“Kadang kita perlu banyak melihat dunia dan mendengarkan cerita orang lain untuk memahami bagaimana dunia berjalan.”
***
“Gimana keadaan Kak Xiandra?” Helena muncul dari di belakang Erilya ketika perempuan itu sedang memberi makan ikan di kolam kecil di ruang tengah.
“Baik-baik aja kayaknya. Udah selesai mungkin masalahnya.” Erilya menjawab sekenanya. Dia tidak mengetahui cerita yang lebih lengkap karena memang Xiandra belum mengatakan apa-apa. Dari semua orang yang kenal dengan Xiandra pun yang tahu hanya dirinya. Jadi, dia pun tidak ingin memberitahu yang lainnya.
“Kakak pernah nggak sih nyesel kalau udah kuliah?” tanya Helena. Pertanyaan yang tidak menyangka akan ditanyakan oleh adiknya. Kemungkinan gadis itu juga pusing melihat dunia kerja sekarang.
“Emmm. Kadang sih iya. Banyak orang yang tidak melanjutkan pendidikan tapi memiliki uang yang banyak. Gimana nggak iri?” Erilya tersenyum miris membayangkan apa yang didapat teman-temannya dengan bekerja setelah lulus SMA dan apa yang harus dilalui oleh mereka yang lulus sarjana. Sungguh ketimpangan yang tergambar dengan jelas.
“Tapi mereka kerja kasar, Kak. Kakak nggak tahu mereka juga iri sama kakak?”
Erilya menoleh kepada adiknya. Dia memukul dengan pelan kepala gadis itu. “Kakak kira kamu ini lagi demotivasi, tapi malah ngasih nasihat.”
Helena memegang tengkuknya. Dia juga bingung dengan apa yang sebenarnya ingin dia katakan tapi yang jelas pikirannya saling bercampur menjadi satu. Tidak tahu harus memilih kalimat apalagi kepada kakaknya itu. Dia juga takut melihat masa depan yang tidak menentu. Tidak ada kepastian untuk mereka yang tinggal di negara bobrok ini.
“Kakak lanjut aja ke luar negeri,” ucapan tiba-tiba itu membuat Erilya semakin bergedik ngeri mendengarnya. Dia tidak tahu otak adiknya sekarang diisi oleh apa. Semakin lama ucapannya semakin aneh-aneh.
“Kamu sebenarnya mau ngomongin apa sih?”
Helena duduk di samping kakaknya. Dia memanyunkan bibirnya. “Aku cuma kasihan lihat kakak kayak gini di rumah. Lihat, main sama ikan, tidur, nonton, makan, ngapain lagi ya. Kayak orang yang kehilangan arah.”
“Kamu nggak usah khawatir sama kakak. Kamu belajar gih yang rajin. Tingkatin skill, banyak belajar bahasa. Nanti lulus pasti nggak kayak kakak.”
“Masalahnya kakak itu lebih pintar dari aku, tapi lihat, kakak aja nggak tahu mau ngapain. Aku gimana coba?”
“Pintar nggak pintar itu bukan yang menentukan kita bisa kerja atau enggak. Buktinya orang yang nggak lebih pintar dari kakak sudah dapat kerjaan semua. Jadi, yang jelas takdir nggak ada yang tahu.” Erilya berusaha memberikan jawaban yang baik untuk adiknya meskipun dalam dirinya pun dia terkadang menanyakan hal yang sama. Dia lelah dengan dunia ini, dia capek menghadapinya, tapi dia tidak ingin memperlihatkan kejamnya dunia itu untuk adiknya.
“Bener sih.” Helena memainkan eceng gondok yang ada di dalam kolam. Otaknya sudah lelah untuk mencari topik. “Oh ya, Kak. Kakak kan nggak pernah keluar nih. Mau pergi nggak? Ke mall, atau pasar malam, atau ke toko apa gitu kita nyari baju kek, atau nyari buah kek. Yuk. Mumpung aku juga lagi liburan di rumah.”
Erilya lalu mengiyakan ajakan adiknya. Hitung-hitung dia memberikan liburan yang baik untuk adiknya. Jarang mereka bisa bertemu. Nanti setelah liburan selesai juga adiknya akan kembali ke perantauan untuk kuliah.
Mereka pergi dengan menggunakan motor matic kesayangan Erilya. Motor itu telah menemaninya berjalan-jalan jauh dari ujung timur ke ujung barat. Kesayangan yang selalu siap sedia menemani dirinya menerobos cerita-cerita kehidupan.
“Kamu gimana kuliahnya? Lancar nggak?” tanya Erilya. Perempuan itu lalu memutuskan untuk berhenti di toko baju. Dia ingin membelikan baju untuk adiknya. Ulang tahun perempuan itu masih satu bulan lagi tapi pasti Helena akan kembali terlebih dahulu sebelum hari ulang tahunnya. Untuk itu Erilya ingin memberikan kado saat ini juga.
Erilya mengambil baju dan menempelkannya kepada tubuh adiknya. Baju itu terlihat cantik dan cocok hanya saja bahannya tidak sesuai dengan selera Erilya. Baju itu dikembalikan. Erilya lalu mengambil gaun pendek dengan motif bunga-bunga berwarna biru. Cocok untuk kulit adiknya yang putih. Erilya lalu memberikannya kepada Helena.
“Kak aku nggak suka ini.” Erilya lalu menoleh kepada adiknya ketika perempuan itu protes.
“Kenapa? Cantik kok. Mending ini aja. Hehe.” Helena mengambil blouse berbahan dasar kain katun. Cukup cantik, Erilya lalu menyetujuinya.
Keduanya lalu membayar ke kasir. Erilya mengeluarkan kartunya. “Pakai kartu bisa, Kak?” tanya Erilya pada kasir.
“Bisa, Kak. Sebentar ya.”
Helena mengerutkan keningnya dia baru mengingat sesuatu. “Kak, ini baju semuanya buat aku nggak sih?” tanya Helena dengan bingung.
“Iya. Emang siapa lagi,” kata Erilya dengan cuek. Dia sedang menghitung pengeluarannya hari ini. Masih cukup masuk akal.
“Kakak gimana? Nggak beli?” Helena memutar-mutar tubuh Erilya. Dia tidak melihat barang sedikitpun yang dibawa oleh Erilya. Benar-benar kakaknya itu sungguh ajaib. Padahal kakaknya lagi kesusahan tapi lebih memilih untuk menyenangkan adiknya.
“Bisa masukin sandinya dua kali ya kak.” Kasir itu memberikan instruksi kepada Erilya dan dengan santainya dia memasukkan sandinya seolah tanpa beban.
Sementara Helena di sampingnya hanya bisa melongo. Dia merasa tidak layak untuk menghabiskan uang kakaknya yang bahkan Helena tahu penghasilannya tidak sebanyak UMR kotanya.
“Kak, nggak perlu kalik ngabisin uang buat aku.” Helena merasa sedih ketika menerima paperbag yang diberikan kakaknya. Hatinya teramat berat menerima.
“Nggak kok. Bulan depan kan kamu ulang tahun. Kakak juga udah sering dapat kado dari kamu. Jadi yaudah yaa. Kita impas. Haha.” Erilya tertawa renyah sambil mengusap rambut adiknya.
“Biar aku yang nyetir hari ini. Aku mau nunjukin pemandangan yang bagus.”
Helena mengambil arah yang cukup jauh untuk membawa Erilya melewati jalanan yang tinggi. Dia ingin memperlihatkan betapa cantiknya citylight di kotanya.
“Kak lihat itu, bagus nggak lampu-lampunya?” Helena mengatakannya sambil menunjuk dengan tangan kirinya. Dia sangat suka melewati jalan itu setelah pulang bermain di tempat teman-temannya.
“Bagusss. Wahh, kamu kok bisa tahu tempat seperti ini?” tanya Erilya dengan tangannya yang siap mengabadikannya dengan ponsel. Sayangnya lampu-lampu kecil itu tidak bisa ditangkap dengan baik oleh kamera. “Yah, nggak bisa difoto.”
“Pada kenyataannya hal indah di dunia ini memang tidak semuanya bisa diabadikan melalui teknologi. Banyak hal indah yang hanya bisa dilihat oleh mata secara langsung. Kalau dipaksa diabadikan pun tidak akan mendapatkan apa-apa. Paling juga hitam aja fotonya nanti.”
“Hemm bener sih.”
“Kita berhenti di sini dulu deh.” Helena menghentikan motornya di pinggir jalan. Mereka mengamati sebentar langit-langit malam di jalanan sepi pinggir hutan. Tempat ini mendekati perbukitan di kota mereka. Untuk sampai di tempat itu aksesnya mudah hanya saja karena Erilya dan Helena tidak terbiasa mereka juga memiliki ketakutan akan bertemunya sekelompok orang yang jahat.
“Kayaknya udah cukup deh. Kita lanjut aja. Takutnya makin malam, makin ngeri yang lewat.” Erilya lalu mengambil alih motor dan mengemudikannya. Dia merasa cukup senang menghabiskan waktu dengan adiknya.
Dulu mungkin Erilya merasa iri dengan adiknya tapi lama kelamaan dia memahami bahwa adiknya pun memiliki perasaan iri yang sama dengan dirinya. Pada kenyataanya apa yang selalu kita lihat tidak selamanya indah. Pada kenyataannya apa yang Erilya anggap bagus juga tidak sebagus itu. Banyak orang memang hanya bisa menganggap keindahan melalui apa yang diperlihatkan orang lain, padahal semuanya sama-sama memiliki rasa iri kepada orang lain.
Rumput tetangga memang lebih bagus bukan?