“Terlalu fokus pada diri sendiri sampai tidak tahu bahwa ada banyak orang yang peduli.”
***
Terhitung sudah satu tahun berlalu. Cerita manis, tangis, haru, bahagia, dan cerianya momen kala itu telah berangsur-angsur membawa kepedihan. Tidak hanya Erilya yang merasakan, seluruh keluarganya juga merasa terpukul dengan apa yang terjadi dengan Erilya. Akan tetapi, semua memilih diam dan bersabar. Berbagai permasalahan yang ada mereka simpan secara diam-diam. Bahkan tidak berani untuk mengungkit secara terus-terusan. Mereka menahan untuk tidak menanyakan apa pun kepada Erilya tetapi tetap saja kekhawatiran itu menyelimuti seluruh keluarga.
Melihat anaknya mengurung diri selama enam bulan lebih membuat mereka menyadari betapa tersiksanya anak sulung mereka itu. Adiknya yang baru pulang juga merasa prihatin dengan kakaknya. Papanya juga tidak ingin menambah beban. Mereka bertiga hanya bisa membantu melalui doa dan cukup diam tanpa bertanya.
Setelah enam bulan berlalu ketika Erilya mengatakan ingin menjadi penulis kala itu, akhirnya perempuan itu kembali muncul di depan televisi. Dia menonton drama china kesukaannya seperti biasa. Ketiganya dengan perlahan duduk di sofa samping Erilya. Mereka mengamati Erilya yang tertawa ketika melihat adegan komedi di dalam dramanya. Ketiganya saling sikut untuk memberi kode agar mau bertanya kepada Erilya. Pada akhirnya Helena yang dilempar oleh kedua orang tuanya. Helena menatap kedua orang tuanya dengan tajam. Masa liburannya harus dipakai untuk memancing keributan.
“Kak, habis ini mau ngapain?” tanya gadis itu dengan lirih. Pelan-pelan dia duduk di samping kakaknya.
“Ngapain apanya? Ya tidurlah habis nonton.” Erilya menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Dia tidak rela jika harus kehilangan satu dialog pun ketika menonton drama.
“Emm … kakak sekarang ngapain kesibukannya?” Erilya melirik adiknya melalui ekor matanya, dia dapat melihat tubuh tegang adiknya. Erilya tersenyum tipis, dia sedikit tertawa melihat ekspresi itu. Erilya juga melirik kea rah orang tuanya. Kedua orang itu juga duduk dengan tubuh tegang.
Erilya menahan tawanya. Dia tahu pembahasan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Hanya saja Erilya merasa ketiganya sedang beradegan dengan lucu.
“Ini nonton.” Erilya menghentikan dramanya. Dia menoleh ke arah adiknya. Kedua matanya juga melirik kedua orang tuanya yang tiba-tiba menatap kea rah sekitar.
“I-itu kak.” Helena berkata dengan tertekan. Demi apa pun dia tidak mau berada di posisi seperti ini. Rasanya dia ingin menangis menghadapi wibawa kakaknya yang bukan tandingannya itu. “MAMA! NGGAK MAU!” Helena langsung menoleh ke arah mamanya dengan berteriak. Raut wajahnya ingin menangis seketika.
“BWAHAHAA.” Erilya tertawa dengan keras melihat betapa tersiksanya keluarganya melihat dirinya. Masalahnya mereka benar-benar berusaha untuk menjaga perasaannya sampai takut melukai dirinya. Bahkan untuk bertanya saja mereka teramat ragu.
Kali ini memang suasana hatinya cukup bagus karena novelnya telah selesai, sudah dia kirimkan, ya meskipun dia tidak tahu harus melakukan apa pun lagi tapi dia sedikit lega. Mood-nya cukup baik hari ini. Jika tidak baik mungkin Erilya tidak akan duduk di ruang tamu.
“Loh, kamu yang mau ngomong sama kakak kok.” Mama melempar tanggung jawab itu kepada anak bungsunya.
“Papa sih nggak ikut-ikutan ya.” Papa mengambil majalah dari bawah kolong meja dan membacanya. Pria itu seolah menyibukkan dirinya sendiri dengan informasi di sana.
“Mama juga loh. Mau nyoba nonton drama kesukaan kakak kamu itu.” Mama menimpali lagi sambil melengos dan menatap televisi. “Puter lagi dong, Er. Lagi seru-serunya tadi.”
“Ish. Kok aku yang dimakanin ke kakak.” Helena kesal dan mengambil bantal sofa. Dia memeluknya dengan kuat.
“Udah-udah. Aku tahu kalian ini lagi mau ngobrol tentang masa depanku kan?” tanya Erilya dengan sopan. Dia terbiasa memakai bahasa formal untuk keluarganya. Untuk selain keluarganya tentu dia akan memakai bahasa nonformal. Sebagai anak sastra yang diajarkan menggunakan bahasa sesuai tempatnya, Erilya paham penggunaan bahasa dengan baik.
“Nah itu kak. Itu mereka berdua itu loh mau nanya atau mau ngasih info tapi takut banget sama kakak. Kakak itu emang paling berkuasa di rumah ini.” Helena menjelaskan posisi Erilya yang menempati tahta tertinggi di keluarga mereka.
“Haha.” Erilya tertawa mendengar penuturan adiknya. “Aku lagi nunggu hasil ngirim cerita. Biasanya disuruh nunggu tiga bulan. Selain nunggu tentu aku bakalan nulis cerita lain lagi. Selain itu aku juga melanjutkan belajar bahasa.”
Mama mencondongkan tubuhnya setelah mendengar rencana yang Erilya katakan. Mamanya jelas masih takut jika anaknya kecewa kembali. Dia sudah merawat Erilya dari kecil hingga saat ini, jelas dia tidak ingin melihat anaknya itu terlalu memikirkan karir yang tidak jelas.
“Kamu nggak perlu mikirin karir kalau emang nggak bisa, Er. Mama sama Papa masih sanggup biayain kamu kuliah S2.” Mama akhirnya mengatakan rencananya.
“Tapi, Er nggak mau Ma. Er udah capek banget mikir.” Erilya menundukkan kepalanya. Dia memainkan tangannya di bawah bantal.
“Kamu kan juga selama ini masih belajar, Er. Lihat kamu katanya ngambil les bahasa Korea, ngambil sertif excel, belajar bahasa Inggris juga. Itu kan sama-sama belajar. Mama sama Papa berusaha memberikan jalan terbaik buat kamu.” Papa menutup majalahnya. Pria yang rambutnya mulai berubah putih itu ikut menjelaskan. Dia juga khawatir mendengar putrinya seperti manusia yang tidak memiliki kehidupan.
“Pa, les-les bahasa yang aku lakukan itu kan secara spesifik aku belajar bahasa. Kalau aku lanjut kuliah lagi, aku ya bahasnya masalah sastra lagi. Beda, Pa.” Erilya berusaha menjelaskan lingkup pembelajaran yang dia lakukan.
“Mama sama Papa berusaha memberikan solusi yang terbaik, Er.” Mama mengaitkan kedua tangannya, terlihat penuh dengan pertimbangan. “Mama nggak mau ngelihat kamu sedih berlarut-larut.”
Erilya mengembuskan napasnya. Dia menatap Helena, Mama, dan Papanya bergantian. “Kalau aku lanjut S2, aku cuma takut mengulang kesalahan yang sama Ma, Pa. Aku takut akan menjadi pengangguran juga setelah itu. Jadi, sama aja nanti akhirnya.”
“Terus kalau kakak gagal juga jadi novelis gimana? Itu lebih lama kak, kakak bikin satu novel aja ngabisin waktu enam bulan. Kalau gagal atau nggak diterima penerbit, kakak gimana? Mau berapa lama kakak mencoba?” tanya Helena yang memiliki ketakutan yang sama dengan Erilya. Mama dan papanya juga sebenarnya takut Erilya dikecewakan dengan keinginannya sendiri.
“Kamu bisa nyoba jadi penulis Er ketika kamu kuliah lagi.” Papa memberikan solusi tengah.
“Tapi jadi mahasiswa magister itu bakalan lebih sibuk, Ma, Pa. Er nggak akan punya waktu untuk nulis.” Erilya tentu sudah memikirkan konsekuensi yang dia ambil. Dia juga sebenarnya telah menyusun berbagai rencana untuk melihat kemungkinan terbaik bagi dirinya.
“Tapi kalau nggak gitu kamu bakalan di rumah terus, Er.” Mama berkata dengan gugup. Dia takut bahasanya membuat Erilya tersakiti. “Mama seneng-seneng aja kamu di rumah tapi mama juga setres ngelihat kamu nggak mau keluar dari kamar.”
Erilya baru menyadari bahwa apa yang dia lakukan selama ini menyakiti hati kedua orang tuanya. Padahal dia memang sengaja memilih menyendiri untuk menyembuhkan, memberikan kekuatan, dan memeluk dirinya sendiri atas kegagalan yang selalu datang menghampirinya. Dia sengaja melakukan itu agar semua orang tidak ikut sedih melihat dirinya. Akan tetapi, justru semua itu tetap menyakitkan untuk orang lain.
“Er—akan pikir ulang lagi.” Erilya akhirnya memutuskan seperti itu. Dia lalu bangkit dari tempat duduknya dan meletakkan remote di pangkuan adiknya. Erilya lalu naik ke lantai atas. Dia ingin tidur agar tidak terllau setres memikirkan hal tersebut.
Mamanya benar, Papanya benar, dan Helena juga benar. Semua orang benar kecuali dirinya.