“Orang sering mengeluh dengan pekerjaannya, padahal itu yang aku inginkan” – Erilya.
***
Selama seminggu Erilya fokus menyelesaikan risetnya. Ternyata hanya dengan riset saja sudah berhasil membuatnya kehilangan banyak waktu. Bangun tidur dia berolahraga sebentar untuk mengembalikan staminanya, dia tidak ingin imunitasnya menurun. Baru setelah olahraga dia makan buah-buahan atau salad sayur, kemudian melakukan riset, sorenya engajar les, dan malamnya kembali bergelung dengan file-file mitologi nusantara yang tidak ada habisnya. Dia bahkan membaca babat jawa, buku ramayana, mahabarata, dan mencari naskah kuno.
Ternyata jurusan Sastra Indonesia cukup membantunya mencari tahu informasi penting sejarah nusantara. Dia ingin menghasilkan karya yang benar-benar sesuai dengan kisah-kisah peninggalan nusantara. Nusantara ini memiliki peninggalan magis yang tidak kalah dengan cina, suku maya, romawi, dan lainnya. Hanya saja kurang dilirik oleh bangsanya sendiri.
“Kalau tidak ada yang membuat cerita seperti itu, biarkan aku yang membuatnya,” ucap Erilya dengan mata yang fokus menyortir file yang dia perlukan.
Saat sedang asik-asiknya mencari tahu, kamarnya tiba-tiba gelap. Gorden hitam berhasil menghalau sinar matahari dari luar sehingga lampu mati membuat kamarnya tidak memiliki cahaya.
“Sial, baru juga gue niat ini.” Erilya lalu menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Dia juga memasukkan charger laptop dan ponselnya. Dia akan pergi ke Kafe Legollian seperti biasa. Meskipun cukup jauh dari rumahnya, kafe itu memang sangat nyaman untuk mengerjakan sesuatu. Selain itu, tentu saja harganya yang murah.
Setelah sampai di kafe, Erilya memesan sosis dan spaghetti. Dia tiba-tiba lapar mata. Tanpa sadar dia menyebutkan satu gelato dan milkshake. Kantongnya pasti terkuras hari ini.
“Halo?” ucap Eri ketika ponselnya bergetar. Dia menjawab dengan asal sambil mencari kursi kosong. Beruntungnya dia mendapatkan tempat kosong yang terbaik. Tempat itu lesehan dengan empat bean bag yang berada di sana. Senyum Erilya merekah sempurna.
“Akhirnya lo ngangkat telepon gue, Er. Gue kirain lo nggak mau temenan lagi sama gue.” Suara Keira di sebrang sana terdengar lega. Erilya menjauhkan teleponnya, dia mengecek log teleponnya. Ternyata selama hampir dua minggu ini mereka menghubungi dirinya tetapi tidak dia balas sama sekali.
“Sorry, sorry. Gue lagi banyak urusan. Kenapa?”
“Gue mau ngasih gaun. Lo lagi ada di mana? Bisa keluar nggak hari ini?” tanya Keira dengan cepat. Tidak seperti biasanya perempuan itu terdengar tergesa-gesa.
“Gue lagi di Kafe Lago. Lo ke sini aja deh.”
“Nah siip, kita emang lagi janjian mau ke situ. Tunggu di situ, jangan ke mana-mana.” Keira menutup teleponnya.
Xiandra dan Velove datang lima belas menit setelahnya. Mereka melambaikan tangan kepada Erilya dan berjalan ke tempat perempuan itu. Xiandra terlihat berbeda, style fashion-nya lebih terlihat amburadul daripada biasanya. Perempuan itu hanya memakai kaos oblong kebesaran dan celana hotpants pendek. Rambut hitamnya hanya dicepol. Tidak biasanya Xiandra berpakaian casual seperti itu.
“Kenapa lo? Kok kayak ngelihat anomali?” Suara perempuan itu juga berubah serak. Bisa ditebak pasti kebanyakan main game.
“Gaya lo—“ Erilya menurunkan kedua tangannya ke bawah seperti memberikan maksud tentang gaya Xiandra dari atas sampai bawah. “Beda.”
“Oaaamm. Masih untung gue ke sini.” Xiandra merebahkan dirinya di atas bean bag. Terlihat kantong matanya menghitam, perempuan itu sepertinya tidak banyak tidur.
“Lo ngapain aja?” Velove bertanya dengan mata menyelidik. Sepertinya tidak hanya Xiandra, dia juga beralih menatap Erilya yang sama berantakannya. Apalagi di depan wanita itu terdapat laptop yang menyala dengan charger laptopnya yang menempel pada stopkontak. “Lo juga ngapain? Muka lo juga sama anehnya sama ni bocah.”
“Diam, Ve. Ketus banget itu mulut.” Xiandra menutup matanya. “Gue tidur bentar sepuluh menit. Kalau Keira udah nyampe bangunin gue.”
“Lo kenapa?”
“Lagi sibuk nyari informasi,” jawab Erilya sekenanya. Dia kembali memfokuskan matanya menatap layar laptop.
“Lo ke mana aja dua mingguan ini? Si Keira hampir nangis karena lo nggak bisa dikabarin.” Velove mengintimidasi Erilya. Perempuan itu bergidik ngeri.
“Gini, gue lagi sibuk sumpah, Ve. Terus juga gue lagi pusing. Jadi nggak sempet ngabarin.” Erilya menjawab dengan muka memelasnya.
“Terserah lo deh. Lain kali bilang, banyak yang kahwatir sama lo.” Velove membuka iPadnya dan mencoret-coret sesuatu di sana.
Keduanya kemudian menyibukkan diri sendiri. Erilya mencari tahu mitologi, ilmu hitam, dan berbagai macam cerita magis. Sementara Erilya mengerjakan tugas anak lesnya. Erilya tahu kalau murid perempuan itu sangat banyak. Dia bisa seharian full mengajar orang dari mulai memberikan bimbingan kepada para gapyear yang bersiap mengikuti tes perguruan tinggi hingga anak-anak TK dan SD.
Kesibukan keduanya terhenti tatkala mendengarkan meja yang ada di bawah mereka sedang mengeluh tentang pekerjaan yang mereka jalani.
“Lo tahu, gue benci banget sama atasan gue. Kemarin kan harusnya gue pulang ya jam lima sore, eh dia malah ngasih gue tugas tambahan. Bayangin, gue jadinya lembur. Terus hari ini dia minta gue ngerjain file buat besok Senin. Dikira ini hari apa coba?” Seorang perempuan berambut pendek bercerita kemudian meletakkan kepalanya di atas meja. Perempuan itu terlihat frustrasi.
“Gue juga lagi. Nanti gue disuruh dateng ke acara perusahaan. Padahal gue mau liburan. Gue mau tidur dengan tenang, bukannya setres nyiapin wajah di depan atasan.” Teman di samping perempuan itu menimpali.
Erilya bisa menebak kalau keduanya seumuran dengan dirinya. Erilya hanya bisa mendengarkan dengan hati teriris. Keduanya bisa membahas pekerjaan mereka, sedangkan Erilya dan teman-temannya tidak memiliki pembahasan seperti itu. Erilya dan Velove yang mendengarnya hanya bisa terdiam dengan miris. Hati mereka sakit mendengar kesibukan orang-orang dengan pekerjaannya, sedangkan mereka belum mendapatkan kesempatan itu.
“Setidaknya kalian memiliki tempat untuk bekerja,” ucap Erilya dalam hatinya.
Sebenarnya tidak hanya Erilya dan Velove yang mendengarnya, Xiandra juga mendengarnya. Mata perempuan itu terbuka dan tubuhnya menggeliat. “Setidaknya masih diberi kesempatan untuk berkeluh kesan dan bisa diceritakan daripada para pengangguran di depan sini. Oaammm.”
Xiandra sengaja mengatakannya sambil menguap dengan lebar. Kedua perempuan yang berada di bawah meraka menatap dengan sangsi. Seolah tidak terima dengan sindiran Xiandra.
“Kenapa kawan? Mau gantiin kita jadi pengangguran, hemm?” Xiandra menggeser tubuhnya dan menumpu kepalanya di kayu pembatas samping. Kedua perempuan itu langsung berpindah tempat.
Keira dan Erilya langsung tersenyum kecil melihat kelakuan Xiandra. Perempuan itu terkadang memang suka mencari gara-gara. Dia lalu mengambil lemon tea yang telah tersedia. Ternyata makanan mereka sudah siap. Tidur selama lima belas menit cukup untuk membuatnya kembali segar.
“Maaf ya gue telat.” Keira datang dengan peluh menutupi kulitnya. Dia lalu mengambil lemon tea Xiandra yang masih sisa setengah. Perempuan itu hendak protes tapi Keira telah menghabiskannya secepat kilat. “Makasih.”
“Ee—hah yaudahlah.” Xiandra lalu memanggil pelayan yang lewat di samping tempat mereka. “Mas, nambah lemon tea satu—“
“Sama milkshake stoberi.” Keira menginterupsi Xiandra.
“Sama milkshake stoberi, Mas,” ucap Xiandra dengan setengah hati.
“Ini gaun buat kalian. Semoga muat ya. Kalau nggak muat, kecilin aja sendiri.” Keira mengatakannya dengan napas terputus-putus. Sepertinya perempuan itu masih kecapekan.
“Lo habis ngapain sih?” tanya Erilya dengan heran.
“Habis ngurusin gedung di sebelah. Terus juga ngambil undangan dan roti. Lo pada bantuin gue bagiin undangan ke temen-teman yak. Udah gue bawain di mobil.” Keira tersenyum dengan lebar.
“Kenapa lo nggak minta bantuan kita juga buat ngurusin dekor dan lainnya?” tanya Velove. Dia merasa tidak enak karena dijadikan bridesmaid tapi tidak melakukan apa pun.
“Hehe. Nggak enak sih minta tolong. Soalnya kalian juga lagi pada sibuk. Erilya kayaknya sibuk mengeksplor diri sendiri, Xiandra sibuk main game, dan lo Ve. Lo sibuk ngajar. Jadi y ague kerjain semuanya sendiri.”
“Lo boleh banget minta tolong sama gue sih. Game doang bisa gue hentiin dulu.” Xiandra menjawab dengan kesal. Perempuan itu tidak terima.
“Nggak apa-apa. Udah selesai kok. Kalian nanti datang aja. Kalau bisa datang duluan nemenin gue biar nggak grogi.” Keira berkata sambil menggaruk tengkuknya. Dia merasa tidak enak dengan teman-temannya.
“Sorry ya, Ra. Gue ngebentak lo kemarin-kemarin. Terus juga ngilang tanpa kabar. Gue bener-bener lagi butuh sendiri soalnya.” Erilya berkata dengan jujur. Ada rasa bersalah yang besar di dalam hatinya. Apalagi melihat sahabatnya itu mengurus segala permasalahan pernikahan seorang diri.
“Gue juga minta maaf ya, Ra. Gue terlalu sibuk sama murid-murid gue.” Velove juga merasa bersalah. Perempuan itu bahkan menundukkan kepalanya.
“Udah teman-teman udah. Semua sudah selesai. Pokoknya gue ngajak ketemuan hari ini buat seneng-seneng aja. Toh gue mau nikah ini. Ayo kita nikmati masa ini sebelum gue nggak punya banyak waktu buat main sama kalian.”
“Aaaaa, Keira, hiks.” Erilya langsung memeluk Keira. Air matanya jatuh begitu saja. Dia tidak menyangka sahabat yang selalu menemaninya itu akan menjadi istri seseorang dan memiliki kehidupan baru.
Velove dan Xiandra juga memeluk Keira dengan erat. Mereka menyadari bahwa semakin bertambah umur mereka, pertemanan mereka akan semakin menipis. Mereka tidak memiliki banyak waktu lagi bersama. Ketiak telah menikah, mereka pasti akan lebih sibuk dengan urusan rumah sendiri. Kegiatan seperti jalan-jalan, nongkrong, makan-makan entah akan bisa dilakukan kapan lagi.
Semakin dewasa, semua orang semakin banyak sendiri. Umur telah membawa mereka menuju kehidupan seorang diri. Memeluk sepi dan bayangan seorang diri. Tahapan ini akan dilalui semua orang nanti. Aku, kamu, dan kita tidak bisa menghindarinya.