“Ternyata ada orang yang memang ditakdirkan untuk hidup bahagia, sengsara, menyedihkan, membahagiakan, menyenangkan, penuh perjuangan, penuh tawa, komedi, dan lainnya. Bagaimana dengan genre hidupmu?”
***
Tingkat sedih orang-orang berbeda, ada yang sedih tapi ditutup cerita biasanya masih memiliki semangat hidup. Ada yang benar-benar sedih sampai tidak ingin melakukan apa pun selain tidur. Ada juga yang sedih tapi lebih memilih untuk jalan-jalan. Ada banyak cara orang untuk mengeskpresikan rasa sedihnya. Bohong jika orang-orang selalu baik-baik saja. Hati manusia itu memang dibuat untuk mudah terbolak-balik agar bisa merasakan berbagai macam perasaan dalam hidup ini.
Hanya saja terkadang porsi sedih dan senangnya berbeda. Ada yang banyak sedihnya dan sedikit bahagianya. Ada yang banyak senangnya dan sedihnya yang sedikit. Ada juga yang sama-sama imbang porsinya. Ada juga yang flat hidupnya. Semua orang memiliki porsinya sendiri. Mereka hidup di lingkungan yang berbeda dengan kehidupan yang berbeda juga. Kehidupan sosial juga memengaruhi genre hidup kita.
Saat ini Erilya menyadari bahwa genre hidupnya memang mengenaskan. Banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dia juga banyak menemukan kesedihan. Entah apa yang harus dia lakukan agar bisa memenuhi semua ekspektasinya. Dia sekarang bingung harus melakukan apalagi. Dia rasa semuanya telah dia coba.
Erilya sudah mencoba mendaftar sebagai seorang editor. Pengalaman maganya tetap tidak berguna dan dianggap bukanlah sebuah pengalaman. Tulisan-tulisannya tidak menarik di mata editor. Dia rasa dia telah salah langkah mengambil jurusan sastra. Padahal dia memang memiliki mimpi itu. Sekarang dia benar-benar telah kehilangan semua mimpinya.
Erilya kemudian teringat bagaimana lancar dan mulusnya karir teman-temannya. Ada temannya yang berhasil menjadi penulis web dan aplikasi sehingga sudah memiliki penghasilan. Ada yang sekali daftar langsung lolos bekerja di perusahaan swasta, ada yang menjadi pegawai negeri, ada yang menjadi penulis naskah dan penulis buku. Sedangkan dirinya masih mencari apa sebenarnya yang menjadi takdirnya. Apa sebenarnya yang cocok untuk dirinya. Erilya tidak tahu apalagi yang harus dia coba.
Apalagi yang harus Erilya coba agar bisa mendapatkan semangat untuk hidupnya. Dia sudah sangat lelah mencoba ini dan itu tapi tidak ada yang berhasil. Mungkin memang dia tidak ditakdirkan untuk mewujudkan keinginannya menjadi wanita karir. Padahal Erilya ini memiliki potensi yang bagus untuk bekerja di sektor formal. Harusnya memang dia memiliki orang dalam agar tidak pusing memikirkan pekerjaan.
Erilya menutup mata dengan lengannya. Air matanya menetes deras. Hidupnya terasa rumit. Padahal sebelum-sebelumnya juga biasa-biasa saja. Sekarang dia diberi kehidupan yang menyedihkan. Tidak ada yang berjalan baik untuk hidupnya. Karir dan percintaan sama-sama tidak sejalan. Jika bisa memilih dia ingin mengakhiri ini semua tapi sayangnya dia masih diberi nyawa. Erilya hanya bisa menunggu. Tapi sampai kapan dia harus menunggu? Dia mulai meragukan agama yang dianutnya ini. Dia mulai membenci takdir-takdir Tuhannya.
Erilya merasa malas untuk melakukan ibadah. Dia tidak ingin bangkit dari tempat tidurnya untuk solat zuhur. Dia justru memilih kembali tidur. Memiliki perasaan sedih berhasil membuatnya ingin tidur-tiduran saja. Dia ingin marah kepada Tuhan dan inilah caranya untuk marah. Jika sebelumnya dia rajin solat tepat waktu, sekarang dia sengaja untuk mengundurkannya mendekati waktu asar. Bahkan Erilya sengaja mendobel solatnya di jam asar. Dia sudah tidak peduli penilaian Tuhan.
Kali ini pun Erilya tidak berdoa setelah solat. Dia hanya menatap dinding di kamarnya dengan kosong. Kamar itu gelap gulita sejak tadi dan Erilya memang sengaja untuk menutupnya dengan gorden hitam agar cahaya tidak masuk. Dia ingin memeluk dirinya sendiri di kegelapan. Dia ingin menghakimi takdir Tuhan di kegelapan. Dia ingin memperlihatkan kepada Tuhan bagaimana sedih dirinya itu. Dia ingin memperlihatkan kepada Tuhan bahwa Tuhan telah membuatnya menderita.
Erilya berpikir, apakah Tuhan yang lain memberikan kehidupan seperti dirinya kepada orang lain juga? Atau hanya dirinya yang merasakan itu? Erilya menjadi ingin tahu, apa ketika tidak hidup sebagai seorang muslim semuanya akan dipermudah?
Erilya mengambil poselnya, dia mengirim pesan kepada Velove. Pesan yang membuat siapa pun akan syok mendengarnya.
Erilya: Lo besok sabtu atau minggu ke gereja nggak?
Velove yang membaca chat itu terkejut dan mengerutkan keningnya. Sahabatnya di sana pasti sedang memiliki cobaan yang berat. Velove mulai membalas dengan hati-hati.
Velove: Nggak tahu sih, kadang sabtu kadang ya minggu. Tergantung orang tua gue
Erilya: Minggu rame banget nggak sih?
Erilya pernah melihat orang-orang yang keluar dari gereja dan jalanan menjadi sangat padat di hari libur itu. Terlihat sangat ramai sehingga pikiran itu terlintas di otaknya.
Velove: Heem rame biasanya. Kenapa nih?
Erilya: Gue mau ikut ke Gereja
Velove yang membaca pesan Erilya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sahabatnya sepertinya memang terlampau setres dengan keadaannya sebagai pengangguran.
Velove: Aneh-aneh aja
Erilya: Gue mau ikut. Tapi bisa nggak lo ibadahnya nggak sama keluarga lo?
Velove: Kenapa? Bisa-bisa aja sih
Erilya: Gue nggak mau dicap aneh. Gaenak juga kalau harus bareng keluarga lo
Velove: Yaudah sama gue aja
Erilya: Mau ke gereja sabtu apa minggu nih jadinya? Saran gue sih bener sabtu aja.
Velove: Heemm yaudah deh. Enakan sabtu juga
Erilya: Oke!
Erilya benar-benar kehilangan kewarasannya kali ini. Dia ingin mencoba mencari Tuhan yang lain yang lebih mementingkan hidupnya. Tuhan sekarang hanya memberikan rasa sakit kepada dirinya.