“Bagaimana keadaanmu ketika semua tidak berjalan seperti yang kamu inginkan?”
***
Erilya kembali terdiam di tempat kotak kubusnya. Sementara dia menatap layar laptopnya yang hanya memperlihatkan desktop dengan wallpaper donghua pertama yang menarik hatinya. Erilya hanya mengamatinya sampai lupa bahwa dia sudah melakukan kegiatan sia-sia itu selama tiga puluh menit hari ini.
Tubuh Erilya berangsur-angsur ke bawah. Lagi-lagi dia hanya melakukan hal sia-sia selama ini. Dia sudah tidak memiliki semangat untuk menghadapi dunia. Rasa-rasanya dia sudah tidak peduli jika dunia tiba-tiba hilang atau tergulung begitu saja. Yang dia inginkan hanya ingin segera mengakhiri dunia ini.
“Er!” Mamanya membuka pintu kamar. Keadaan gelap seperti biasa, sementara anaknya hanya terduduk di depan laptop dengan wajah yang tidak bertenaga. Wanita itu lalu menghidupkan lampu yang berada di sebelah pintu. Wajah tanpa semangat itu langsung terlihat dengan jelas. Mamanya terlihat miris dengan keadaan anaknya. “Kamu sudah berhari-hari nggak keluar kamar. Baru juga kemarin keluar sekarang nggak kelihatan lagi. Kamu mau kayak gini sampai kapan?”
“Nggak tahu, Ma.” Erilya menjawab sekenanya. Dia menatap mamanya sekilas tapi pandangannya berubah tanpa arah fokus.
“Kamu kemarin habis ke mana?” tanya mama dengan pandangan menyelidik.
“Main seperti biasa.” Erilya berkata dengan tenang. Matanya masih menatap kosong ke depan.
“Beneran kamu nggak ngapa-ngapain kemarin?” Erilya membenci insting mamanya yang terkadang terlalu peka itu. Mamanya memang menakutkan. Pasti perasaan wanita itu tidak baik-baik saja sehingga menanyakan hal tersebut. Bagaimana jika Erilya jujur kalau kemarin dia ke gereja, apakah mamanya akan terkena serangan jantung?
“Iya. Main aja.”
“Oh okedeh. Kayaknya Bu Ratna salah ngenalin orang. Dia kemarin katanya lihat kamu ke gereja. Kamu jangan aneh-aneh loh ya, Er. Mama nggak suka kamu aneh-aneh.” Mama lalu menutup pintunya dan pergi begitu saja. Tapi sejenak kemudian mama membuka pintu kembali. “Kamu kalau ada masalah bilang aja sama mama.” Dia kembali prihatin melihat tatapan anaknya yang terlihat tidak ada tanda-tanda kehidupan itu.
Erilya lalu memutar kursi belajarnya kembali menatap layar laptopnya. Dalam otaknya dia ingin membanting semua barang agar puas untuk bersedih. Dulu waktu kecil mungkin dia memang suka melakukan itu tapi semakin dewasa Erilya semakin tidak ingin mengeluarkan banyak tenaga. Dia mungkin salah satu bagian dari orang-orang dewasa yang kalau marah lebih memilih untuk diam. Diam dengan pikiran sendiri sudah cukup melelahkan.
Erilya menatap dirinya di cermin. Dia melihat rambutnya yang acak-acakan, berjerawat, kulit kusam, dan mata berkantung panda. Sekarang cermin itu memperlihatkan wajahnya dengan jelas karena lampu kamar yang telah dihidupkan oleh mamanya tadi.
Dia rasa memang dirinya tidak memiliki kehidupan yang bagus. Dia sebenarnya lelah berpikiran seperti itu. Hanya saja dia sudah benar-benar patah semangat. Erilya lalu mengirim pesan kepada pemilik bimbel untuk keluar. Dia juga mengatakan kepada Velove pilihannya. Perempuan itu harusnya merasa ragu melakukannya tapi tidak sama sekali. Tidak ada keraguan melepaskan salah satu pekerjaan utama yang dijalaninya selama menganggur. Kali ini dia ingin menikmati kehidupan penganggurannya dengan tenang.
***
Pertemuan kali itu dengan teman-temannya terasa berbeda. Dia menatap Velove yang masih menyibukkan dirinya sementara Xiandra terlihat tidak senang di situasi sekarang. Entah apa yang membuat Xiandra tidak nyaman bersama yang lainnya.
“Ini si Keira nggak datang apa?” tanya Xiandra yang tidak tenang di tempat duduknya.
“Nggak bisa kalik, Shi. Lagian dia juga udah masuk trimester kedua. Udah lumayan berat pasti ke mana-mana.” Jawaban Erilya hanya dibalas dengan tatapan Xiandra.
“Ahh udah deh kita putus hubungan aja.” Xiandra mengatakannya dengan tiba-tiba. Dia berdiri dari duduknya dan menatap Velove dan Erilya secara bergantian.
Kedua perempuan yang ada di tempat itu terkejut mendengar ucapan Xiandra. Setahu mereka tidak ada masalah di antara mereka bertiga. Erilya lalu bangkit berdiri dan mencegah Xiandra. “Lo kenapa tiba-tiba?” Xiandra melepas tangan Erilya dengan kasar.
Benar tebakan Erilya, perempuan itu sepertinya memiliki masalah dengannya. Erilya bahkan sudah lama tidak pernah bertemu dengan Xiandra sejak kejadian itu. Jadi harusnya tidak ada masalah yang timbul di antara mereka berdua atau jangan-jangan kejadian itu yang membuat Xiandra membencinya?
“Lo nggak bisa jelasin dulu masalah lo?” Velove ikut terpancing dengan amarah Xiandra.
“Ini temen lo udah bikin gue keluar dari agensi. Itu satu-satunya pendapatan gue kemarin. Sekarang gue nggak tahu harus ngapain.” Xiandra menunjuk Erilya dengan marah.
Erilya mengerutkan keningnya. Seingatnya dia tidak melakukan apa pun yang merugikan Xiandra saat itu. Lalu kenapa Xiandra tidak memarahinya sejak kemarin-kemarin, kenapa baru sekarang perempuan itu mengatakan kepadanya?
“Gue nggak ngelakuin apa-apa.”
“Lo bilang kalau gue butuh waktu sendiri. Di dunia streamer nggak bisa kayak gitu, Er. Kalau gue nggak siaran, mereka bisa kabur gitu aja. Lo udah bikin gue nggak dapet job dari agensi karena omongan lo itu. Gue juga kehilangan fans gue. Sekarang gue kayak gimana? Gue tiga hari nunggu mereka menghubungi gue tapi nggak ada. Kenapa lo nggak bilang kalau gue harus ngehubungin mereka? Mereka jadinya nggak mau ngehubungin gue lagi kan. Gue katanya baperan makanya gue di-cut. Itu semua gara-gara lo.” Xiandra menatap marah dan menunjuk-nunjuk Erilya dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Xiandra tiba-tiba menjadi villain dalam pikirannya.
“Gue cuma bantuin lo. Harusnya lo sendiri juga yang ngehubungin mereka. Bukan gue.”
“Kalau lo nggak bilang kayak gitu ke mereka, mereka akan tetap memohon gue buat stay. Bukannya malah putus kontrak dengan gue. Lo emang cuma mikirin diri lo sendiri ya, Er.”
“Mikirin diri gue sendiri gimana?” Seingatnya Erilya sudah berusaha sebaik mungkin untuk membuat semua teman-temannya senang. Dia bahkan terkadang memastikan agar bisa kumpul dengan teman-temannya meskipun harus mengorbankan jadwalnya.
“Lo sering banget ngilang. Ketika kita bahas perasaan masing-masing di grup, lo nggak pernah muncul. Lo terlalu sibuk sama hidup lo sendiri sampai nggak mikirin kita. Bahkan lo nggak sadar kan kalau kita bikin grup baru tanpa lo?” Xiandra menarik bibirnya ke atas. Dia menatap Erilya dengan rendah. Dia puas ketika melihat Erilya kebingungan sendiri.
“K-kok kayak gitu?” tanya Erilya tidak percaya. Dia menelan salivanya dengan susah payah, tidak ingin percaya dengan ucapan Xiandra.
“Inih kalau lo nggak percaya.” Xiandra memperlihatkan salah satu grup chat yang asing bagi dirinya. Ada foto mereka bertiga sedang jalan-jalan tanpa Erilya. Erilya mundur satu langkah karena terkejut. Pesan di roomchat itu juga lebih banyak daripada grup mereka yang hari ini hanya ada tiga buble chat.
Velove mengambil ponsel itu agar Erilya tidak melihatnya lagi. Tapi percuma karena Erilya sudah kecewa dengan apa yang mereka bertiga lakukan. Erilya lalu tertawa dengan keras sampai membuat beberapa orang di kafe itu menatapnya.
“Oh jadi gitu.” Erilya mendongak ke atas untuk menghentikan air matanya yang jatuh ke bawah. Dia lalu menatap kedua orang di depannya. Dia sangat kecewa.
“Er, gue bisa jelasin.” Velove berusaha menengahi. Dia tidak ingin keadaan Erilya semakin memburuk. Terakhir ketika berada di gereja, Velove tahu sahabatnya itu sedang berada di ujung tanduk. Fakta yang Xiandra berikan ini bisa membuat Erilya memilih jalan yang salah.
“Jelasin? Bulshit, kata-kata kalau orang bersalah pasti kayak gitu.” Erilya menghapus air matanya dengan kedua tangan. “Yaudahlah ya. Terima kasih pernah menjadi sahabat.” Erilya menekankan kata terakhirnya dan menarik tasnya untuk pergi.
Erilya berpapasan dengan Keira yang baru kesusahan berjalan. Tapi Erilya menendangnya begitu saja. Keira terjatuh dengan keras dan membuat orang-orang di sana berubah fokus ke Keira. Tetapi berbeda dengan Erilya yang tetap memilih melangkah pergi. Dia tidak ingin berlama-lama melihat orang-orang yang paling dia benci hari ini.
Erilya berhenti di samping jembatan. Sebenarnya sudah ada larangan untuk tidak berhenti di jalur lalu lintas orang. Akan tetapi, Erilya tidak peduli. Dia melepas helmnya begitu saja. Dia berjalan ke tengah dan melepas sepatunya di sepanjang jalan.
Ponselnya bergetar berkali-kali. Ada telepon dari Xiandra. Dia mengangkatnya hanya ingin mendengar kalimat terakhir yang diucapkan sahabatnya.
“BALIK NGGAK LO. KEIRA KEGUGURAN GARA-GARA LO!!!”
Tangan Erilya bergetar mendengar kalimat itu. Ponselnya terlepas begitu saja di dalam genggamannya. Dia meruntuki dirinya sendiri yang melakukan kesalahan fatal kepada orang yang tidak bersalah. Erilya terduduk di atas aspal yang panas dengan tangisan yang menyayat hati. Beberapa orang yang lewat mulai berhenti dan mereka mengadukan kepada petugas damkar. Takut-takut kalau perempuan di samping jembatan itu memilih loncat dari jembatan karena terlihat frustasi.
“AAAAAA HUHUHU.” Erilya berteriak dengan kencang sambil memegang dadanya yang terasa nyeri.
Hari ini begitu menyakitkan untuknya. Bebannya yang kemarin saja belum selesai sekarang ditambah lagi dengan hal-hal menyakitkan seperti sekarang. Pekerjaan yang tidak ada hilalnya, Geo yang berfoto dengan perempuan lain, konflik dengan sahabatnya, dan sekarang karena keegoisannya Keira kehilangan anaknya. Erilya merasa menjadi manusia yang salah. Dia salah karena telah terlahir ke dunia ini.
Erilya bangkit dari duduknya dan membulatkan tekadnya untuk mengakhiri hidupnya hari ini. Erilya lalu berdiri di ujung pembatas jembatan dan bersiap untuk terjun ke bawah. Dia meloncat dengan kaki bergetar. Arus di bawah jembatan cukup kuat sehingga damkar yang baru datang langsung berlari ke bawah sungai agar bisa menyelamatkan wanita itu.
Mungkin ini memanglah akhir dari semua kehidupan. Jika tidak bisa menunggu dengan sabar semua takdir yang terjadi dalam hidup ini, satu-satunya cara adalah mengakhirinya sendiri.