“Biarkan aku menari dalam kesedihan ini dulu.”
***
Setiap orang memiliki coping mechanism yang berbeda-beda. Setelah hampir memilih jalan yang salah, Erilya akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tetap memilih menghilangkan kesedihan dengan caranya sendiri. Jika biasanya dia sibuk belajar bahasa, excel, dan lainnya, kali ini dia memilih untuk menghentikan segala aktivitasnya. Dia tidak ingin memikirkan kehidupan duniawi yang membuatnya sakit jiwa seperti itu, untuk saat ini. Yaa, untuk saat ini dia lebih memilih membuka laptopnya dan membuka aplikasi Wetv. Aplikasi yang selalu menemaninya bertahan hidup selama enam bulan lebih ini.
Wetv adalah aplikasi milih perusahaan hiburan china yang di dalamnya memiliki banyak drama, film, dan anime dari china. Drama dan film dari berbagai negara juga ada. Hanya saja Erilya lebih banyak menggunakannya untuk menonton drama china. Selain alasan bosan menonton drama korea, dia juga lebih nyaman dengan alur cerita dari china yang lebih fokus pada satu tema.
“Pekerjaan? Pengangguran? Loker? Belajar? Bodo amat gue mau nonton.” Erilya lalu memilih untuk menonton donghua. Dia ingin mencoba suasana baru. “Gue nggak mau ya jadi gila.”
Ctakk …
Erilya menekan tombol spasi dengan keras. Layar itu berubah menampilkan karakter 3D sebagai tokohnya. Donghua memang dibuat berbentuk animasi yang menyerupai orang. Kebanyakan bertema fantasy dan fokus dengan kekuatan pemeran utama untuk menjadi pahlawan. Banyak lika-liku perjalanan hidup yang harus dilalui oleh tokoh utama untuk menjadi kuat. Erilya lalu berpikir bahwa alur cerita itu sama seperti hidupnya.
Rasa-rasanya dia seperti ditampar oleh donghua. Dia juga seharusnya harus berjuang dengan keras untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Erilya lalu melirik berbagai catatan bahasa inggris dan excel yang ada di sampingnya. Dia terdiam cukup lama menatap keadaan kertas itu.
“Ya, lo harus berjuang dengan keras Er.” Dia kemudian teringat dengan profil LinkedIn Geovana Haris. Pria itu tentunya juga harus melewati masa-masa susah juga. Apalagi bekerja sebagai teknisi mesin tentunya memiliki risiko yang besar. “Gue juga harus berjuang kan ya?”
Erilya bertanya dengan ragu pada dirinya sendiri. Cermin berukuran sedang yang ada di mejanya menampilkan dirinya sendiri, seperti sedang berusaha menyemangatinya. Seandainya dia tidak pernah hidup di dunia ini, dia tidak mungkin harus merasakan perasaan ini.
“Hidup gue semuanya berjalan lancar. Punya keluarga yang baik, sahabat yang baik, hanya saja …” Erilya memutari kamar tidur dengan matanya. “Sepi. Bayaran yang harus digadaikan adalah memiliki pasangan hidup dan pekerjaan.”
Erilya bernapas sebentar dan menghirup angin malam dengan sebaik-baiknya. Dia membiarkan udara malam menusuk paru-parunya. Dia ingin merasakan udara masuk dan memeluk dirinya yang kesepian ini. Setidaknya malam-malamnya ditemani oleh udara. Jika udara semakin tidak bersahabat baru dia akan menutup pintu balkonnya.
Erilya lalu memutar kembali satu episode donghua yang terlewat karena imajinasinya. Terkadang dia memang menghentikan drama yang sedang dia tonton untuk menikmati khayalan buatannya. Terkadang juga dia lupa mematikan dramanya.
Hidupnya sudah lebih dari drama yang tidak ada ujungnya. Dia ingin bertanya, di mana ujung kehidupannya sehingga dia bisa hidup dengan baik. Apakah di masa depan nanti selamanya dia akan seperti ini? Apakah dia tidak akan memiliki kehidupan yang baik?
Entahlah Erilya tidak tahu harus bertanya dengan siapa. Erilya sendiri tahu tidak ada jawaban atas semua pertanyaannya ini. Semua yang mau menjawab pun pasti akan mengucapkan hal yang sama.
Erilya akhirnya memilih menghabiskan waktunya kembali untuk menonton. Setidaknya menonton membantu dirinya untuk merasakah hidup. Menonton juga berhasil mengobati perasaannya ke arah yang lebih baik.
***
Tiga hari telah terlewati. Erilya sama sekali tidak menghubungi sahabat-sahabatnya. Keira yang mengajak Erilya untuk memilih gaun bridesmaid juga tidak mendapatkan respons. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Perempuan itu benar-benar menyibukkan dirinya untuk menonton. Sementara malam harinya perempuan itu akan mengajar anak les. Fee yang dibayar ketika memberikan les kepada anak-anak, masih cukup untuk membuatnya membeli makanan ringan.
“Er, tadi Keira nanya sama mama. Kamu lagi ada masalah?” tanya mama ketika Erilya baru pulang dari mengajar.
“Enggak kok. Emang lagi males aja megang hape, Ma,” jawab Erilya dengan malas. Dia mulai naik ke anak tangga lagi.
“Jangan lupa hubungin Keira. Katanya mau dikasih gaun.”
“Hemm.” Erilya menjawab dengan lirih. Dia sudah berlalu dari tangga bawah. Entah mamanya akan mendengarnya atau tidak yang jelas Erilya segera masuk ke dalam kamar.
Dia meletakkan tasnya dan membuka laptop kembali. Dia menonton donghua lagi. Dia tidak mau melakukan apapun saat ini. Ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama Keira tidak dia angkat. Pasti kedua orang itu saling berkomunikasi, Mama Erilya dan Keira.
Awalnya Erilya tidak peduli dengan telepon Keira tetapi perempuan itu benar-benar menganggunya. Perempuan itu meneleponnya berkali-kali. Bahkan mama juga mengetok pintu kamarnya untuk mengabari hal tersebut.
“Err, itu telepon Keira diangkat dong. Kasihan. Dia lagi butuh kamu loh.”
“Hshss, Ma! Ahhh.” Erilya lalu menghentikan donghuanya dan melepaskan headphonenya. Dia mengangkat telepon Keira. “HALO!” ucap Erilya dengan keras.
“Udah puas?” tanya Erilya kepada mamanya.
“Ya jangan marah gitu dong.” Mama membuka pintu dengan raut tidak sukanya. Mama paling tidak suka mendengar anaknya marah.
“Emang Er nggak boleh marah?”
“Kamu kalau ada masalah bilang sama, Mama. Jangan kayak anak kecil.” Mama bersedekap di dada. Atmosfir kamar Erilya berubah mencekam. Keira yang berada di sebrang telepon juga ikut tegang.
“Kayak anak kecil? Seberapa banyak aku kaya anak kecil di mata Mama? Emang aku ngapain aja sampai Mama nganggep tingkah aku kayak anak kecil?” Erilya mengakat kursinya dan menatap mamanya.
“Kamu udah nggak bisa dibilangin sama Mama ya, Er? Udah gedhe makanya nggak mau dengerin Mama?”
“Udahlah, Ma. Jangan nambah-nambahin pikiran Eri. Eri capek banget. Ini udah kan, aku udah ngangkat telepon Keira. Mama mau apalagi?” Erilya bertanya dengan tidak sabar. Darahnya mendidih hanya melihat mamanya. Dia tidak bisa mengontrol amarahnya kali ini. Tanpa sadar dia berani dengan mamanya.
“Terserah kamu kalau gitu, Er. Mama udah nggak sanggup.” Mama membanting pintu kamar Erilya dan pergi dengan perasaan marah. Erilya hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kesal.
“Err …” ucap Keira dengan lirih. Dia ingin memastikan kondisi di sana.
“Udah ya. Gue nggak mood.”
Erilya menutup ponselnya sepihak. Dia menangis dengan sesenggukan. Dia lelah dengan kehidupannya. Dia lelah berada di antara kegelapan seperti ini. Lama-kelamaan dia bisa merusak tubuh, jiwa, dan pikirannya sendiri. Dia meratapi keadaannya yang malang, di luar sana pasti ada banyak orang yang lebih beruntung dari hidupnya.