berdetak cepat. Tapi ia tidak bisa mengalihkan pandangan dari ular-ular yang kini melingkar tenang di sekelilingnya. Mereka tidak bergerak sembarangan. Mereka menunggu.
“Sekarang," lanjut Alam, "kau telah mengambil alih. Mereka tunduk padamu. Kau bebas menyuruh mereka melakukan apa saja."
Naln menelan ludah. Tangannya bergetar saat ia melihat ke sekeliling. Mata-mata biru menyala itu kini memancarkan ketundukan... bukan karena takut. Tapi karena ikatan yang lebih dalam, lebih gelap.
Lenard masih berdiri tak jauh dari sana, menyaksikan kakaknya yang kini seperti berbicara sendiri, matanya merah membara, rambut putih menjalar turun ke wajahnya, dan retakan hitam... yang kini memiliki lima cabang di kening Naln.
"Apa... yang terjadi padaku?" bisik Naln. Tapi jauh di dalam dirinya, sebuah bagian lain dari dirinya justru tersenyum.
"T-Tapi... bagaimana bisa aku menghipnotis ular-ular ini? Aku bahkan tidak memberi instruksi apa pun..." suara Naln nyaris berbisik. Bibirnya gemetar, dadanya sesak.
Ia menatap tangannya, seolah bisa menemukan jawaban di sana, tapi yang ada hanya telapak yang gemetar, dengan sisa keringat dingin, dan perasaan asing yang tak bisa dijelaskan.
"Itu berarti... kekuatanmu sedang mencoba mengendalikanmu."
Naln membeku. Ucapan itu, sangat tajam, dingin, dan menembus ke dalam tenggorokannya seperti pecahan es, cukup membuat rasa cemas menjalar ke tubuhnya. Ia menelan ludah, namun tenggorokannya tetap terasa kering.
Alam melanjutkan, suaranya kini lebih dalam, lebih serius:
"Maka dari itu, mulai sekarang kau harus berlatih. Kekuatan itu... perlahan aktif. Dan jika kau membiarkannya tumbuh tanpa kau kendalikan, maka kekuatan itulah yang akan mengendalikan dirimu."
"Hati-hati, Naln. Kekuatan ini bukan sekadar anugerah. Ia seperti makhluk hidup—ia punya kemauan sendiri."
Naln menunduk. Dunia seolah sunyi untuk beberapa saat. Bahkan desingan ular pun lenyap, seolah waktu ikut menahan napas bersama dirinya. Retakan di dahinya terasa berdenyut.
Lenard masih diam. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang saling bertubrukan. Tapi tatkala ia melihat kakaknya terus berbicara sendiri, entah dengan siapa, ia menelan semua tanya itu bulat-bulat.
"Mungkin... kakak bicara sama hantu?" pikirnya polos, alisnya berkerut. Ia tak tahu harus takut atau kasihan.
Sementara itu, Naln masih terpaku di tempat, mendengarkan suara yang hanya ia yang bisa dengar.
"Tapi... kenapa kekuatan ini baru aktif sekarang?" bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke tanah.
Jawaban itu datang cepat. "Karena kau sudah bertemu dengannya."
Naln mengerutkan dahi. "Dengannya...? Siapa orang yang kau maksud?"
Keheningan sejenak. Lalu suara itu Kembali, lebih pelan, tapi dalam, seolah mencoba mengungkap kebenaran yang seharusnya tidak dibuka.
"Sosok pria berambut putih pekat itu..."
Naln terkejut. Jantungnya berdegup lebih kencang.
"Kekuatanmu aktif karena dia... sekarang bisa menghubungimu lewat mimpi. Kau sempat bermimpi tentang dia, kan? Sudah dua kali."
Naln memutar kembali memorinya. Pohon. Simbol aneh. pria itu. Wajah samar, rambut putih pekat yang menutupi sebagian wajahnya. Mata yang tajam, dan suara yang menggema seperti gema gua dalam dan penuh rahasia.
Ya. Tentu ia mengingatnya. Dan tiba-tiba, rasa dingin merayap di punggung Naln.
"Siapa... dia sebenarnya?" Namun suara Alam diam. Tak menjawab pertanyaan itu.
Hanya keheningan.
"Alam..." Suara Naln terdengar parau. Ada tekanan emosi yang ia tahan di dalam tenggorokannya.
"Siapa sosok itu sebenarnya? Untuk apa dia menghubungiku lewat mimpi?" Alam tidak menjawab. Dan ketika suara itu akhirnya datang... justru bukan untuk memberi tahu, melainkan menutup pintu.
"Maaf, Naln. Aku tidak akan menjawabnya." Naln terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat.
"Apa... maksudmu?" bisiknya, lebih kepada diri sendiri daripada kepada Alam.
"Kau bilang aku harus berlatih, harus hati-hati… tapi bagaimana aku bisa melakukannya kalau semua hal penting disembunyikan dariku?"
Tak ada respons. Hanya desir angin yang lewat, dan suara ular-ular yang perlahan mulai menghilang di antara semak.
Naln mengepalkan tangannya. Dalam dadanya, kemarahan kecil mulai tumbuh. Tapi bukan karena Alam menolak menjawab, melainkan karena bagian terdalam dari dirinya... tahu bahwa ia akan tetap mencari tahu.
Meski Alam melarang. Meski kebenaran itu menyakitkan.
"Kakak kenapa? Kakak dari tadi ngomong sama siapa? Apa itu... hipnotis, Kak?"
Suara Lenard memecah lamunan Naln seperti batu yang dilempar ke permukaan air tenang. Naln tersentak pelan, menoleh ke adiknya yang kini menatapnya lekat-lekat, mata penuh tanya, dahi mengerut, bibir sedikit gemetar. Campuran antara bingung dan takut.
Naln terdiam. Rasanya seolah ia baru saja kembali dari dunia lain.
"Lenard..." suara Naln rendah, agak serak. Ia menatap mata adiknya. Lenard masih berdiri di tempat.
"Tadi mata kakak merah. Terus sekarang balik biru lagi. Terus kakak ngomong sendiri. Kayak... denger suara yang aku nggak bisa dengar." Naln terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu Lenard pantas tahu. Tapi... seberapa banyak yang boleh ia katakan?
Ia menghela napas pelan.
"Lenard... yang tadi itu mungkin bagian dari kekuatan yang... kakak nggak ngerti juga. Tapi kakak janji, kakak bakal cari tahu. Dan yang penting..." Naln berlutut, memegang kedua bahu adiknya.
"Kakak bakal lindungi kamu. Apa pun yang terjadi." Lenard menatap kakaknya dalam diam. Mungkin ia masih bingung. Mungkin takut. Tapi ia mengangguk pelan.
Dan untuk sesaat, meski dunia terasa asing, Naln merasa sedikit tenang. Karena di tengah semua yang tak ia mengerti, satu hal masih jelas:
Lenard adalah satu-satunya hal yang tak boleh ia hilangkan.