“Tidak semua orang berhak untuk mencintai saat ini juga, terkadang mereka hanya menunggu momen yang tepat.”
***
Semua berjalan seperti biasa. Erilya melalui hidupnya seperti biasanya. Percakapan yang terjadi malam itu bersama keluarganya tidak menyurutkan langkahnya. Dia masih mencoba untuk menulis cerita lagi. Kali ini dia ingin mengikuti lomba penulisan yang diadakan oleh salah satu penerbit. Lomba itu ditujukan untuk penulis yang ingin menulis selama tiga puluh hari. Lomba seperti ini memang sudah banyak diadakan, Erilya juga dulu sewaktu masih menjadi mahasiswa sering ikut tapi tidak pernah sampai selesai. Penyakitnya memang selalu seperti itu. Dia bisa bosan dengan ceritanya sendiri. Alasan itu jika didengar orang penulis lain pasti tidak akan masuk akal dan tidak diterima. Mana mungkin seorang penulis bosan dengan tulisannya? Ya padahal bisa saja, Erilya contohnya.
Kondisi Erilya saat ini masih baik-baik saja. Dia juga lumayan berolahraga kali ini. Sesekali dia mengajak adiknya untuk lari pagi. Seperti pagi ini, gadis remaja itu masih bergelung di dalam tidurnya, tetapi Erilya sudah siap dengan setelah olahraganya.
“Bangun wahaiii gadis mudaaa!! Hahaha.” Erilya mengangkat kedua tangannya dan berbicara dengan suara beratnya. Dia sangat suka menjahili adiknya.
“KAKKKK! DIEM PLEASE, MASIH PAGI. NGANTUK!” Helena melemparkan salah satu gulingnya kepada Erilya. Perempuan itu menangkapnya dengan mudah.
“Bangun nggak. Olahraga biar sehat.” Erilya melempar kembali guling itu, kemudian tangannya menarik selimut Helena.
“Arrrghhhh! KAK ERIIIIIIIIIII!!!” Helena terduduk di tempat tidurnya. Dia menatap kakanya itu dengan jengkel. Satu kakinya berusaha menendang perempuan itu tetapi lawannya pintar bekelit. Alhasil Helena hanya bisa menahan kesalnya.
“Bangun ayok. Ntar kakak beliin nasi padang deh di depan kompleks.” Erilya menaik-turunkan alisnya. Dia memberikan tawaran berharga yang tidak mungkin ditolak.
“Cihh, buat apa olahraga kalau makannya naspad?” Gadis remaja itu seolah meludah di udara. “Tapi bagus juga idenya.” Helena bangkit dari tidurnya.
Erilya manggut-manggut sambil bersedekap di dada. Senyumnya tidak pudar selama melihat adiknya sibuk wara-wiri berganti pakaian, menyisir rambut, memakai sunscreen, dan terakhir mencari sepatu olahraganya yang entah sudah dia taruh di mana.
“Lama banget sih.” Erilya cukup bosan menunggu adiknya yang bersiap-siap butuh waktu lama. Erilya sudah menunggu Helena sambil menghaluskan sepuluh kukunya.
“Udah selesai ini.” Helena berdiri di depan kakaknya dengan sikap siap. Setelan kaos olahraga yang melekat di tubuhnya cukup membuat Erilya puas. Itu baru adik semata wayangnya. “Tapi nanti aku boleh pilih menu apa aja loh kak.”
“Iya bawel. Kayak anak bocah aja.”
“Emang. Aku kan imut!” Helena memegang kedua pipinya yang sengaja dia gembungkan. Matanya berkedip-kedip dengan menggoda.
Erilya yang melihatnya malah merasa geli. Dia menjauhkan wajah adiknya itu dengan merinding. “Perasaan kemarin malem pas nyeramahin orang nggak gini bentukannya. Kamu punya pacar ya?”
Erilya menebak dengan telak. Helena berhenti menuruni tangga dan menatap kakaknya dengan pandangan tidak percaya. Tangannya menahan mulutnya yang terbuka lebar. Dia menelan salivanya dengan susah payah.
Erilya bersandar di tembok. Matanya menatap adiknya dengan mata elangnya. “Kan mama sama papa udah bilang jangan pacaran dulu.”
“Kak please, jangan bilang-bilang sama mereka.” Helena memohon sambil memegang tangan Erilya. Erilya terdiam dengan menatap dingin adiknya. Senyum misterius muncul di bibirnya. Helena bergidik ngeri. “Kakkkkk, please. Atau kita nggak usah lari aja?” Helena terlihat frustrasi.
“Yeee, mana boleh. Udah yok lari.” Erilya mengapit leher adiknya dan dengan semangat menuruni tangga. Dia tidak masalah adiknya mau pacaran atau tidak, toh dia juga sudah dewasa. Erilya tidak ada hak juga untuk melarang. Dia tahu Helena pasti bisa menjaga dirinya dengan baik.
“Ish, aku kirain kakak marah. Udah ngeri banget lagi tadi.” Helena berlari di samping kakaknya. Mereka menyusuri jalanan kompleks pagi ini. Terlihat sepi karena orang-orang sudah berangkat bekerja.
“Nggak sih, tadi sengaja aja biar kamu takut. Haha.” Erilya tertawa dengan puas.
“Kalau kakak sendiri gimana? Aku nggak pernah tahu tuh kakak suka sama orang.” Helena menghentikan larinya. Napasnya sudah berada di ujung tanduk. “Jangan lari lagi kak, kita jalan aja. Aku udah capek.” Helena mendudukkan dirinya di tepi jalan aspal.
“Nggak penting sih. Apa yang mau diceritain. Emang nggak ada.” Erilya menjawab dengan santai. Padahal dia memiliki seseorang yang selalu dia kagumi.
“Oh ya? Nggak mungkin kalau nggak ada cowok yang disuka tuh. Kalau sekarang gimana?” tanya Helena dengan berani. Adiknya itu memang selalu ingin mengetahui bagaimana kakaknya hidup, ya meskipun tidak ada yang bisa dicontoh tapi dia tidak mau adiknya mengikuti dirinya. Apalagi sesekali adik ceweknya itu mengatakan ingin seperti dirinya.
“Nggak ada sih.”
“Kak, jujur deh. Aku kepo. Hehe.” Helena memaksa. Meskipun perempuan itu sebenarnya takut tapi kapan lagi dia bisa memaksa kakaknya untuk bercerita. Dia juga ingin tahu kisah cinta kakaknya seperti apa. Apakah lebih menarik atau lebih mengenaskan dari dirinya.
“Ada sih satu orang. Temen aku waktu SMA. Sekarang masih aku suka. Kemarin juga habis ketemu di pernikahan Keira.”
Helena menunggu kakaknya menambahkan cerita kembali tapi tidak ada. Gadis itu kecewa.
“Gue kirain kakak mau jelasin panjang kali lebar kayak aku biasanya yang cerita. Kakak nggak adil banget. Aku kan udah cerita banyak hal, kakak nggak mau cerita sedikit pun gitu?” Helena memanyunkan bibirnya. Ternyata adik kecilnya yang sudah duduk di bangku perkuliahan masih sama lucunya seperti dulu.
“Heh malu sama umur ah. Haha.” Erilya menyeka keringatnya. Dia membuka ponselnya dan memperlihatkan foto Instagram seseorang kepada Helena. “Itu orangnya. Kita udah beda pekerjaan juga. Udah beda provinsi juga. Jadi kalau nggak karena pernikahan Keira kemarin, kakak juga nggak bakalan ketemu dia lagi.”
“Dia suka nggak sama kakak? Lumayan sih orangnya.” Helena mengangguk-angguk setuju. Dia rasa kakaknya tidak mungkin salah memilih laki-laki.
“Nggak tahu. Katanya dia mau nunggu sih kemarin. Tapi apa sih yang bisa dipegang dari omongan lelaki? Besok-besok juga lupa dia kalau udah pernah ngomong kayak gitu.” Erilya mengendikkan bahunya. Dia meremehkan kalimat yang pernah Geo katakan padanya kemarin. Lagipula laki-laki sesukses Geo mana mungkin bisa setia.
“Kenapa harus nunggu? Kenapa nggak sekarang kakak sama dia jadian?”
“Aku nggak mau sih, Hel. Lagipula kamu lihat kakak, kakak masih struggle mencari kerjaan. Sedangkan dia itu udah lebih dari mapan.”
“Ya nggak apa-apa kali kak. Aku juga gitu kok sama pacarku. Dia lebih mapan, orang dia udah kerja.”
“Itu kamu, bukan kakak. Kakak punya prinsip sendiri yang harus dipegang.” Erilya berdiri dan menepuk pantatnya yang terkena debu. “Mau lari lagi nggak?”
Helena lalu bangkit berdiri. “Kalau nungguin prinsip terus kakak nggak nikah-nikah aku gimana?” tanya Helena yang membuat Erilya terkejut. Dia tidak pernah terpikirkan hal itu.
“Ya kamu nikah aja nggak sih? Loncatin kakak.” Erilya menjawab dengan santai. “Eh—heh, kamu itu belajar dulu yang pinter. Udah kuliah mahal-mahal malah mau nikah aja.” Erilya menjewer telinga adiknya.
Helena langsung menarik telinganya dan berlari secepat kilat agar tidak dikejar oleh kakaknya.
“Biarkan sekarang tanpa cinta dulu, Hel. Ini pilihan untuk menekan diri sendiri agar tidak terlena dengan urusan dunia.”