Naln
Langkah Naln pelan di trotoar yang panas, aspalnya memantulkan cahaya matahari seperti wajan penggorengan, pulang sekolah di waktu siang yang terik, matahari tepat di atas kepala, Seragam sekolah sudah lepek, punggung basah karena keringat.
Sepatu hitam Naln yang kusam tampak mengenaskan saat melangkah di atas aspal panas yang memantulkan terik matahari. Berbeda dengan milik adiknya, Lenard, yang tampak baru dan keren, mengkilap seperti belum pernah menyentuh debu jalanan.
“Ayo kak, kenapa kakak jalannya lambat?” Tanya Lenard yang sepertinya sudah kelaparan. Naln menatap Lenard, tak mungkin ia bilang bahwa sepatunya sudah semakin menipis seiring berjalannya waktu.
“Gapapa, kakak hanya…kecapean setelah pembelajaran olahraga” Naln memaparkan senyuman kepada adiknya, ia tak mau Lenard mengetahui masalah sepatunya yang sudah layak di ganti dengan yang baru.
“Oalah, yaudah, santai aja kak jalannya, gausah buru buru, aku masih bisa menahan perutku yang sedari tadi berbunyi minta makan” Lenard nyengir. Sesuai dugaan Naln, Lenard sedari tadi memang sudah lapar, wujud nya di samping Naln, tetapi pikiran nya sudah berandai – andai, bayangan dirinya sudah berada di meja makan yang penuh dengan hidangan masakan sang ibu.
Naln terkekeh, ia mengangkat tangan dan mulai melakuan kebiasannya terhadap Lenard, yaitu membelai rambut Lenard yang serupa dengan rambut nya sendiri, sedikit berantakan.
***
Tersisa beberapa Langkah lagi sampai ke teras rumah, Lenard mengubah kecepatan Langkah kakinya, ia berlari dengan riang memasuki rumah, meninggalkan Sepatu dengan posisi yang berbeda, sepatu kanan jatuh ke samping, sepatu kiri dengan bagian bawah menghadap awan.
Naln yang menyaksikan tingkah Lenard, terkekeh seraya menggelengkan kepala nya ke kiri dan ke kanan, ia merasa ikut tatkala Lenard juga merasa senang.
“Ibu!” Lenard berlari ke arah ibu nya yang kebetulan juga sedang menghampiri Lenard setelah mendengar langkah kaki anaknya. Lenard memeluk sang ibu, begitu pun sebaliknya.
Naln berdiri di ambang pintu, menyaksikan kemesraan Lenard dengan ibunya. Seketika senyum Naln perlahan memudar, ia juga ingin merasakan pelukan sang ibu yang hangat dan nyaman, tetapi harapan seperti itu tidak akan terwujud di dalam kehidupan Naln yang di penuhi oleh ejekan yang keluar dari mulut orang lain.
“Ibu aku lapar…” Keluar sudah kemanjaan Lenard kepada ibunya.
“Kamu lapar? Yaudah ayo ke dapur, ibu sudah masak makanan favorit kamu” Ucap sang ibu seraya mencubit pipi Lenard yang chubby.
Seketika, senyuman Lenard semakin melebar. Ia melompat-lompat kegirangan, maklum, masih anak kecil. Bagi orang dewasa, reaksi seperti itu mungkin baru muncul saat mereka mendapatkan undian emas batangan seberat 1 gram.
Naln menatap punggung Lenard dan sang ibu yang perlahan menghilang dari ruang tengah menuju dapur, daripada berlama–lama berdiri di ambang pintu, Naln memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju kamar, ruangan yang sebenarnya tidak layak untuk ditinggali karena cukup sempit, pengap, dan hanya beralaskan karpet tipis sebagai tempat tidur.
Walaupun tak nyaman untuk ditinggali, Naln tak punya pilihan lain selain kamar itu. Kamar yang sempit dan pengap itulah satu-satunya tempat berlindung dari suara – suara pelan yang terdengar lebih tajam daripada teriakan.
Sesampainya di kamar, Naln melepaskan tas di pundaknya dan menjatuhkan tas tersebut ke lantai begitu saja. Ia lalu berbaring lesu di atas karpet yang tipis, perlahan memejamkan mata yang mulai terasa berat untuk dibuka.
***
Seseorang mengetuk pintu kamar Naln. Ia yang sedang tertidur lelap perlahan membuka matanya. Awalnya, Naln ingin mengabaikan ketukan itu, namun suara Lenard yang terdengar dari balik pintu membuat Naln segera bangkit. Ia melangkah menuju pintu, meraih gagangnya, lalu menarik nya ke bawah. Tampak Lenard berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil membawa sepiring makanan di tangannya.
Naln mengerutkan keningnya seraya menatap makanan yang di bawa oleh Lenard.
“Ada apa Lenard?” Lenard nyengir, mencodongkan piring yang di atasnya terdapat nasi beserta lauk pauk.
“Untuk ku?” Tanya Naln sekali lagi tatkala menunjuk dirinya menggunakan jari telunjuk.
“Iya, ini buat Kakak. Maaf aku telat ngasihnya… soalnya, eeh, aku nunggu Ibu tidur dulu,” ucap Lenard sambil tersenyum ragu. Gerak tubuhnya tampak gugup, terlihat dari caranya mengayunkan badan pelan ke kanan dan ke kiri.
Naln tersenyum tipis, entah ia harus membalas apa pada kepedualian Lenard. Padahal Lenard sudah tau, bahwa ibunya melarang Naln untuk memakan makanan yang di sediakan di atas meja, tetapi Lenard bersikeras untuk tetap memberikan makanan kepada kakaknya, tanpa sepengetahuan sang ibu, dengan cara, menunggu ibunya tertidur lelap.
Naln dan Lenard mauk ke dalam kamar Naln, duduk di atas lantai yang sedikit berdebu, tapi itu tidak masalah bagi mereka. Lenard mendekatkan piring berisi makanan kepada kakaknya, Naln masih sedikit ragu untuk menerima makanan yang di bawakan Lenard, karna takut sang ibu tiba-tiba bangun dari tidurnya, lalu menangkap basah Lenard memberi makanan kepada Naln secara diam–diam.
“Tenang kakak, ibu udah tidur, kakak juga pastil aper kan? Jadi makanlah” Lenard menatap Naln sambil tersenyum.
Hati Naln luluh seketika tatkala melihat senyuman tulus Lenard. Naln perlahan menarik piring tersebut, walau masih sedikit ragu. Lenard memperhatikan bagaimana tangan Naln meraih piring yang di bawakannya, lalu Naln mulai memakan makanan itu dengan halap. Lenard terus memperhatikan Naln.
“Kamu liatin apa?” Tanya sang kakak , spontan Lenard mendongak, mata mereka bertemu.
“Bukan apa–apa kak…” Ruangan lengang sejenak, Naln tidak membalas perkataan adiknya itu, melainkan menganntii topik pembicaraan.
“Kamu tidak jijik melihat kakak mu yang memiliki Retakan hitam di keningnya?” Lenard mengangkat alismya.
“Ngak kak, kenapa kakak bertanya seperti itu?”
“Kebanyakan penduduk mengatakan itu kepada ku”
“Aku berbeda dari meraka kak” Intonasi Lenard terdengar tegas dan percaya diri. Naln terdiam menatap adiknya.
“Kakak, jangan samakan aku dengan yang lain. Aku masih menganggap kakak sebagai saudara kandungku, apa pun yang terjadi. Entah kakak punya kekurangan atau kelebihan, kakak tetaplah kakakku. Meski ibu bilang aku tak perlu peduli pada kakak, tapi aku…” Lenard refleks menutup mulutnya. Ia baru menyadari bahwa ia tak seharusnya mengungkapkan bahwa Ibu pernah mengatakan hal seperti itu kepadanya.
“Maaf kak, aku tidak bermaksud menyakiti hati kakak-"
“Aku sudah tau Lenard, tidak usah khawatir, hati ku sudah beradaptasi dengan suara–suara menyakitkan” Naln tersenyum, meski senyuman itu menyimpan luka yang berusaha ia sembunyikan. Sebenarnya Lenard mengetahui maksud senyuman Naln, ia berusaha menyembunyikan rasa sakit yang ia pendam.
Lenard terdiam. Ekspresi wajahnya perlahan berubah menjadi sedih. Naln, yang menyadari perubahan itu, mengulurkan tangan dan membelai rambut Lenard dengan lembut.
“Kok wajahmu menjadi sedih?” Wajah Naln tampak bingung saat melihat perubahan ekspresi adiknya, dari yang semula percaya diri, kini berubah menjadi sedih.. Lenard mendongak menatap sang kakak
“Kakak maaf ya…” Naln mengerutkan keningnya.
“Eh? Kenapa tiba – tiba minta maaf?”
“Maaf, kak, aku cuman bisa ngasih makan kakak diam-diam…” Naln tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala perlahan karena mendengar permintaan maaf tiba-tiba yang keluar dari mulut Lenard.
“Tidak usah meminta maaf, Lenard. Itu sudah cukup, lebih dari cukup, malah. Apa yang kamu lakukan untuk Kakak… sangat berarti. Meskipun hanya memberikan makanan, itu sudah lebih dari cukup bagi Kakak..” Lenard mengusap matanya yang perlahan basah.
“Beneran kak? Aku membantu kakak lebih dari cukup?” Naln terkekeh.
“Iya Lenard. Terimakasih atas semua kepedulian mu pada ku, itu sangat berarti” Lenard spontan memeluk Naln, Naln membalas pelukan Lenard.
Semua orang, bahkan orangtuanya sendiri, memandang Naln dengan kebencian. Setiap langkahnya di desa, selalu diiringi suara-suara pelan yang membicarakan retakan hitam di keningnya.
Namun, Lenard berbeda. Ia adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli pada Naln, hanya Lenard yang tak pernah ikut menjauh. Ia tak pernah melihat kakaknya sebagaimana orang lain memandang Naln. Bagi Lenard, Naln tetaplah kakaknya, tak peduli apapun yang melekat di wajahnya.