Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Bab 27

Rumah Sastra lebih suram daripada sebelumnya.

Triplek dan gabus yang tak tersentuh lagi tetap dibiarkan teronggok di teras yang teduh. Patahan yang tak terpakai merongsok di bawah terpal yang kian merendah karena menampung beban air hujan kotor bercampur guguran daun. Satu kali guyuran deras lagi, terpal yang ditopang bambu-bambu itu bakal runtuh.

Soya dan Juni terperangah menyaksikan pemandangan tersebut.

“Perasaanku aja atau rumput liarnya tumbuh cepet banget ...?” gumam Juni saat mendorong pagar yang berkeriut nyaring.

Pandangan Soya otomatis tertuju pada sesemakan mawar dan—sedikit mengejutkan, tetapi melegakan—ternyata tanaman kembang itu menyubur.

Setidaknya ada harapan yang masih mekar di antara kesuraman yang menyelimuti rumah sang pria.

“Yuk.” Soya menggandeng Juni menyusuri pekarangan menuju teras. Mereka melepaskan sepatu, menginjak ubin kelabu dingin dengan kaos kaki tipis.

“Pak Sastra?” panggilan mereka seperti gema halus yang terpantul pada ketiadaan. Jendela-jendela ditutup rapat. Sempat terpikir bahwa pria itu belum kembali dari sekolah, tetapi tanda-tanda kecilnya jelas: pagar tidak digembok, ada lantunan ‘Panggung Sandiwara’ yang berulang-ulang seperti kaset rusak, dan desis ketel yang tidak kunjung dimatikan.

Siul yang kian meninggi itu membuat Soya cemas. Ia menyusuri lorong teras menuju pintu belakang, berharap tidak dikunci juga.

Klik.

Tak terbayang kelegaan yang menggusur rasa gugup cewek itu ketika berhasil membuka pintu. Ia bergegas mematikan kompor. Air membuncah dari moncong ketel yang tutupnya longgar, menantang api yang mendesis marah.

Juni menyusul masuk. “Pak?” ia mengeraskan suara. “Pak, masa ketelnya nggak dimatiin!”

Masih tetap tak ada jawaban. Kedua cewek itu bertukar tatap dengan kekhawatiran serupa. Mereka menyebar ke segala ruangan, hingga akhirnya menemukan Sastra ternyata memeluk lutut di pojok ruang duduk, bersandar di balik sofa, masih dengan seragam kerja. Tas kulitnya tergolek sembarangan di lantai.

“Pak ...?” Juni berbisik, tetapi sang guru terlanjur tenggelam terlalu dalam di lautan lamunan.

Soya mengikuti arah pandang Sastra, pada pigura-pigura kayu berukir yang tergantung rapi di dinding bak kolase kehidupan.

Ia berkali-kali mengunjungi rumah Sastra, dan tahu menyoal keberadaan pajangan itu, tetapi ada terlalu banyak pigura di rumah ini sampai-sampai Soya malas melihat satu per satu.

Kali pertama ia ikut memerhatikan foto-foto yang direnungi Sastra, Soya melihat banyak potret pria paruh baya dengan senyum yang begitu hangat, dan sepasang mata yang tersenyum bak bulan sabit tengkurap. Salah satu foto memuat tanda tangan yang masih bisa dibaca tulisannya:

Sendra Wara.

Aktor lawas yang telah tiada sebelum Soya lahir. Ayah Sastra.

“Pak,” panggil Juni sekali lagi, kali ini lebih lembut. “Pak Sastra nggak apa-apa?”

Pria itu tersentak dari lamunan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajah, barulah menatap wajah kedua muridnya. Matanya yang merah membuat Soya merasa iba.

“Ada apa, anak-anak?” suaranya serak, macam belum diguyur air minum sejak kemarin. Tampaknya Juni memikirkan hal yang sama, karena cewek itu berkata akan membuat minuman, lantas berlalu ke dapur.

Soya memutuskan untuk ikut duduk di lantai. Ia menunjuk pigura-pigura yang dipandang Sastra. “Ternyata papaku tahu beliau.”

Sastra sempat terperangah, tak menduga dengan kata-kata yang dilontarkan Soya. Terlihat dari rautnya bahwa ia menduga bakal diajak mengobrol soal nilai UTS, bukan teater lagi.

Seolah Layar Surya tak pantas dibahas lagi.

Ujung bibir Sastra tertarik kaku. “Bapak saya memang terkenal sekali. Dulu, sebelum kalian lahir.”

“Almarhum yang mendirikan Layar Surya?”

“Benar. Tapi Layar Surya sudah eksis sejak lama. Sejak tahun tujuh puluhan. Waktu itu namanya bukan Layar Surya ... sampai Bapak mendaftarkannya di SMA Surya Cendekia, dan barulah pakai nama Layar Surya.”

“Mendaftarkan?” ulang Soya penasaran.

“Bapak dulu lulusan SMA Surya Cendekia juga.” Sastra tersenyum. Acap kali ia membicarakan sang ayah seolah-olah beliau masih hidup dan sedang dirawat di rumah sakit, bukan terkubur di suatu tempat. “Saat lulus, terpikir untuk mengusulkan pembentukan ekskul teater di sini. Bapak juga yang jadi pembinanya. Dari dulu, bilangnya terinspirasi dari Bengkel Teater punya Pak Rendra.”

Sastra terkekeh lemah. Soya tersenyum tipis menyadari sang guru bercerita seolah-olah telah menantikan momen ditanyai.

“Apalagi waktu Taman Ismail Marzuki itu didirikan. Tahun berapa itu, ya ....” Telunjuk Sastra menyusuri foto-foto yang ada, melewati satu pigura yang memamerkan potret Sendra Wara berangkulan dengan W.S. Rendra. “Ahh, ini, sekitar tahun ’70.”

Jarinya berhenti pada pigura lain yang memamerkan sosok Sendra Wara berfoto dengan sejumlah orang. Namun ada satu sosok wanita yang menarik perhatian Soya di sana. Ibu Kepala Yayasan saat masih muda. Semua mengenakan kostum, tetapi masih belum dirias.

“Ini, nih. Waktu itu sering ada festival pertunjukan di Taman Ismail Marzuki ... makanya, Bapak ngide untuk membawa ekskul teater ke SMA Surya Cendekia juga, biar banyak remaja yang terjaring juga.”

Soya tak bisa menahan diri berceletuk. “Ada ibunya Pak Sastra juga.”

Namun, ia menyesal saat senyum pria itu berubah sendu. “Ya,” jawabnya lirih. “Ibu dulu juga pemain Layar Surya ... sampai orang tua Ibu—kakek saya—melarang dan nyuruh Ibu mengabdi di dunia pendidikan aja. Kakek saya orangnya keras.”

Apakah itu alasan Ibu Kepala Yayasan menjadi keras juga? Walau begitu, Soya merasa itu alasan yang terlalu dangkal jika dikaitkan dengan pembubaran Teater Layar Surya dari SMA Surya Cendekia, bahkan setelah puluhan tahun.

“Kalau gitu ...,” gumamnya. “Kenapa Ibu Kepala Yayasan tega bubarin Layar Surya dari SMA kita, Pak? Masa sampai harus segitunya?”

Di saat yang sama, Juni akhirnya muncul lagi membawa nampan berisi teh hangat dengan potongan lemon dan lelehan madu. Masing-masing mengambil secangkir, menyesap lambat-lambat untuk menghangatkan tenggorokan di hari yang dingin.

Sastra menghela napas lega. “Saya ngerti kenapa Ibu begitu,” katanya getir. “Saya ngerti ... Ibu juga sebenarnya dilema mempertahankan Layar Surya di SMA sejak kepergian Bapak. Saya kenal gelagat beliau. Dari dulu ingin menyingkirkan teater. Tapi saya ngeyel. Saya yang ngeyel, sampai-sampai saya rela kuliah lagi untuk ambil jurusan pendidikan, biar bisa jadi guru dan menjaga Layar Surya tetap di SMA Surya Cendekia.”

Usai menyesap teh lemon sekali lagi, Sastra melanjutkan, “Kadang, saya mikir apa saya jahat karena memaksa Ibu mempertahankan Layar Surya.”

Juni mengernyit. “Tapi, Ibu Kepala Yayasan juga yang nuduh Bapak menyebabkan kecelakaan itu sampai Almarhum Sendra Wara meninggal. Ibu Kepala Yayasan sama jahatnya, dong.”

Baik Soya dan Sastra terperanjat dengan pernyataan Juni.

“Kamu tahu?” Soya memelotot. Ia kira hanya Nova yang tahu, sampai-sampai Soya mesti menggali informasi perlahan di tiap celah yang ada!

Juni salah tingkah saat Sastra menatapnya dengan mulut menganga, perasaan malu membayangi rautnya yang lelah.

“Iya ... Kas tahu dari ayahnya yang sutradara. Aku maksa dia cerita.”

Sastra terkekeh lemah. “Memang heboh banget waktu itu. Saya sampai gila,” katanya, mengingatkan Soya akan surat dengan kop rumah sakit jiwa.

Sekarang, semua kepingan itu mulai tersusun rapi di benaknya.

“Ibu terlalu patah hati,” kata Sastra dengan senyum sendu. “Sejak Bapak sakit-sakitan karena kebanyakan memforsir energi untuk latihan teater, dan Bapak mengeyel, nggak mau dengerin Ibu. Mereka sempat mau cerai juga. Ibu lebih kecewa lagi saat saya ngebela Bapak. Waktu Bapak sakit, saya pikir ... mengantar Bapak untuk menonton panggung teater kawan-kawannya bakal bantu penyembuhan. Terrnyata, di perjalanan terakhir kami, Bapak kena serangan jantung di jalan.”

Sastra menyugar rambut. Kedua matanya yang merah mulai berkaca-kaca. “Ibu sudah terlanjur patah hati dan kecewa, dan berita waktu itu bikin Ibu ... berubah. Sangat berubah.”

“Tapi, nuduh anaknya sendiri ....” Juni mengerucutkan bibir. “Bapak nggak menjelaskan?”

Soya menatap Sastra lekat-lekat. Tuduhan pembunuhan oleh orang tuanya sendiri memang sangat kejam bagi Soya, toh dituduh menjadi penyebab orang tuanya nyaris cerai saja membuatnya tertekan selama bertahun-tahun.

Bagaimana dengan Sastra?

Namun, kala pria itu menggeleng pelan, Soya merasa ada keretakan kecil di hatinya.

Sastra terkekeh lemah.

“Itulah,” katanya serak. “Saya nggak pernah berani bicara kepada Ibu. Ibu berubah terlalu drastis sampai-sampai saya khawatir ... kalau saya bicara soal itu, Ibu akan pergi dari hidup saya juga.”

Keheningan meliputi ruangan. Kaset koleksi lagu Nike Ardilla tersendat-sendat di dalam radio. Hujan pun telah berhenti mengguyur di luar, membuat suara Sastra terdengar keras di telinga Soya walau diucapkan begitu lirih.

“Saya nggak mau ditinggal satu-satunya keluarga yang saya punya, walau itu berarti saya harus dibenci seterusnya.”

“Makanya,” imbuh pria itu sambil menatap Soya. “Inilah salah satu alasan saya maksa kamu bertahan di Layar Surya, Soya,” bisiknya. “Seketika saya tahu masalahmu dengan orang tuamu, saya mikir ... jangan sampai ada saya yang kedua.”

Soya menghela napas. Ia tahu Juni menatap mereka berdua bergantian dengan tatapan “oh-jadi-begitu” yang penuh selidik, tetapi Soya tidak sedang ingin menjelaskan situasinya.

“Tapi....” Sastra menghela napas. “Terlepas dari masalah orang tua dan anak ini ... sebenernya ini masalah antarmanusia secara umum. Kayak kalian waktu awal perkenalan, misalnya.”

“Kami?” Juni melongo. “Saya dan Soya kenapa, Pak?”

“Masa nggak ingat saat kamu merekam Soya, tapi ternyata Soya nggak suka direkam sampai mukul hapemu?” Sastra tersenyum saat Juni dan Soya sama-sama meringis. “Atau seperti gimana saat Soya dulu pasrah diganggu teman-teman yang berisik saat baca naskah, tapi Nova bisa bikin mereka diam. Intinya sama aja. Dalam sebuah hubungan ... akan selalu ada pihak yang menguasai. Mendominasi. Dan hubungan akan terus seperti itu ... sampai pihak yang lain menegaskan posisinya juga. Menancapkan bendera. Bicara.

Soya menekuk wajahnya malu. Jika dipertegas seperti itu, rasanya agak menjengkelkan, walau ia mengakuinya dalam hati.

“Bapak ... tiba-tiba bahas saya ... Bapak ngalihin topik, ya?”

Sastra mendengus. “Biarin. Saya bosen mikir hal menyedihkan tiap hari.”

Soya balas menyipitkan mata.

“Trus, buat apa kalian ke sini?” Sastra baru menyadari kehadiran dua muridnya di jam pulang sekolah. “Apalagi kamu, Soya. Harusnya kamu udah pulang, kan?”

Diingatkan begitu, Soya lantas teringat bahwa tiga ... tidak, dua puluh menit lagi adalah perkiraan jam Soni bakal tiba di rumah.

Dan, butuh waktu hampir dua puluh menit untuk jalan kaki pulang!

“Yah, keasyikan denger cerita!” Soya melompat kaget. Ia buru-buru menghabiskan teh lemon madu buatan Juni, menyambar tasnya, dan bilang:

“Karena ... karena mumpung Bapak barusan kasih ceramah saya untuk bicara, jadi saya mau ngomong sekalian ... kalau masih memungkinkan, ayo, ikut lomba apa adanya! Kita udah berusaha sejauh ini, masa mundur begitu aja!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Unexpectedly Survived
325      278     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Eternal Sakura
1032      596     1     
Short Story
\"Sampai jumpa tahun esok Hana...!! di hari yang sama, di musim semi ketika bunga Sakura mekar, kami akan mengunjungi mu lagi.......!!\"
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
871      585     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
HAMPA
451      321     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Waktu Itu, Di Bawah Sinar Rembulan yang Sama
883      518     4     
Romance
-||Undetermined : Divine Ascension||- Pada sebuah dunia yang terdominasi oleh android, robot robot yang menyerupai manusia, tumbuhlah dua faksi besar yang bernama Artificial Creationists(ArC) dan Tellus Vasator(TeV) yang sama sama berperang memperebutkan dunia untuk memenuhi tujuannya. Konflik dua faksi tersebut masih berlangsung setelah bertahun tahun lamanya. Saat ini pertempuran pertempuran m...
My Rival Was Crazy
154      137     0     
Romance
Setelah terlahir kedunia ini, Syakia sudah memiliki musuh yang sangat sulit untuk dikalahkan. Musuh itu entah kenapa selalu mendapatkan nilai yang sangat bagus baik di bidang akademi, seni maupun olahraga, sehingga membuat Syakia bertanya-tanya apakah musuhnya itu seorang monster atau protagonist yang selalu beregresi seperti di novel-novel yang pernah dia baca?. Namun, seiring dengan berjalannya...
Untuk Reina
26950      4308     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Love Invitation
589      416     4     
Short Story
Santi and Reza met the first time at the course. By the time, Reza fall in love with Santi, but Santi never know it. Suddenly, she was invited by Reza on his birthday party. What will Reza do there? And what will happen to Santi?
Palette
6790      2539     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Last Hour of Spring
1553      823     56     
Romance
Kim Hae-Jin, pemuda introvert yang memiliki trauma masa lalu dengan keluarganya tidak sengaja bertemu dengan Song Yoo-Jung, gadis jenius yang berkepribadian sama sepertinya. Tapi ada yang aneh dengan gadis itu. Gadis itu mengidap penyakit yang tak biasa, ALS. Anehnya lagi, ia bertindak seperti orang sehat lainnya. Bahkan gadis itu tidak seperti orang sakit dan memiliki daya juang yang tinggi.