“Terkadang bencana itu datang di saat kita sedang baik-baik saja.”
***
“Kak!” Helena masuk ke kamar Erilya dan duduk di atas kasurnya. Sementara Erilya hanya menjawab ala kadarnya. Perempuan itu masih terfokus pada novel bacaannya. “Kakak nggak ketemu temen-temen kakak?”
“Kenapa emangnya?” Erilya menoleh kepada adiknya. Dia memutar kursi belajarnya menatap adik semata wayangnya itu.
“Kemarin malam aku lihat Kak Xiandra lagi live. Terus dia kena harassment gitu sama yang nonton dia. Terus Kak Xiandra marah-marah. Videonya langsung rame banget di grup Facebook.”
“Kok bisa?” Erilya mengerutkan keningnya mendengar penuturan adiknya. Dia lalu mengambil ponsel dan mengeceknya. Tidak ada apa-apa di grupnya. Kemungkinan besar tidak ada yang tahu juga. Erilya lalu menelepon Xiandra. “Kamu punya videonya?” tanya Erilya pada adiknya.
Erilya terlihat khawatir, apalagi teleponnya tidak diangkat Xiandra sama sekali. Helena lalu menyerahkan video yang dia rekam sendiri dengan fitur record di ponselnya. “Kirim ke kakak.”
Erilya menerima video itu dan mengambil kunci motornya. Dia berpesan pada adiknya kalau nanti mama sama papanya pulang dari kantor dan mencarinya, Erilya sedang pergi ke rumah Xiandra.
Erilya sampai di rumah lantai dua yang berada tidak jauh dari jalan raya. Erilya lalu mendorong pagar rumah Xiandra. Ternyata pagar rumah itu tidak dikunci. Erilya lalu memasukkan motornya di bagian garasi rumah. Dia mendorong pintu rumah Xiandra. Tanpa basa-basi, perempuan itu langsung naik ke lantai atas.
Dia menemukan Xiandra yang masih berdiam diri di depan komputernya. Perempuan itu memandang komputer di depannya dengan pandangan kosong. Tubuhnya seperti kaku, tidak bergerak sama sekali. Hanya nafas lembut yang bisa Erilya dengar.
“Shi?” ucap Erilya dengan ragu. Perempuan itu sama sekali tidak mendengarnya. Erilya lalu mendekati Xiandra dan mengecek keadaan perempuan itu. Perempuan itu menatap kosong ke depan. Erilya menyentuh pundak Xiandra dengan lembut. Matanya langsung bergerak dengan pelan. Erilya langsung memeluk Xiandra.
“Er, g—gue … gue ngapain ya?” tanya Xiandra dengan lemah. Perempuan itu langsung memeluk tubuh Erilya dengan kuat. Tangisnya pecah begitu mendapatkan perlukan hangan dari Erilya. Xiandra butuh seseorang untuk menemaninya. “Errr, hiks hikss huhu hikss hikss, Errr. Gi-gini ba-banget hi-hidup gue, Er. Huwaaaa.” Xiandra langsung menangis dengan keras.
Erilya sebisa mungkin menahan bobot tubuhnya agar tidak terjerembab ke depan. Dia menahan agar Erilya bisa meluapkan tangisnya dengan puas. Dia memeluk perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia sedih melihat sahabatnya yang seperti itu.
Lima belas menit berlalu akhirnya Xiandra melepaskan pelukan Erilya. Dia mengusap kaos Erilya yang basah karena air matanya. “Ma-afin gue, Er.” Xiandra menyeka air matanya yang masih turun.
“Ssstttt, nggak usah minta maaf. Bukan salah lo kok. Ini juga di luar tanggung jawab kita.” Erilya menyeka air mata Xiandra yang masih keluar begitu saja. Dia prihatin melihat wajah cantik sahabatnya yang sudah berubah menjadi kusut dengan mata sayu yang dikelilingi kantong mata hitam.
“Gue cuma nggak terima kalau mereka berkata jorok. Masalahnya nggak satu atau dua kali mereka kayak gitu. Tapi terus-terusan. Gue nggak suka banget kerja kayak gini tapi kepaksa karena mau gimana lagi. Sedih banget, Errr. Hiks.” Xiandra menangis kembali. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia malu dengan dirinya sendiri.
Ponsel Xiandra bergetar kembali. Pasti telepon dari manajemennya. Dari semalam dia mendapatkan telepon dari tim agensinya tapi sama sekali tidak dia angkat. Dia bingung dengan keadaan yang baru dirasakannya itu. Dia butuh uang tapi dia juga punya harga diri. Pada akhirnya Xiandra hanya bisa mendiamkan mereka.
“Mau gue angkatin?” tanya Erilya yang langsung dibalas anggukan dari perempuan itu.
Erilya mengambil ponsel Xiandra dan mengakatnya. Dia lalu menjauhkan ponsel itu karena benar saja, isinya sesuai dengan tebakan Erilya. Isinya hanya marah-marah dan sumpah serapah. Erilya lalu mendekatkan kembali ponselnya. Dia keluar kamar agar Xiandra tidak bisa mendengarnya.
“Jadi, gimana? Mas eh bapak mau memutus kontrak?” tanya Erilya pada akhirnya. Dia langsung memotong pembicaraan pria itu karena jujur saja telinga Erilya bisa ikutan gosong mendengarnya. Tidak hanya memarahi Xiandra, bahkan kata-kata kasar juga keluar dari mulut pria itu.
“Kamu mau memutus kontrak?” teriak pria itu. Sepertinya memang tidak bisa diajak kerja sama dengan baik orang di sebrang telepon ini.
“Begini, bapak—“ ucapan Erilya terpotong karena pria di sebrang sana memprotes panggilan yang diberikan Erilya.
“Bapak-bapak, saya masih muda. Panggil ‘kak’” Pria itu menekankan kata ‘kak’ untuk menunjukkan posisinya.
“Oke, Kak. Jadi karena Xiandra masih syok dia butuh waktu untuk berpikir lagi. Saya tidak bisa menjawab apakah dia masih mau melanjutkan kontrak atau tidak. Tunggu dua sampai tiga hari, nanti kita bahas kelanjutannya.” Erilya berkata dengan jujur. Dia tahu posisinya sebagai penengah, bukan sebagai seseorang yang berhak memutuskan nasib sahabatnya. Siapa tahu Xiandra masih ingin lanjut karena memang perempuan itu membutuhkan uang. Jadi, Erilya tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak meskipun dia juga sangat amat kesal dengan pria itu.
“Nggak bisa dong. Terlalu lama. Saya harus tahu sekarang juga dia maunya apa—“
“Ditunggu saja. Titik.” Erilya langsung menutup teleponnya. Dia benar-benar gerah mendengar penuturan pria itu. Pria yang mulutnya benar-benar seperti tukang gosip. Perempuan saja tidak serepot pria itu. Entah dari mana Xiandra menemukan manajemen busuk seperti itu.
“Gimana katanya?” Xiandra sudah beralih ke tempat tidurnya.
“Udah santai aja. Dua atau tiga harian baru hubungi mereka lagi. Kamu istirahat aja dulu. Mau aku beliin makanan?” tanya Erilya sambil menyelimuti Xiandra.
“Enggak usah deh. Aku mau tidur aja.”
“Yaudah kamu tidur aja. Aku pulang dulu.” Erilya menepuk sahabatnya sekilas lalu berdiri. “Oh ya, lain kali jangan lupa kunci pintu, Shi. Takut banget kalau ada maling kan.”
“Heemm.” Xiandra tidak peduli dan langsung memunggungi Erilya. Perempuan itu keluar dari rumah Xiandra dengan perasaan yang sedikit was-was. Tapi apa boleh buat dia juga sudah memberikan nasihat kepada sahabatnya itu.
Erilya menyadari bahwa masa depan dalam hidup ini memang akan selalu menjadi rahasia ilahi. Kemarin dia rasa kehidupannya dan kehidupan teman-temannya baik-baik saja. Tetapi ternyata malam harinya Xiandra mengalami sebuah kejadian traumatis. Begitu sulitnya menebak takdir hidup Tuhan sampai sesuatu hal yang tidak disangka-sangka bisa terjadi dengan orang terdekatnya.
Kenyataannya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu jam nanti, tiga puluh menit nanti, setengah menit nanti, dan satu detik nanti. Bisa jadi saat kita berkedip kita kehilangan suatu momen berharga dalam hidup. Bisa jadi saat kita melirik ke samping, di depan kita ada takdir yang lebih indah. Manusia memang memiliki keterbatasannya sendiri. Untuk itulah kita bisa disebut sebagai ‘manusia’.