Loading...
Logo TinLit
Read Story - No Life, No Love
MENU
About Us  

“Keraguan hadir ketika seseorang merasa tidak ada kepastian dalam hidupnya.”

***

Kata pendakwah tersohor dalam negeri ini, Tuhan selalu ada di sisi kita. Tuhan mendengar apa pun yang didoakan oleh hambanya. Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di dunia. Tuhan juga mengetahui takdir hidup manusia dari lahir sampai kembali ke sisi-Nya. Tapi Tuhan tidak merasakan bagaimana kehidupan manusia, bagaimana susah, dan sedihnya manusia. Tuhan tidak memiliki itu, jadi mengapa dia memberikan takdir yang sebegitu menyedihkan untuk hambanya? Tujuannya melakukan itu kenapa? Padahal manusia juga tidak berharap bisa hidup di dunia.

Banyak orang di era modern ini berkata bahwa jika dirinya tidak lahir pun tidak ada yang rugi, dia tidak akan rugi jika tidak dilahirkan. Lalu pertanyaannya mengapa ketika ditanya dulu dia ingin dilahirkan? Apakah sebegitu bodohnya dirinya hingga mau bersedih-sedih di dunia ini? Atau memang dia menginginkan hidup dengan kesedihan seperti ini dulu? Dia perlu mempertanyakan kembali rohnya saat itu, apakah sedang demam sehingga mengelantur ketika memutuskan sesuatu?

Tak hanya tentang kelahiran dan masa depan yang membuat Erilya membenci kehidupan ini, tetapi juga kenapa Tuhan memberikan ketidakadilannya di dunia dengan membuat kelas sosial kepada makhluk hidup? Padahal Tuhan mengatakan bahwa semua makhluk setara di mata Tuhan. Lalu mengapa harus ada takdir buruk dan baik kalau dibuat setara? Sebenarnya batasnya sampai mana?

Melihat pohon di depan matanya ini membuat Erilya mempertanyakan apakah pohon itu pernah menyesal dilahirkan di dunia seperti dirinya? Dia kalau terlahir kembali sepertinya akan lebih memilih menjadi pohon atau hewan. Tidak perlu memikirkan kehidupan yang rumit ini. Lalu dari seluruh makhluk hidup ini mengapa hanya manusia yang harus bekerja keras untuk mempertahankan hidupnya? Mengapa ada aturan-aturan tertulis yang dibuat oleh manusia lain untuk memanusiakan manusia? Mengapa semua itu ada? Mengapa manusia bisa sampai di tahap itu. Otak manusia yang berkembang ke arah lebih baik atau untuk membuat manusia semakin ekslusif di antara makhluk hidup lainnya?

Semua pertanyaan ajaib itu terlintas dalam pikirannya ketika harus menghadapi keadaan yang menyedihkan. Jika dalam keadaan senang, Erilya tentu tidak akan memikirkannya. Tapi bukankah memang manusia lebih suka menghakimi Tuhan ketika dia sedang tidak baik-baik saja? Jika takdirnya bagus pun dia akan lupa dengan Tuhan. Jadi, sebenarnya yang salah manusia itu sendiri atau Tuhan yang memberikan hidup ini?

Ada manusia yang memiliki ketabahan yang tinggi dalam menjalani hidup, ada juga manusia yang tidak memiliki kesabaran seperti dirinya. Jikalau semua berakhir sekarang Erilya pasti menjadi orang yang paling senang di dunia. Akan tetapi, Erilya mengingat banyak cerita di akhirat yang katanya mereka ingin hidup kembali dan membuat kebaikan di dunia. Benarkah? Padahal kalau dipikir-pikir orang mati mana yang bisa memberikan kesaksian itu kepada manusia yang masih hidup? Jangan-jangan memang semuanya hanya dongeng belaka.

“Lo mau sampe kapan lihatin pohon di depan lo?” Velove menepuk pundak sahabatnya yang sejak awal kedatangannya lebih memilih menunggu Velove di pekarangan rumah sambil bermain ayunan. Ayunan itu terletak di salah satu pohon yang berjejer di rumah Velove.

Pohon yang rindang dan terasa sejuk itu menjadi tempat favoritnya ketika bermain ke rumah Velove. Erilya merasa bahwa suasana itu bisa mengobati sedikit hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.

“Lo udah siap? Ayok ke gereja kalau gitu.” Erilya berdiri dan berjalan ke arah motonya yang terparkir tidak jauh dari ayunan. Dia lalu membonceng Velove dan membawa perempuan itu ke gereja. “Ini parkirnya di mana?”

Satu-satunya gereja katolik di kota mereka itu terletak di tengah kota. Gereja terdekat yang berada di sekitar mereka. Entah jika di bagian kota ini masih ada yang lainnya, tetapi di dekat perkotaan hanya ada satu itu. Alhasil mereka ke sana. Tempat parkirnya juga berada agak tersembunyi karena harus parkir di dalam sekolah Kristen yang terhubung dengan gereja.

“Lo lewat jalan searah dulu. Nanti masuk ke sekolah. Parkir di sana. Biasanya ada yang ngarahin.” Benar saja, di dalam kawasan sekolah terdapat anak gereja yang memberikan instruksi. Erilya mengikuti instruksi itu.

Setelah memarkirkan motornya, Erilya dan Velove turun. Erilya merasa tegang karena ini pertama kalinya dia mencoba untuk masuk ke dalam gereja. Dia lalu menatap orang sekeliling yang baru datang juga. Wajah-wajah mereka terlihat perpaduan chindo yang kental. Mata sipit, wajah yang agak lebar, bibir tipis, dan kulit yang lumayan bersih. Erilya kemudian mengingat tampilan dirinya. Wajahnya sangat khas bentuk etnisnya sendiri.

“Ih gue takut, Ve. Muka gue kagak ada Cina-cinanya.” Erilya berbisik ke Velove.

“Ah biasa aja. Nggak peduli juga mereka.” Velove menenangkan Erilya. Ya setahunya memang tidak pernah ada yang mempermasalahkan bagaimana tampilan orang yang ke gereja. Selama pakaian yang dipakai sopan dan tidak mengganggu jalannya ibadah juga tidak ada yang masalah.

Untuk pertama kalinya Erilya memasuki gereja. Kayu-kayu panjang berjajar rapi, di dinding-dinding gereja terdapat lukisan perjalanan Yesus ketika dibaptis. Di tengah-tengah ruangan terdapat tempat berkhotbah yang juga diisi patung Yesus yang disalib dengan ukuran besar. Erilya berhenti sejenak di tengah ruangan. Dia tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaannya saat ini. Yang jelas dia hanya ingin merasakan bagaimana gereja yang menjadi tempat sakral penganutnya.

Erilya merasa tenang. Dia melihat ke bagian kiri, di sana sepertinya menjadi tempat paduan suara menyanyikan firman Tuhan. Di bagian atas kiri dan kanan terdapat televisi yang sedang merekam ibadah gereja hari itu. Erilya kemudian melirik ke sekelilingnya. Dia tidak ingin orang di gereja tahu bahwa dirinya bukanlah dari agama itu. Dia lalu menatap ke atas sekilas, ternyata ada satu lantai lagi di dalam gereja itu.

Erilya balik menatap ke tengah gereja di mana patung Yesus disalib ada. Dia menatap dengan dalam. Apakah Tuhan ada di sini? Apakah Tuhan ini yang terbaik untuk dirinya?

“Lo mau duduk di mana? Tengah atau belakang?” Velove mencari-cari tempat duduk yang strategis. Tidak terkena kamera dan tidak berada di bagian belakang.

“Terserah aja. Gue ngikut.”

“Yaudah sini aja. Kelihatan nggak itu di kamera?” Velove duduk di bagian tengah yang dekat dengan jalan tengah.

“Nggak kelihatan deh. Kayaknya dua di depan kita itu terakhir ke sorot.” Erilya memastikan bangku-bangku yang terekam di layar dan mengecek sesuai keadaan.

“Ini lo mau duduk di sini atau di sini?” Erilya menatap tempat duduk Velove. Tempat duduk itu tepat di samping jalannya pastor. Erilya bergidik ngeri. Dia takut jika nanti selama ibadah malah menganggu karena jujur saja dia juga takut lama-lama melihat salib di depannya. Hatinya merasa semakin tidak karuan. Dia merasa bingung dengan dirinya.

“Nggak deh. Gue di sini aja.” Erilya memilih untuk duduk di samping Velove yang tidak terlalu dekat dengan jalan tengah.

Erilya lalu menatap kembali lukisan-lukisan yang ada di bagian altar, di sana terdapat lukisan Paus Fransiskus yang telah meninggal selama seminggu sebelumnya. Tentunya siapa yang tidak tahu salah satu pastor yang beberapa bulan lalu datang ke Indonesia saat itu. Ternyata waktu telah cepat berlalu, baru juga kemarin Erilya membaca Paus Fransiskus ketika ditanya ingin naik kendaraan apa, beliau menjawab bahwa kendaraannya disamakan saja seperti kendaraan yang biasa dipakai orang Indonesia. Sekarang beliau sudah tidak ada. Erilya ikut merasa sedih. Dia ikut kehilangan sosok pemuka agama yang baik itu.

Tidak terasa waktu ibadah akan dimulai. Gereja tiba-tiba sudah penuh dengan orang-orang. Bangku yang sebelumnya kosong di samping Erilya pun telah diisi oleh orang-orang yang akan ibadah. Selama beribadah, Erilya diam. Sebelumnya dia mengikuti Velove yang mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Alhasil Erilya juga hanya bisa mengikuti ibadah hari itu, hanya saja Erilya tidak mengatakan apa-apa. Ketika semua orang membaca firman di layar secara bersama-sama Erilya diam. Ketika mereka membuat gerakan untuk berdoa, Erilya juga tidak mengikutinya. Dia hanya diam menatap depan dan mengamati bagaimana orang-orang gereja beribadah.

Erilya tetap mengikuti proses ibadah dengan baik. Ketika orang-orang berdiri, Erilya ikut berdiri, ketika orang-orang duduk Erilya juga ikut duduk, ketika orang-orang saling menengok ke belakang dan memberi salam kepada orang lain juga Erilya ikut tersenyum serta mengangguk.

Ketika sesi doa pada bagian terakhirnya, Velove mencegah Erilya mengikuti mereka. “Jangan ikut yang ini, Er. Duduk aja.” Setelah mengatakannya Velove menumpukan lututnya ke kayu kecil yang diberi bantalan empuk. Tangan saling terkait dan menumpu ke kayu di depan mereka. Velove menunduk dan berdoa dengan khidmat. Setelahnya mereka kembali berdiri untuk membaca firman Tuhan kembali. Setelahnya mereka duduk. Semua orang tiba-tiba serentak saling bergerak mengambil tas dan mencari uang.

Ternyata uang tersebut digunakan sebagai persembahan kepada gereja. Beberapa kotak tempat persembahan itu diputar secara urut. Erilya yang tidak memahami hanya bisa menyalurkan kotak itu.

“Elo nggak usah ngasih nggak apa-apa.” Velove membisikkan penjelasan kepada Erilya. Erilya hanya mengangguk. Begitu selesai, ibadah gereja itu akhirnya selesai. “Gimana rasanya ke gereja buat pertama kali?” tanya Velove. Dia tentu kepo juga dengan pengalaman pertama sahabatnya itu. Apalagi selama ini sahabatnya menganut agama yang berbeda dengannya.

“Menyenangkan. Rasanya tenang sih di dalam.”

“Emmm. Kita makan yuk. Gue laper.” Velove langsung mengalihkan topik karena perutnya benar-benar lapar.

“Ayok. Gue masih bisa solat nggak ya?” Pertanyaan Erilya sejenak membuat Velove terkejut tapi dia maklum karena Erilya sedang mencari apa yang ingin dicarinya.

Mereka lalu mencari tempat makan yang terdapat musola. Erilya lalu menitip pesanannya kepada Velove dan pergi untuk solat. Sebelum antrian itu selesai, Erilya sudah kembali. Ya, dia hanya solat saja tanpa berdoa. Entahlah dia tidak ingin berdoa karena sama saja hasil akhirnya.

“Lo kenapa tiba-tiba mau ke gereja?” tanya Velove yang sebenarnya dari sejak perempuan itu bertanya sudah menyimpan kekepoannya. “Lo nyari apa? Nyari Tuhan?”

“Hemm … nggak tahu gue lagi males aja sama agama gue.” Erilya menumpu kedua tangannya untuk menyangka dagunya. Wajahnya terlihat tidak baik-baik saja. Dia masih membayangkan keadaan orang-orang beribadah di gereja tadi.

Sebelumnya dia merasa jantungnya tertekan dan susah untuk bernapas. Setres membuat organnya juga ikutan tertekan. Tapi tadi ketika berada di gereja, jantung Erilya terasa baik-baik saja dan terasa lega. Udara, suasana, dan bagaimana khidmatnya orang-orang di gereja membawa aura positif bagi dirinya.

“Lo kalau pusing nyari kerja dan mau ke gereja buat nyari itu ya sama aja, Er. Lo lihat gue, gue juga masih nganggur kan.” Velove berkata dengan tepat. Erilya memang sedang marah kepada Tuhannya karena memberikan takdir yang buruk untuknya, maka dari itu dia ke gereja untuk mencari Tuhan yang baik.

“Iya sih.” Erilya menjawab dengan lemah. Sebenarnya mereka juga sama saja, sama-sama sedang bingung dengan hidup mereka.

“Lo lihat gue, Er. Bukan berarti karena lo ga mendapatkan apa yang lo inginkan, lo nggak mempercayai Tuhan lo.” Velove memberikan nasihat yang tepat menyambar ulu hatinya. “Tuhan itu punya takdirnya sendiri untuk kita. Pasti nanti bakalan ketemu kok.” Velove berusaha menyemangati Erilya di akhir kalimatnya sekaligus untuk dirinya juga.

“Kalau pindah ke agama lo prosesnya juga panjang nggak sih? Nggak langsung dibaptis gitu juga?”

“Iya. Perlu waktu lama. Setahunan kalik ya. Susah kalau mau pindah ke Katolik, prosesnya panjang. Lo mau pindah emangnya?”

“Enggak tahu.” Erilya menjawab dengan lugas. Dia jujur saja kalau memang perasaannya tidak menentu. Dia masih menyayangi agama yang sudah dianutnya sejak dulu tapi dia juga ingin menjadi biarawati karena tidak perlu mempermasalahkan duniawi. “Kalau baru masuk ke agama lo gitu bisa jadi biarawati nggak?”

“Nggak tahu sih ya gue. Lo mau jadi biarawati?” tanya Velove dengan pandangan yang penuh pertanyaan. Makin lama bergaul dengan Erilya membuatnya semakin melongo. Lama tidak bertemu tapi perempuan di depannya semakin tidak terkendali. Pertama mengajaknya ke gereja, kedua bertanya tentang masalah pembaptisan, ketiga mengatakan ingin menjadi biarawati. Semakin lama bisa-bisa temannya itu semakin mencoba berbagai macam hal untuk memperbaiki pikirannya. Masalahnya yang dipertaruhkan adalah agma yang dianutnya dari dulu.

“Iya. Gue tertarik jadi biarawati atau kalau enggak ya jadi bhikuni. Dua itu kan nggak perlu mikirin dunia ini. Jadi fokus ke ibadah aja.” Erilya memakan chicken katsunya yang sudah lama dia anggurkan. Sementara Velove sudah selesai memisahkan daging dengan tulang di piringnya. Matanya menatap Erilya dengan speechless. Dia kehilangan kata-kata untuk menjawab Erilya.

“Hemm iya sih. Nanti gue kalau nggak mau nikah juga mau jadi biarawati aja.” Velove menanggapi dengan perasaan yang sama. Dia juga lelah dengan dunia ini. Dia paham dengan perasaan yang Erilya rasakan. Entah yang salah dunia ini atau emang pejabat mereka saja yang gagal untuk mengayomi warga negaranya.

“Seriusan lo? Bukannya lo juga punya pacar?” tanya Erilya yang tiba-tiba bersemangat untuk membicarakan masalah manusia modern ini.

“Punya sih punya. Tapi lo tahu sendiri kan mereka sengeselin apa jadi cowok. Kalau ribet yaudah sekalian aja.”

Erilya manggut-manggut mendengarkannya. Dia memahami bahwa Velove memang memiliki banyak cerita dengan laki-laki yang pernah dekat dengannya. Ya setidaknya hidup Velove penuh dengan perasaan masa-masa remaja. Tidak seperti Erilya yang bahkan sudah fokus dengan pendidikan juga belum tentu mendapatkan kesempatan di dunia kerja. Dia seperti tidak memiliki hidup dan tidak memiliki cinta. Sungguh menyedihkan. Perpaduan sempurna untuk masuk dalam kategori bukan manusia.

“Kerjaan lo gimana? Masih betah jadi guru les? Gue pengen mundur aja, Ve. Gue tertekan jadi guru les. Bukan karena muridnya tapi karena emang ini bukan passion gue. Jadi setiap ngelesi gue harus nyusun niat dari bangun sampai pertemuan nanti. Capek banget rasanya.”

“Hah. Gue juga udah setres mikirin hidup gue ini. Kalau bukan karena duit juga gue males banget ngelesin gini. Gue mau mundur aja. Ada anak yang nggak niat belajar, jadi bikin mood gue jelek buat ketemu murid lainnya. Wali murid gue juga kadang rada-rada. Gue pusing mikirnya, belum lagi dipotong buat setoran ke pemilik bimber. Dahlah makin gaenak.”

“Udah mah gaji nggak seberapa, masih harus mikirin lainnya. Gini banget sih hidup kita, Ve?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Manusia Air Mata
973      595     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
May I be Happy?
469      307     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Penerang Dalam Duka
604      400     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
In Her Place
810      548     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Unexpectedly Survived
104      93     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
ALUSI
9579      2283     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
Solita Residen
1457      806     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1930      1173     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
HABLUR
665      344     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Pasal 17: Tentang Kita
122      44     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....