Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Rumah Paman

 

 

  Naln menaruh ikatan kayu bakar itu di belakang rumah, tepat di samping tempat sang ibu biasanya mengambil kayu bakar untuk memasak. Ini adalah perjalanan kedua Naln, dari hutan ke rumah, lalu kembali ke hutan untuk mengambil ikatan kayu yang ia tak mampu  bawa sekaligus.

  Napas Naln terasa berat. Jantungnya berdebar kencang karena kelelahan. Keringat bercucuran, membasahi bajunya yang awalnya kering. Setelah menaruh peralatan mencari kayu bakar di gudang, Naln masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju kamar untuk beristirahat.

  Namun, langkah Naln terhenti saat ia melihat Lenard berlari kecil ke arahnya. Di tangan Lenard ada sebuah piring berisi makanan berat, dan wajahnya tampak semangat. Ia menghampiri Naln dengan senyum lebar, seolah tak sabar untuk membagikan apa yang ia bawa.

  “Kakak! Lihat aku bawa apa!” Lenard mendongak ke atas. Menatap sang kakak dengan wajah yang antusias, tampak menggemaskan melihat Lenard di saat seperti ini.

   Naln tersenyum. Ia berjongkok, menyamakan tinggi badannya dengan Lenard. Kasihan, pikirnya, adiknya harus mendongakkan kepala terlalu lama hanya karena Naln memang jauh lebih tinggi darinya.

   Naln mengangkat tangan kanan nya, ia mulai membelai rambut Lenard yang sedikit berantakan dengan lembut.

   “Makasih, Lenard. Tapi…ibu memang lagi tidur?” Naln bertanya terlebih dahulu sebelum menerima pemberian dari Lenard. Ia ingin memastikan bahwa ibunya tidak akan memergoki kebiasaan Lenard yang diam-diam memberinya makanan tanpa sepengetahuan sang ibu.

    “Aman kak, ibu lagi keluar, jadi ga ada dirumah, kalo kakak udah selesai makan, taro aja piring nya di kamar kakak, nanti aku ambil.” Naln mengangguk seraya membelai rambut Lenard yang sedikit berantakan.

    Naln menerima piring berisi makanan di atasnya. Lenard memberikannya karena tahu Naln pasti lelah setelah mencari kayu bakar dan bolak-balik dua kali dari rumah ke hutan untuk membawa kayu-kayu kering yang ia temukan. Terlebih lagi, Naln memang belum makan siang.

    Naln kembali melangkah menuju kamarnya, membawa piring berisi makanan di tangannya. Lenard menatap punggung kakaknya yang perlahan menghilang dari pandangan. Sebuah senyum merekah di wajahnya, ia merasa senang telah membantu kakaknya yang kelaparan. Dengan langkah ringan seperti anak kecil yang tengah riang, Lenard pun berjalan menuju kamarnya.

 

***

 

   Kabut tipis menempel di kaca jendela, membuat permukaannya terasa dingin oleh udara pagi yang menusuk. Sebenarnya, Naln sudah membuka matanya sejak tadi. Tapi karena hari ini adalah hari Minggu, semangatnya untuk bangun melemah, digantikan oleh rasa malas yang perlahan membungkus tubuhnya. Kalian begitu juga kan?

   Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar yang dipenuhi sarang laba-laba. Beberapa benang halus tampak bergoyang tertiup angin yang menyusup dari celah jendela. Naln masih terbaring ketika matanya akhirnya menangkap sosok kepala kecil muncul dari balik ambang pintu, itu Lenard. Naln merubah posisinya menjadi duduk, dengan bagian belakang di sandarkan ke tembok. Matanya tertuju pada Lenard.

   “Ada apa, Lenard?” Naln mengukir senyuman tipis di bibir nya.

   “Eeh…Hari ini jam 8, ibu mengajak kita ke rumah Paman?…” Naln mengangkat alisnya. Ke rumah Paman? Tumben sekali ibu mengajak- ‘kita’? Kerumah Paman alias adik Ibu. Tapi untuk memastikan Naln tidak salah dengar, ia Kembali bertanya, karna terakhir ia ke rumah Paman saat ia baru menginjak usia 1 tahun.

   “Ke rumah Paman? Dan…apa tadi kau bilang, ‘Kita’?” Naln hampir tak percaya bahwa Ibunya benar-benar mengajak Naln ke rumah adiknya. Selama ini, sejak retakan hitam itu muncul di keningnya, hubungan mereka berubah. Sang Ibu nyaris tak pernah berbicara langsung padanya. Bahkan untuk hal-hal sepele seperti meminta dicarikan kayu bakar, Ibu selalu menitipkan pesan melalui Lenard.

  Lenard lah yang menyampaikan setiap kata, seolah Ibu tak lagi sanggup menatap wajah Naln, apalagi berbicara dengannya secara langsung.

   “Iya, kita berdua akan kerumah Paman dengan Ibu. Karna...Ibu katanya kangen sama Paman.” Naln meangangguk. Tadinya ia ingin bertanya kenapa ibu mengajak Naln, padahal Naln tahu bahwa Ibu sudah seperti tidak menganggapnya ada. Tetapi Naln tidak jadi bertanya. Setelah di pikir–pikir lagi, terakhir ia datang ke rumah Paman yang berada di kota, Naln datang bertiga dengan Ayah dan Ibunya (Kejadian itu terjadi sebelum Retakan hitam hadir dalam hidup Naln). Yang di ketahui Paman, hubungan Naln dengan keluarganya baik–baik saja, tidak ada konflik di keluarga kakak Perempuannya itu.

    “ Baiklah, jam 8 ya?” Lenard mengangguk sebagai balasannya.

    “Jangan lupa ya, kak!” Naln terkekeh. Lenard menutup pintu, meninggalkan Naln sendiri di kamarnya.

 

***

 

  Jam dinding menunjukkan pukul 07.35. Naln sudah bersiap-siap. Ia mengenakan baju dan celana berbahan sederhana. Sebagian rambutnya disisir ke depan, menutupi retakan hitam di keningnya, disamarkan pula oleh topi hitam yang sedikit kusam, topi yang hampir selalu ia pakai setiap kali keluar rumah.

  “Kakak!, sudah belum!?” Suara Lenard yang cempreng menyaring di telinga Naln, terdengar seperti ia memanggil kakaknya menggunakan toa.

   Naln segera keluar kamar, menutup pintunya rapat, lalu melangkah ke teras rumah. Di sana, Lenard sudah menunggu bersama sang Ibu, yang juga tampak telah bersiap rapi. Tatapan Naln tanpa sengaja bertemu dengan mata ibunya. Hanya sejenak. Sang Ibu langsung memalingkan wajah, seolah tak melihat apa-apa.

  Seketika, dada Naln menghangat oleh rasa yang campur aduk, kecewa, sedikit kesal, tapi juga anehnya masih menyimpan harapan, walau hanya setipis embun di pagi hari.

   "Ayo, Lenard, ikut Ibu," ajak sang Ibu, sambil menggenggam tangan kiri Lenard dengan lembut. Lenard tersenyum, genggaman sang Ibu yang tulus memberikan Lenard rasa hangat di tangan nya,

   Naln seketika terdiam menatap tangan Lenard dan sang ibu menempel, kasih saying Ibu kepada Lenard menumbuhkan rasa cemburu dalam diri Naln, ia merasa sedih karna ia takkan bisa merasakan hangat nya tangan Ibu yang menggenggam tangannya seperti dulu sebelum Retakan hitam hadir dalam hidupnya.

    Naln menarik napas dalam-dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai cerah. Langkah-langkah kecil Lenard dan sang Ibu menjauh perlahan, suara tawa kecil Lenard terlintas ke telinganya, seperti pisau kecil yang menggores halus tapi dalam.

    Ia tidak menyusul. Masih berdiri di ambang pintu, diam, membiarkan bayangan mereka menjauh tanpa satu pun kata. Dalam hati, Naln berjuang dengan perasaan yang sulit dijelaskan, kehilangan, iri, dan secercah harapan yang mulai layu.

    “Susul Ibu dan Adikmu Naln, nanti kau tertinggal.” Suara tanpa wujud itu alias Alam tiba–tiba terlintas di telinganya. Naln tidak menjawab perkataan Alam, tetapi ia melakukan apa yang di katakana Alam.

    Naln mengenakan sandal yang juga sudah agak kusam. Solnya bergesekan pelan dengan jalan setapak, mengikuti langkah-langkahnya menyusul Ibu dan Lenard yang berjalan beberapa meter di depan. Tangan Naln terangkat, membetulkan topi yang sedikit miring di kepalanya. Sesekali, ia menunduk lebih dalam saat berpapasan dengan penduduk yang berjalan dari arah berlawanan.

    Naln, Lenard, dan sang Ibu, telah berjalan beberapa menit, menyusuri jalan setapak menuju area jalan raya. Mereka bersiap menaiki angkot, kendaraan umum yang akan membawa mereka ke tempat pemberhentian bus menuju kota.

   Saat melihat angkot melintas, sang Ibu spontan melambaikan tangan, memberi isyarat agar si mamang angkot berhenti. Begitu naik, Naln langsung duduk di pojok bangku panjang. Di sebelahnya duduk Lenard, lalu sang Ibu di samping Lenard. Sisa tempat duduk diisi oleh beberapa penumpang lain. Mereka tampak tenang, mungkin tujuannya berbeda, meski bisa saja sama.

   Selama perjalanan menuju pemberhentian bus ke kota, Naln hanya menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan dan pejalan kaki di trotoar. Sesekali, ia membenarkan topinya, khawatir retakan hitam di keningnya terlihat oleh penumpang lain. Hal itu akan menjadi masalah besar baginya, bukan hanya dirinya, tetapi sang Ibu dan Lenard mungkin saja akan terlibat.
   Lenard beberapa kali bertanya tentang hal-hal yang menarik perhatiannya kepada sang Ibu, dan sang Ibu selalu menjawab dengan sabar.
   Naln seketika teringat pada Alam,satu-satunya teman tanpa wujud yang pernah membuatnya merasa tidak asing. Ia terbayang saat mereka bersama-sama mencari kayu kering di hutan, dan bagaimana Naln terus bertanya sepanjang jalan. Alam menjawab semuanya dengan senang hati.

   Naln menghela napas. Ia mencoba mengusir rasa cemburu terhadap Lenard, rasa yang sekeras apa pun ia mencoba, sulit benar untuk dihilangkan.

   “Kiri, kiri.” Ketika sang Ibu mengucapkan kata yang sudah familier di telinga, kalimat khas yang sering terdengar di dalam angkot, Naln tahu, tujuan mereka sudah dekat.

  Begitu turun, matanya langsung terpukau oleh deretan bus yang berjajar rapi di sepanjang terminal. Ia sempat terdiam, menatap kagum. Tanpa disadari, langkah Lenard dan sang Ibu sudah menjauh. Naln buru-buru berlari kecil, menyusul mereka berdua sebelum benar-benar tertinggal.

   Sang Ibu berjalan menuju salah satu bus yang di bagian depannya terpampang tulisan mencolok: "Jalan-jalan ke Jakarta, Gas Ngeng" Sudah jelas ke mana arah tujuan mereka.

  Naln terus mengikuti dari belakang, langkahnya sedikit ragu tapi tetap mantap. Di dalam bus, beberapa penumpang sudah duduk rapi di kursi-kursi pilihan mereka. Naln memilih duduk di pojok dekat jendela. Di sebelahnya Lenard, dan di sisi paling pinggir duduk sang Ibu. Entah kebetulan atau bukan, selalu saja ada yang menjadi penghalang antara dirinya dan Ibunya. Bahkan sekadar duduk berdampingan pun terasa seperti hal yang tak mungkin.

  Naln memilih menatap pemandangan di luar jendela.
Tanpa sengaja, matanya tertumbuk pada sebuah keluarga yang tampak riang, mereka hendak pergi jalan-jalan.

   Seorang anak kecil, yang sepertinya adalah si bungsu, meminta sang ayah untuk menggendongnya. Sang ayah tersenyum dan langsung mengangkat anak itu ke pelukannya. Mereka semua tertawa bersama, menikmati tingkah lucu si kecil.

   Pemandangan itu membuat dada Naln terasa sesak. Ada rasa iri, ada sedih yang sulit dijelaskan. Kenapa aku nggak bisa ngerasain itu lagi? Kenapa retakan hitam ini harus muncul dalam hidupku?

  Naln menyandarkan kepala ke kaca jendela. Matanya mulai terasa berat. Ia memutuskan untuk tidur saja sepanjang perjalanan, daripada terus memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang belum juga mendapat jawaban.

 

***

 

  Guncangan akibat jalanan yang tidak mulus membangunkan Naln dari tidurnya yang cukup lelap. Ia mengedarkan pandangan, lalu menoleh ke samping. Lenard tertidur pulas, bersandar di pundak sang Ibu. Sementara itu, sang Ibu tidak tidur, tatapannya tenang, menyapu jalanan yang melintas dari balik kaca bus bagian depan.

  Naln jadi merasa canggung. Hanya dirinya dan sang Ibu yang masih terjaga, masih berada di dunia nyata, sementara Lenard tampak nyaman tenggelam dalam mimpinya.

  Naln mulai menggerakkan tubuhnya, mencoba mencari posisi duduk yang lebih nyaman. Sesekali, ia menoleh ke arah Ibunya. Ada dorongan untuk membuka suara, untuk bertanya sesuatu apa saja. Tapi mulutnya terasa terkunci. Kata-kata itu hanya muncul samar-samar di pikirannya, dan lidahnya seakan enggan bekerja sama. Rasanya seperti sedang berusaha mengobrol dengan orang asing, canggung, ragu, dan penuh kegelisahan.
Padahal, “orang asing” itu adalah Ibunya sendiri.

   Naln tak bisa diam. Kegelisahan menggelayuti dirinya, bercampur dengan rasa kesal, bukan kepada siapa-siapa, tapi kepada dirinya sendiri. Ia tak paham dengan tingkahnya sendiri. Ingin mengobrol, tapi tidak mau, atau lebih tepatnya, tidak bisa. Ada sesuatu yang menahannya, membuat mulutnya tetap tertutup meski hatinya gaduh.
   

  Waktu pun berlalu. Setengah jam kemudian, bus perlahan berhenti. Mereka telah sampai di Jakarta. Mereka bertiga lalu turun dari bus dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama sekitar lima menit. Setelah itu, mereka kembali naik angkot, kali ini menuju salah satu perumahan elite di tengah kota.

   Mereka bertiga lalu turun dari bus dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama sekitar lima menit. Setelah itu, mereka kembali naik angkot, kali ini menuju salah satu perumahan elite di tengah kota.

   Sepanjang perjalanan, Naln hanya diam. Matanya menatap keluar jendela angkot, menyaksikan bangunan-bangunan tinggi, jalanan yang sibuk, dan deretan mobil mewah yang tak pernah ia lihat langsung sebelumnya.

   Sepuluh menit berlalu. Angkot yang mereka tumpangi mendadak berhenti, terjebak macet. Biasa, jalanan kota memang selalu dipenuhi kendaraan yang sibuk. Beberapa mobil dan truk mulai membunyikan klakson, terdengar bersahut-sahutan seperti paduan suara yang tak pernah selaras.

   Naln menatap ke luar jendela, memperhatikan banyak pengendara motor yang santai melaju di sela-sela kendaraan. Jalan itu jelas terlalu sempit untuk mobil, tapi si pengendara melenggang dengan mudah.
  “Nggak adil,” pikir Naln. Ia menghela napas, merasa dunia pun kadang memilih-milih siapa yang boleh lewat duluan.

   Waktu berlalu. Yang biasanya terasa cepat, kini seolah berjalan lambat. Keringat mengucur dari kening Naln. Udara di dalam angkot begitu panas, membuat semua orang di dalamnya seakan mandi keringat. Dalam hati, Naln menyesal. “Coba tadi aku bawa baju ganti,” pikirnya. Tapi ya sudah, terlambat.

   Akhirnya, setelah sepuluh menit yang terasa seperti seabad, jalanan kembali lancar. Tanpa banyak basa-basi, angkot langsung melaju kencang, menyalip beberapa motor di depannya yang menurut si mamang angkot, terlalu lambat dan bikin kesel.

   "Kiri, kiri."Suara familiar itu kembali terdengar dari mulut sang Ibu. Mamang angkot spontan menginjak rem, dan kendaraan berhenti tepat di depan gerbang perumahan tempat Paman tinggal. Begitu Naln melangkah turun, Mamang angkot langsung menginjak gas kembali, melaju tanpa menoleh lagi.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
32      30     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
HABLUR
673      344     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Ruang Suara
189      130     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Di Bawah Langit Bumi
2398      921     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Nuraga Kika
32      29     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Imperfect Rotation
155      136     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1045      694     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Finding the Star
1151      867     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1039      659     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...