Sebenarnya paman itu siapa?
Udara di tengah kota terasa panas, dipenuhi polusi yang keluar dari kendaraan yang terus-menerus melintas di jalan raya. Lagi-lagi, jalanan macet. Deretan mobil berjajar rapat, menunggu agar lalu lintas kembali bergerak. Berbeda dengan motor, yang masih bisa menyelip di celah sempit di antara mobil-mobil yang nyaris tak bergerak.
Naln menginjakkan kaki di perbatasan perumahan elite itu, bersama Lenard dan ibunya yang berjalan beberapa meter di depan. Pandangannya menyapu lingkungan sekitar, deretan rumah berdiri rapi dengan arsitektur yang elegan, jalanan tampak lengang dan sunyi. Hanya sekali dua kali terdengar suara deru motor yang melintas.
Setelah beberapa menit berjalan, ibu akhirnya membelokkan langkah menuju salah satu rumah yang tampak modern namun tetap sederhana. Rumah itu berada di ujung perumahan, jadi wajar jika perjalanan mereka memakan waktu sedikit lebih lama.
Sang Ibu berhenti di depan pintu, menarik napas panjang, lalu mengangkat tangannya, Bersiap mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan terdengar jelas di antara senyapnya suasana pada saat itu.
Beberapa detik berlalu, hingga akhirnya terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah pintu. Bunyi kunci yang diputar menggema pelan, lalu pintu perlahan terbuka, menampakkan sosok seorang pria berusia sekitar 25 tahun. Senyuman lebar terukir di wajahnya begitu melihat kakak perempuannya berdiri tepat di hadapannya.
“Kak Tirell, apa kabar?” Pria itu adalah Paman Lenard dan Naln, sekaligus adik dari Tirell, Ibu Naln dan Lenard.
“Tentu baik, Thalen, bagaimana dengan mu? Sudah dapat pasangan seumur hidup?” Tirell terkekeh seraya mengatakannya. Wajah Thalen seketika menjadi kesal, itu pertanyaan yang paling tidak ia sukai. Tirell menepuk – nepuk pelan pundak Thalen.
“Lupakan pertanyaan ku tadi, aku hanya bercanda.” Tirell masih terkekeh, sedangkan emosi Thalen semakin meningkat setiap detiknya karna mendengar kekehan kakak perempuannya. Alih-alih memarahi Tirell, Thalen lebih memilih mengubah topik, pandangannya tertuju pada Lenard dan Naln yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka berdua.
“Oh, hi Naln, lama tidak bertemu, masih ingat dengan Paman?” Thalen melangkah mendekati Naln yang masih diam saat ditanya. Ia lalu berjongkok, menyamakan tinggi badannya dengan sang keponakan, menatap langsung ke mata Naln. Naln merasa gelisah ketika pamannya semakin dekat. Ada ketakutan yang muncul di dadanya, takut jika retakan hitam di keningnya terlihat tanpa di sengaja.
Naln masih diam, berusaha mencari jawaban yang tepat. Dengan polosnya, ia hanya menggeleng. Thalen tertawa pelan melihat kepolosan keponakannya. Sementara itu, Tirell menatap adiknya, heran karena Thalen terlihat santai mengobrol dengan Naln. Padahal, di desa, tak ada seorang pun mau dekat-dekat dengan Naln, bahkan ibunya sendiri. Mungkin karena Thalen belum tahu tentang retakan hitam di kening Naln, ia masih tampak santai berada di dekatnya.
Pandangan Thalen perlahan beralih, kini tertuju pada si bungsu, Lenard. Ia mengulurkan tangan, mencubit pipi Lenard yang sedikit chubby dan tampak menggemaskan. Lenard, yang menjadi sasaran cubitan itu, hanya diam sejak tadi tanpa menunjukkan reaksi apa pun.
“Ini anak bungsu kakak, ya?” tanya Thalen pada Tirell. Sang kakak hanya mengangguk sebagai jawaban. Thalen pun bangkit, lalu meraih tangan Naln dan Lenard. Sentuhan kulitnya terasa hangat dan penuh kasih.
“Ayo, dua ponakanku yang menggemaskan, mari kita masuk. Paman sudah siapkan beberapa camilan. Pasti kalian suka.” Dengan ringan, Thalen menarik tangan kedua anak itu, mengajak mereka masuk terlebih dahulu sebelum sang kakak menyusul.
Saat memasuki rumah, mata Naln langsung menyapu seluruh sudut ruangan. Segalanya tampak menarik baginya. Ia sudah tidak ingat lagi dengan ruangan ini—wajar saja, terakhir kali ia ke rumah Paman Thalen adalah saat usianya baru satu tahun. Tentu saja ia lupa.
Naln duduk di salah satu sofa empuk yang ada di ruang tengah. Udara di ruangan terasa sejuk, suhu dingin menyelimuti kulitnya. Rupanya Paman Thalen telah menyalakan pendingin ruangan, AC yang dipasang untuk membuat ruang tengah tetap nyaman.
Ibu dan paman Thalen sedang berada di dapur, tampaknya tengah menyiapkan makanan ringan untuk dihidangkan. Sementara itu, di ruang tengah, Lenard dan Naln masih menyapu pandangan mereka ke segala sudut ruangan. Wajar saja, mereka jarang sekali berada di ruangan senyaman ini. Biasanya, saat berada di ruang tengah rumah, mereka masih merasakan panas dan sedikit pengap, meskipun kipas angin terus berputar ke kanan dan ke kiri tanpa Lelah dan protes.
"Kakak."Kepala Naln sontak menoleh ke samping, menatap Lenard yang baru saja memanggilnya.
"Pria itu siapa, Kak? Kok dia mirip sama Ibu?" Naln terkekeh pelan mendengar pertanyaan polos itu, senyum kecil terukir di wajahnya.
“Itu paman kamu dan kakak, paman Thalen.” Naln mengangkat tangan kanannya, mulai membelai rambut Naln yang berantakan dan sedikit basah karna keringat
"Oh, Paman..."Pada saat yang sama, Ibu dan Paman Thalen sudah tersisa beberapa langkah lagi dari tempat Naln dan Lenard duduk, seraya membawa nampan berisi makanan ringan dan minuman.
"Kenapa, Lenard?" tanya Thalen, setelah mendengar Lenard menyebut kata paman.
"Eh... b-bukan apa-apa, Paman..." jawab Lenard tergagap. Thalen tertawa kecil, ekspresinya hangat. Lenard terdiam, mulutnya sedikit terbuka, tatapannya tak lepas dari senyuman hangat Paman Thalen.
Ibu meletakkan nampan berisi empat gelas es teh di atas meja, disusul oleh Thalen yang menaruh nampan lain berisi toples-toples makanan ringan. Aroma manis dan segar segera memenuhi udara, menambah kenyamanan di ruangan itu.
Lenard menggelengkan kepala, segera sadar dari lamunannya. Tatapan Lenard sekarang tertuju pada toples-toples berisi makanan ringan, yang kebetulan salah satu makanan favorit nya, yaitu rengginang. Lenard menoleh ke arah sang Ibu, meminta perhatian untuk di tanya.
Namun, sang ibu tak menyadari tatapan Lenard yang penuh dengan keiginan. Ibunya sibuk mengobrol dengan paman. Lenard menggeser pandangannya ke Naln, yang juga sedang menatap toples berisi rengginang.
Naln sontak menoleh ke arah Lenard. Entah sejak kapan ia selalu sadar jika ada tatapan orang yang tertuju padanya. Mata Naln bergantian menatap Lenard dan toples berisi rengginang. Ia tahu persis maksud tatapan adiknya, karena ia pun merasakannya. Mereka berdua sama-sama menginginkan isi toples itu.
Naln menoleh kea rah paman dan Ibu. Mulut nya sedikit terbuka, Bersiap mengeluarkan suara.
“P-paman…” Thalen menoleh mendengar seseorang memanggilnya. Senyuman hangat terukir di bibirnya, matanya tertuju pada Naln.
“Mau...rengginang boleh?” Thalen sontak mengangguk. Ia menghidangkan toples-toples itu juga untuk di berikan kepada ponakan dan kakaknya yang sekarng menjadi tamu rumah.
“Tentu, Naln, ambil saja, jangan malu, beri juga kepada Lenard, sepertinya ia juga menginginkannya.” Naln menoleh ke adiknya yang sekarang sudah berada di sampingnya. Naln hampir saja lompat dari sofa karna kehadiran Lenard yang tiba-tiba muncul di samping.
Naln meraih toples berisi rengginang, lalu membuka tutupnya. Belum sempat meraih sepotong rengginang, Lenard sudah dulu mengambil dua potong rengginang sekaligus, dan langsung memakannya, suara renyah dari rengginang terdengar dari mulut Lenard yang sedang mengunyah.
Senyuman terukir dari Naln, sedangkan Ibu dan paman tertawa. Naln berpikir apakah ibunya tidak suka jika ia berbicara dengan adiknya? Atau dekat dengan Lenard? Naln segera menggelengkan kepala, mengusir pikiran prasangka buruknya pada Ibu. Naln memutuskan mengambil satu potong rengginang dan mulai memakannya dengan antusias. Terakhir Naln makan rengginang saat ia berumur 4 tahun, sebelum sang ibu menyadari retakan hitam muncul di keningnya.
“Abisin aja, jangan sungkan” Thalen membelai rambut Naln. Bukannya merasa nyaman di belai, Naln panik, namun ia tetap diam saja, terdiam. Saang ibu yang menyadari retakan hitam itu terlihat saat sang adik membelai rambut anak sulung nya. Spontan, Tirell mencengkram pergelangan tangan Thalen. Thalen yang heran menengok kea rah kakaknya.
“Kenapa, kak?” Tirell segera menyadari apa yang telah ia lakukan. Perlahan ia menarik tangannya.
“Umm…maaf dik, Tangan mu kan…abis memegang makanan yang sedikit berminyak…jadi,tangan mu pasti kotor kan? Jangan menyentuh anak ku jika tangan mu kotor” Jantung Naln berdebar kencang. Rasa hangat mengalir ke seluruh tubuhnya, membentuk senyuman kecil di wajahnya. Matanya melebar, hampir tak percaya. Ia mendengar Ibunya menyebut 'Anakku' kepada adiknya, namun Naln tahu, yang dimaksud adalah dirinya. Untuk sesaat, Naln merasa... Ibunya masih menganggapnya sebagai anaknya.
“Ahh…maaf kak, aku lupa, maaf Naln.” Thalen segera menarik tangannya. Naln segera menutup Kembali retakan hitam di kening nya dengan rambut, setelah mengetahui tangan Thalen sudah tidak berada di kepalanya. Naln tersenyum seraya memberi anggukan pada pamannya.
“Sebentar, saya cuci tangan terlebih dahulu.” Thalen berbalik badan. Mulai melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mencuci tangan di wastafel. Naln menatap punggung pamannya yang perlahan mengilang dari pandangan. Kepala Naln menoleh ke arah ibunya yang kini sedang menatapnya sinis, Naln menelan ludah.
“Jangan sampai retakan itu di ketahui oleh Thalen.” Intonasi Tirell terdengar kesal dan mengancam. Ia merasa Naln membebani hidupnya hanya karna retakan itu menempel di kening Naln. Tirell menyambar tangan Lenard. Lenard yang sedang asyik makan spontan menoleh kea rah ibunya kebingungan.
“Mari ke luar, Lenard. Biarkan kakakmu sendiri di sini,” ucap Tirell sambil menarik tangan Lenard dengan lembut, tapi tegas. Tanpa banyak kata, mereka berdua melangkah ke teras rumah dan duduk di sana.Tirell tidak menatap ke belakang, ia ingin menghindari Naln.
Namun, ada hal yang tidak di sadari oleh Tirell. Sang adik, Thalen, sedari tadi menonton kelakuan kakaknya pada Naln. Thalen tak sengaja mendengar perkataan kakaknya menyebut ‘retakan hitam’, sontak membuat Thalen berbalik badan. Sebenarnya ia tak menyangka bahwa sikap kakaknya akan begitu kepada Naln. Tetapi…Thalen sebenarnya tau banyak hal tentang retakan hitam.
Thalen memutuskan untuk mencuci tangannya itu sebelum kembali ke ruangan tengah, hendak mengobrol dengan Naln. Sementara itu, Naln menunduk, menatap lantai dengan hampa. Perasaan sedih dan kecewa menghimpit dadanya.
Ia sempat mengira, mungkin... Ibunya masih benar-benar menganggapnya sebagai anak. Ternyata ia salah, sangat salah.
Aku terlalu berharap, batin Naln. Matanya perlahan basah oleh air mata, dan tangannya mengepal erat, mencoba menahan perasaan yang mulai tumpah.
Naln merasakan seseorang melangkah mendekat. Ia buru-buru mengusap air matanya dengan kasar, tergesa-gesa meski belum tahu siapa yang menghampirinya.
Tiba-tiba, sebuah tangan hangat menyentuh dagunya dengan lembut, mengangkat wajahnya yang tertunduk. Naln mendongak perlahan. Itu Paman.
Naln melihat dengan jelas bagaimana senyuman hangat terukir di bibir pamannya.
“Kau baik-baik saja Naln?” Sontak Nlan mengedipkan matanya, segera mengangguk.
“Aku tak menyangka kakak akan memperlakukan mu seperti itu, hanya karna…anaknya memiliki retakan hitam di keningnya.” Satu tangan Thalen yang lain terangkat, perlahan mengusap kening Naln. Gerakan itu membuat rambut yang menutupi retakan kecil di keningnya tersibak, memperlihatkan tanda hitam yang selama ini disembunyikan.
Naln menelan ludah, merasa panik saat sang paman mengusap keningnya.
Thalen menarik kedua tangannya, matanya kini menatap lurus ke Naln. Tatapannya lembut namun tegas.
“Naln, dengarkan paman.” Intonasi suara Thalen terdengar serius. Naln menatap pamannya dengan rasa penasaran yang tumbuh, lalu mengingat kembali pesan Thalen sebelumnya, ia menajamkan pendengarannya, bersiap menyimak dengan saksama.
"Retakan hitam di keningmu itu… bukan sesuatu yang buruk, baik bagi pemiliknya maupun orang lain," ujar Thalen, suaranya tenang namun tegas.
"Tapi, jika pemiliknya menyalahgunakan kekuatan yang diberikan oleh retakan itu, maka retakan itu akan berubah menjadi bencana. Kau ini istimewa, Naln. Selama kau tidak bermain-main dengan kekuatanmu, kau akan baik-baik saja. Dan jangan biarkan retakan itu membawamu ke jalan yang salah, ke hidup yang gelap, penuh kebencian dan dendam."
Naln menatap mata Thalen dalam-dalam. Ia memang menyimak dengan saksama, tapi tetap saja... ada beberapa kata dari pamannya yang belum benar-benar ia mengerti. Thalem memberi senyuman hangat dan perhatian. "Abaikan saja perkataan yang membuat kau sakit hati dari Ibu atau orang lain, tunjukan pada meraka, bahwa kau tidak seperti pemilik retakan sebelum nya, kau berbeda. Buktikan pada mereka dan Ibu mu, bahwa kau bisa menggunakan retakan hitam itu dengan baik."
“A-aku…” Naln ingin mengucapkan sesuatu pada pamannya, tetapi kata-kata itu terasa terjebak di dalam kerongkongannya, seolah tak bisa keluar. Thalen terkekeh.
“Aku senang kau datang ke sini, Naln, aku jadi memiliki kesempatan menyampaikan perkataan ku kepadamu” Tangan Thalen terulur untuk membelai rambut Naln, kali ini tangannya sudah bersih, hehe.
“Paman…” Naln terdengar ragu.
“Kenapa? Katakan saja Naln, apa yang ingin kau katakan padaku? Apa kau ingin bertanya? Silahkan, jangan sungkan.” Thalen duduk di sebelah Naln. Siap mendengar dan menjawab pertanyaan yang akan di sampaikan oleh Naln.
“Paman…S-sebenarnya paman itu siapa? Untuk apa paman mengatakan itu kepadaku? Bagaimana paman tau aku memiliki ratakan hitam? Dan…sepertinya paman tahu banyak tentang retakan hitam yang menempel di kening ku.” Naln menatap pamannya, tentu saja ia sangat penasaran, sangat ingin menegetahui kebenaranya. Untuk apa paman menyampaikan hal seperti itu pada Naln? Dan kok bisa paman tau ada retakan hitam di kening Naln?
Padahal, terakhir Naln mengunjungi rumah pamannya, sebelum retakan hitam muncul di keningnya, Bagaimana paman bisa tau? Apakah saat paman membelai rambut Naln dan ia tak sengaja melihat retakan itu?
“Siapa aku sebenarnya?” Thalen terkekeh. Naln masih menatapnya, berharap semua pertanyaannya di jawab dengan detail. Thalen tersenyum.
“Paman itu…”