“Aku nggak percaya kalau itu Soya.” Juni menangkup kedua pipinya dengan mata memelotot. “Aku yakin Soya udah kerasukan.”
“Lebai—“
“Mungkin Soya udah menemukan passion di dunia akting?” Kaspian menimpali, matanya berkilau oleh harapan.
“Terlalu cepet, sih, untuk seukuran Soya. Kayaknya dia kerasukan jiwa permaisuri. Dari gugup dan pasif jadi bersemangat.” Daru menggeleng. “Kuncinya memang ngasih peran yang cocok buat Soya, nanti dia menjiwai dengan sendirinya!”
Nova menepuk lutut Daru dan Kaspian. “Kalian ini cowok-cowok halu. Soya itu udah muak. Kalian ngerti, nggak, tentang tokoh-tokoh film yang biasanya pendiam itu bakal meledak paling keras menjelang ending? Ya itu!”
Soya mengangkat jari sedari tadi, tapi bahkan tidak ada yang mau berhenti mengemukakan pendapat. Ia menghela napas pasrah.
“Kalau kalian emang nggak percaya, kenapa kalian mau kumpul di sini, coba ...?” ia menggerutu, mengayunkan tangan pada pojok perpustakaan.
Waktu itu jam istirahat pertama di hari terakhir UTS. Masing-masing membawa lembar latihan soal, berkumpul mengelilingi meja rendah lebar di atas hamparan karpet hitam, tetapi tak ada yang repot-repot mau belajar. Mereka telanjur terpaku dengan pesan yang dikirimkan Soya semalam:
Soya Mayanura
Malam, teman-teman .... Aku minta maaf atas kejadian akhir-akhir ini, ya .... Kalo kalian nggak keberatan besok mau ngobrol? Siapa tau bisa lanjut latihan lomba lagi ....
Setelah sekian lama tidak muncul di grup percakapan, tentu saja satu pesan itu spontan membuat heboh. Seolah-olah tak ada satu pun dari mereka pernah marah kepada Soya. Kala Sastra disebut-sebut, sang guru hanya membalas dengan stiker. Tampaknya efek forum sidang kemarin masih menahannya untuk ikut menimbrung.
Dan, tentu saja, keesokan harinya Soya mendapati semua hadir di pojok perpustakaan yang mulai melonggar. Hanya ada murid-murid yang tetap semangat belajar di hari terakhir UTS kala yang lain mulai muak dengan berbagai latihan soal.
“Justru karena nggak percaya, aku mau membuktikan.” Kaspian mendengus. “Tapi kurang sepuluh hari lagi. Emang bisa?”
“Sisa persiapan sepuluh hari dengan properti yang belum beres ... belum ngurus kostum, belum latihan sandiwara bareng ....” Nova memijat pelipis. “Bisa, sih, kalau ini sanggar teater orang tuaku yang udah pengalaman dan punya stok properti yang bisa dipakai ulang!”
“Itu dia!” Kaspian memelotot. Ia menuding Nova. “Kenapa nggak kepikiran dari kemarin? Berapa biaya sewa properti dari sanggar orang tuamu?”
“Mau sewa? Duit dari mana?!”
“Seenggaknya kalau nyewa di orang tuamu, kita bisa nyicil ... kan?”
Nova sempat terbengong-bengong. “Aku sebenarnya nggak tahu biaya sewanya berapa. Belum pernah disewakan.”
“Nah, sekarang buka sewa!”
“Enak banget ngomongnya!”
“Ssh!” murid-murid di meja sebelah spontan memelototi mereka. Kaspian dan Nova mengatupkan bibir, refleks membuang muka. Sementara Juni, yang sudah merekam diam-diam sejak tadi, tertawa tanpa suara.
Nova menghela napas. “Aku coba tanyakan dulu,” katanya, lantas mengeluarkan ponsel. Selagi cewek itu sibuk mengirim pesan kepada orang tuanya, Kaspian mengisyaratkan ketiga anggota yang lain agar merapat.
“Ada ide gimana biar kita masih bisa latihan? Soya? Kamu, kan, biasanya ada ide kreatif buat menghadapi orang tuamu yang strict itu.”
Namun, Daru yang bersuara. “Aku biasanya latihan akting di sela-sela waktu, itu hiburanku kalau lagi bosan bantuin Mbah goreng donat tiap pagi,” usulnya. “Gimana kalau kita manfaatin jam istirahat untuk latihan bareng? Misalnya, satu babak tiap satu kali jam istirahat?”
Soya mendukung itu. “Intinya curi-curi waktu yang ada,” timpalnya. “Kita cuma perlu mikir pakai ruangan yang nggak bakal mengganggu orang lain ... dan nggak bakal ketahuan pihak sekolah juga.”
Segera setelah Soya mengatakan hal itu, semua spontan saling menunjuk.
“Ruang serbaguna!”
**
Ah, ruang serbaguna. Lama tak tersentuh, berdebu sebab tak ditengok. Walau disebut ruang serbaguna, kenyataannya pihak pengelola seolah lupa dengan keberadaan ruang ini, tersembunyi di pojok bangunan lama SMA Surya Cendekia. Tidak heran jika murid-murid antargenerasi dihantui cerita tentang keangkeran ruang serbaguna, sebab—apalah sekolah tanpa sebuah kisah angker?
Namun, itu sebenarnya hanya upaya karyawan SMA agar tidak perlu sering-sering membersihkan ruang lapang yang disesaki meja-meja dan kursi-kursi cadangan yang berdebu.
Padahal ruang serbaguna sempurna bagi kenakalan kecil para awak Layar Surya. Dengan jendela-jendela yang menghadap ke bagian belakang sekolah dan juntaian kembang sepatu, tersambung dengan lorong pendek yang menghubungkan belakang panggung auditorium, dan jauh dari titik pengawasan guru-guru, ruang ini adalah rumah lama yang dibuka kembali.
Dan, dengan dibuka, bukan berarti pintunya dijeblak lebar-lebar, melainkan terjaga tergembok dengan lapisan pintu teralis menghadang rapat. Anak-anak itu selalu menyelinap melalui belakang panggung auditorium. Siapapun yang tiba duluan bertugas menyalakan lilin, sebab lampu bohlam belum juga diganti walau dua bulan telah berlalu.
Hari demi hari, penyelinapan demi penyelinapan, anak-anak itu melesat keluar kelas tiap bel istirahat berbunyi. Sayangnya, Sastra tak bisa ikut serta karena berpasang-pasang mata senantiasa mengawasi gerak-geriknya.
Seperti hari ini, ketika tiga hari telah berlalu dan mereka memasuki babak ketiga yang singkat. Nova berperan menjadi narator juga, yang mengakali kekurangan jumlah pemain dengan merekam suaranya.
“Maka, pamitlah Cindelaras kepada Ibunda menuju Kerajaan Jenggala,” ujarnya keras-keras pada ponsel. Di seberang, Daru tengah salim kepada Soya, sementara Kaspian dan Juni menyantap bekal mereka dalam diam. Ponsel Juni tetap menyala untuk merekam tiap detak latihan untuk dikirim kepada Sastra. Begitulah mereka balapan dengan waktu yang berlari.
“Saya pamit, Ibunda,” kata Daru, sama sekali tak melirik naskah lagi. “Doakan saya dan nantikan kabar baik yang akan saya bawa pulang!”
Sementara Soya, yang sesungguhnya telah hapal dengan dialog-dialog permaisuri, justru mengalami blank saat harus tampil lagi. Ia mengacungkan bendelan naskah yang lecek di tangan kiri. “Iya, Ananda .... Ibunda akan selalu mendoakanmu .... jangan bertindak gegabah!”
Juni mengacungkan jari. Nova menghentikan rekaman dan Soya menoleh gugup.
“Suara Soya masih terlalu gemetaran, nggak, sih?”
Daru mengibaskan tangan. “Anggap aja permaisuri yang panik dan cemas setengah mati karena mau ditinggal anak semata wayang.”
Soya menghela napas saat Juni mengernyit, walau cewek itu tidak protes lagi. Daru selalu punya cara untuk membelanya ... atau mungkin itu cara Daru agar mereka tidak ribet memikirkan urusan remeh sementara sisa delapan hari sebelum lomba?
“It’s okay,” kata Kaspian dengan nada realistis. “Toh kita nggak perlu membuktikan apa-apa kepada Pak Ishak. Menang-kalah urusan belakangan, yang penting kita tetap tampil.”
Soya menarik napas dalam-dalam. “Yah ...,” responsnya. “Yang penting, Layar Surya berjalan lagi, apapun rintangannya.”
**
Malam itu, Juni mengirimkan dua rekaman hasil latihan tadi siang. Sastra menerimanya, dan sambil menyesap teh lemon madu di dapur, ia menonton video itu.
Tak pernah sekali pun ia mempercepat lima belas menit rekaman yang ditontonnya. Sastra menghayati seolah-olah ia berada di antara mereka, mengangguk dan menggeleng saat anak-anaknya mengungkapkan pendapat bergantian, dan mencatat di notes jika ada yang perlu ia sampaikan lewat grup percakapan nanti.
Dan, ketika ia mendengar muridnya yang paling penakut, pendiam, dan tertekan itu berkata, “Yang penting, Layar Surya berjalan lagi apapun rintangannya,” Sastra refleks menghentikan video. Ia terdiam sejenak, bengong memandang potongan lemon yang semburat oranye di permukaan teh.
Ia mengulangnya lagi.
“Yang penting, Layar Surya berjalan lagi ....”
Ia ulang, untuk kedua kali.
“Layar Surya berjalan lagi apapun rintangannya ....”
Saat Sastra mengulangnya untuk ketiga kali, pelupuknya penuh oleh air mata.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas