Kukira Shila sudah puas menghujaniku dengan kekhawatirannya saat kukabari tidak bisa masuk sekolah kemarin. Aku tidak tahu kalau dia masih menyimpan secercah rasa cemasnya untuk ditumpahkannya ketika melihatku masuk kembali pagi ini.
“Kamu yakin tidak perlu periksa ke rumah sakit? Kamu jatuhnya kemarin bagaimana, kaki dulu atau kepala dulu?”
Padahal kami belum lama kenal, baru bertemu saat orientasi murid baru, tapi tidak kusangka dia bisa sekhawatir ini mendengarku demam yang hanya sehari.
“Aku punya pengalaman tidak menyenangkan dengan demam sehari yang kamu anggap sepele itu,” begitu ucapnya, tapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut.
“Aku sungguhan sudah tidak apa-apa,” kataku dengan yakin.
“Pokoknya, akhir pekan ini, kamu harus ikut aku olahraga pagi. Tidak ada penolakan.”
Kalau sudah begini, kurasa aku sungguhan tidak bisa memberikan alasan untuk tidak mengiyakan. Soalnya Shila pasti tahu kalau aku tidak ada rencana apa-apa di akhir pekan kecuali bersantai.
Aku jadi teringat bagaimana reaksi orang-orang di pesan grup Klub Lost & Found. Kak Mela merasa bersalah dan mendoakan aku cepat pulih. Menurutnya, kalau dia tidak meninggalkanku sore itu, aku pasti tidak perlu sampai memanjat pohon mangga dan terjatuh. Kukatakan kalau itu bukan kesalahannya, karena semuanya terjadi atas kehendakku sendiri.
Lain dengan Bang Damian yang justru mentertawaiku, dan sebenarnya dia sudah begitu sejak sore ketika aku kembali ke ruangan klub setelah terjatuh dari pohon. Aku tahu kalau yang ditertawainya adalah aku yang bisa memanjat pohon tapi kebingungan untuk turun, bukan fakta bahwa aku demam karena kecapekan. Tapi, tetap saja aku lumayan kesal.
Mungkin Bang Jovin yang sudah berpengalaman menghadapi Bang Damian ikut merasakan kekesalanku, karena setelahnya dia membalas dengan, “Coba jatuh, Damian. Aku mau ketawa juga.” Aku puas sekali membacanya. Semoga Bang Jovin selalu dapat nilai seratus saat ulangan.
Sedangkan Arya, dia menyarankanku untuk banyak minum air putih dan melakukan peregangan ketika kondisiku sudah lebih baik. Menurutku dia cocok berteman dengan Shila.
***
Salah satu alasan aku tertarik mendaftar ke SMA Mentari adalah desain seragamnya. Kemeja putih lengan panjang, dilapisi dengan rompi biru tua, dan blazer biru tua yang biasanya hanya dipakai saat ada acara tertentu. Lalu yang paling kusukai, rok selutut yang bergaris-garis biru tua-hitam-putih dan dasi dengan warna senada.
Namun, kemeja lengan panjang itu kini bergesekan dengan lecet di sikuku, dan rok yang kusukai itu terus-terusan menyentuh luka di lututku. Aku enggan menggunakan plester luka sebab sensasi ketika menariknya lepas dari kulitku terasa menyakitkan. Tapi, perih yang mengundang air mata ini membuatku meragukan keputusanku. Apalagi, di jam istirahat pertama ini aku harus berjalan, menaiki tangga, menuju ruangan klub.
Jujur saja, sebenarnya aku tidak ingin pergi ke ruang klub, kalau saja sekarang bukan hari Kamis dan aku tidak bertugas menjaga ruangan.
Bang Damian sudah duduk membelakangiku di salah satu bangku ketika aku menggeser pelan pintu ruang klub. Dia menunduk fokus di hadapan buku tulisnya sambil bergumam dan sesekali menambahkan coretan. Sepertinya dia belum menyadari kehadiranku.
Teringat dengan tawa Bang Damian saat mendengar aku terjerembap dari pohon, aku jadi ingin mengisenginya. Sebelum memulai aksiku, aku berdiam diri selama satu menit, memastikan seniorku itu betul-betul fokus pada apa yang sedang dikerjakannya.
Satu.... Aku mulai menghitung.
Dua.... Pelan-pelan kuangkat kedua tanganku dan melangkah perlahan.
Ti—
“BA!”
“A—ayam!”
Aku mematung, tanganku memegang dada sebelah kiri dan merasakan jantungku berdegap-degap. Kucoba menenangkan diri sedangkan tawa Bang Damian mengudara. Niat hati ingin mengagetkan, tapi justru aku yang kaget.
“Kamu butuh setahun lagi untuk bisa mengagetiku, Win,” ejeknya.
Setelah sadar dari keterkejutanku, aku langsung memasang tampang masam. “Bilang, dong, kalau Bang Damian sudah tahu aku di sini.”
Bang Damian berdehem, kurasa tenggorokannya jadi kering setelah lagi-lagi mentertawaiku. “Kamunya diam saja, jadi aku pura-pura tidak tahu, hahaha.”
Setelah menutup buku catatannya, Bang Damian menarik bangku di sebelahnya, mengisyaratkan agar aku duduk di sana. Aku menurut duduk di sampingnya.
“Sebelumnya kamu sudah belajar tentang kegiatan menyisir, kan? Sekarang kamu akan belajar tentang pendataan.” Bang Damian menggeser laptop milik klub ke tengah meja agar aku bisa melihatnya. “Coba perhatikan. Ini tabel yang berisikan daftar barang temuan. Artinya, setiap barang yang ditemukan harus dituliskan informasinya di dalam tabel ini.”
Aku melihat layar dengan saksama. Terdapat kolom berjudul waktu, lokasi, jenis benda, nama benda, foto, dan keterangan di dalam tabel tersebut.
Bang Damian menunjuk setiap judul di kolom sambil menjelaskan. “Waktu diisi dengan tanggal dan jam berapa benda itu ditemukan. Lokasi diisi dengan tempat di mana benda ditemukan. Jenis benda ini seperti apakah benda itu termasuk alat tulis, perhiasan, gawai, atau yang lainnya. Lalu, nama benda adalah nama spesifik dari benda tersebut. Misalnya, kalung emas, pensil warna, gelang tali, dan buku catatan matematika.”
Ketika sedang menjelaskan begini, Bang Damian tampak serius dan tenang. Sangat berbeda dengan dirinya yang tertawa lebar beberapa menit lalu. Aku sampai tidak bisa berkata-kata saking herannya.
“Terus, kolom foto diisi dengan foto yang diambil ketika benda tersebut ditemukan. Terakhir, kolom keterangan diisi dengan keterangan tambahan yang sekiranya perlu dituliskan.” Selesai menjelaskan, Bang Damian menoleh kepadaku. “Bagaimana, Win, sudah paham belum?”
Aku mengangguk-angguk sambil berdeham panjang. “Paham, paham.”
“Kalau begitu,” Bang Damian mengirimkan foto dari ponselnya ke laptop, kemudian menyerahkan sebuah catatan, “coba kamu isi tabelnya dengan informasi ini.”
Begitu kuterima, aku langsung membaca catatan tersebut dan melihat foto yang dikirimkan, lalu memindahkannya ke dalam tabel. Setelah dua menit berlalu, kuperlihatkan hasil pekerjaanku. “Begini?”
Bang Damian membacanya dengan teliti, kemudian tersenyum lebar. “Windi cepat paham, ya. Pintarnya.”
Mendengar pujian yang tiba-tiba dilontarkannya, aku tersenyum geli. Rasanya agak kekanakan, tapi aku tidak memprotesnya.
“Kalau begitu, kita lanjut ke pelajaran berikutnya.”
Bang Damian membuka jendela baru yang kali ini menampilkan formulir berjudul ‘Pengembalian Barang’. Terdapat beberapa kotak di dalam formulir tersebut. Kotak persegi di sebelah kiri atas tidak memiliki tulisan apa pun. Kotak di sebelah kanan yang memanjang ke bawah dan membentuk huruf L terbalik berisikan jenis, nama, waktu, tempat, dan keterangan. Kotak terakhir berbentuk persegi panjang, ada di bagian paling bawah, bertuliskan nama pemilik, nama pengambil, kelas, dan waktu pengembalian.
Saat memperhatikannya, aku langsung teringat dengan tabel sebelumnya. “Isian di formulir ini sama seperti di tabel tadi, ya, Bang?”
“Betul. Kotak kosong persegi ini nantinya diisi foto dari benda yang ditemukan, terus kotak L terbalik isinya sama dengan yang ada di tabel tadi. Tapi, di sini ada tambahan kotak di paling bawah. Nah, nama pemilik ini sudah jelas diisi dengan nama orang yang punya barang.
“Nama pengambilnya adalah nama orang yang mengambil barang itu. Keduanya bisa saja beda, karena mungkin saat itu yang punya barangnya tidak bisa mengambilnya secara langsung dan meminta tolong ke orang lain untuk mengambilkan. Selanjutnya, kelas diisi dengan nama kelas dari orang yang punya barangnya. Lalu, waktu diisi dengan tanggal barangnya dikembalikan.”
Seraya mendengarkan penuturan panjang Bang Damian, mataku menatap lurus menuju layar, memperhatikan setiap kata di sana dengan dahi mengernyit. Begitu penjelasannya selesai, aku pun mengangguk. Kurasa aku akan lebih paham kalau langsung mempraktikkannya.
“Ada catatan seperti tadi, tidak, Bang? Aku mau coba mengisinya.”
Bang Damian mengambil buku catatan tadi, membalik halamannya, kemudian memberikannya kembali. Aku membacanya dengan cepat dan mengetikkan informasi yang tercatat ke dalam formulir. Setelah selesai, aku menunjukkannya kembali pada Bang Damian dengan percaya diri.
Kali ini Bang Damian menepuk tangannya dengan agak dramatis, seolah-olah adik kelasnya ini baru saja menyelesaikan pertunjukan yang hebat. “Wuah, pintarnya!”
Alih-alih kesal, aku justru tertawa dengan reaksi berlebihan itu dan merasa terhibur. Sepertinya Bang Damian cocok jadi guru TK atau SD. Tapi, meskipun aku merasa interaksi ini lumayan seru, aku tidak akan melupakan kalau senior satu itu pernah mentertawakanku gara-gara jatuh dari pohon.
“Baiklah. Pelajaran selanjutnya adalah...,” jeda Bang Damian, tangannya mengetuk meja untuk menimbulkan efek dramatis yang membuatku tambah tidak sabar, “... melayani orang yang datang ke klub!”