“Aku ingin mencobanya lagi, tapi aku takut terjatuh dalam lubang kesalahan” – Erilya.
***
Setelah hampir tujuh hari Erilya mengurung diri di kamarnya dan tidak bertegur sapa dengan mamanya, Erilya kembali mendapatkan setitik rasa damai. Apalagi kemarin mamanya juga sengaja membuatkan cumi-cumi hitam manis kesukaannya. Dia tahu mamanya marah, tapi mama tidak akan pernah mediamkannya untuk waktu yang cukup lama. Sekarang Erilya membuka balkon kamarnya. Dia menatap sekelompok ibu-ibu yang membeli sayur. Dia mendengar sedikit percakapan ibu-ibu itu.
“Eh anaknya Bu Arinta itu udah lulus belum sih?” tanya ibu-ibu bertubuh gempal dengan rambut kriting dan bibir tebalnya. Erilya heran, setahunya bibir tipis paling suka bergosip.
“Sudah lulus lama. Ada kali setahunan,” jawab ibu-ibu yang memakai daster panjang berwarna hijau.
Erilya mencibir di dalam hatinya, “Setahun? Baru juga jalan tujuh bulan, buk”.
“Eh kok belum dapat kerjaan? Anak saya yang udah lulus SMA aja langsung dapat kerja. Masa itu lulusan sarjana di rumah aja. Kalau gitu ngapain bayar mahal-mahal untuk kuliah?” Ibu-ibu dengan piama tidur berwarna cokelat ikut menimpali dengan bibir nyinyirnya.
Erilya yang mendengarnya dari atas balkon hanya bisa menahan panas. Dia tidak menyangka bahwa ibu-ibu kompleks yang pernah diperkenalkan mamanya itu memiliki mulut yang super pedas. Padahal ketika bertemu kemarin ibu itu masih biasa saja. Ternyata memang memiliki mulut sampah.
“EH BUK, SAYA NGANGGUR KARENA SAYA NYARI KERJA KANTORAN. ANAK IBU KERJANYA DI MANA? JAGA TOKO PALING ATAU KERJA DI PABRIK? LIHAT DONG TERGETNYA BEDA.”
Ketiga ibu-ibu itu menoleh ke atas. Mereka terkejut karena orang yang dibicarakan mendengarnya. Mereka juga tidak menyangka kalau anaknya ibu Arinta akan mengamati mereka. Masalahnya mereka tidak pernah melihat Erilya keluar rumah. Jelas ini situasi di luar pemikiran mereka.
“Totalnya berapa, Pak?” tanya ibu-ibu itu serempak. Mereka langsung lari ke dalam rumah secepat kilat.
“Pak, kalau mau nggak mau nambah dosa jangan jualan di sini lagi. Takut-takutnya dosa bapak di akhirat ketambahan sama ibu-ibu itu.”
“M-maaf ya, neng. Saya cuma jualan aja kok.” Bapak penjual sayur itu menjawab dengan takut. Dia lalu membereskan barang dagangannya.
Namun, sebelum bapak penjual sayur itu pergi, mamanya keluar dari rumah dan menghentikannya. “Nggak usah takut, Pak. Jangan dengerin omongan anak saya. Bapak jualan terus aja di sini. Lagian dia juga nggak bisa masak. Tetangga kan memang suka nyinyir, sedangkan bapak nggak ikutan.” Mama menatap Erilya dengan tegas. Pasti habis ini dia akan dimarahi lagi oleh mamanya. “Saya beli sayur terong, ikan gurame tiga, dan bumbu-bumbuan ya, Pak.”
Penjual sayur itu dengan sigap melayani mama Eri. Setelahnya pria itu pergi berpamitan. “Saya ke gang sebelah dulu ya, mba. Terima kasih telah membeli dagangan saya.”
“Jangan kapok ya, Pak. Besok saya tunggu di sini seperti biasa.”
“I-iya baik, Bu.”
Erilya menghembuskan napasnya dengan kesal dan memilih masuk ke kamarnya. Dia menunggu mamanya akan bersuara di luar kamarnya. Lewat tiga puluh menit, mamanya tidak naik ke kamarnya. Alhasil Erilya memilih untuk menuruni tangga. Dia melihat mamanya ternyata sibuk mengoleskan bumbu ke ikan gurame yang tadi di beli.
“Mama kenapa beli ikan gurame tiga? Nggak kebanyakan?”
Mama menoleh ke arah Erilya dengan senyum terpaksa. “Demi membuat penjual sayur senang, gimana lagi Er. Kamu sendiri yang salah tadi.”
Kan, apa Eri tebak, dia akan mendapatkan ceramah dari mama. Ya harusnya dia memang berdiam diri di dalam kamar daripada mendatangi sumber khotbah.
“Yeu, kan yang salah ibu-ibu kompleks. Kenapa jadi Eri.”
“Kamu yang bikin bapak penjual sayurnya nggak nyaman loh. Dia nggak salah. Kalau kamu mau marahin ibu kompleks, mama sih nggak masalah ya. Tapi kalau kamu marahin bapak penjual sayur juga kasihan. Apalagi kamu ngusir dia secara halus. Nggak sopan itu namanya.”
Erilya mengangguk-angguk mendengar penjelasan mamanya. Sedetik kemudian dia menyadari sesuatu, “Oh, mama tadi dengerin ibu-ibu itu ngomong dari awal sampai akhir?” tanya Erilya dengan terkejut.
“Iyalah.” Mama Eri menjawab dengan santai. Tangannya kemudian dibersihkan dengan air kran yang mengalir. Mama Eri menatap Eri dengan jenaka. “Emang kamu kira kamu doang yang denger. Hampir setiap hari juga mama denger mereka nanyain kamu.”
“Kok mama cuma diem aja kalau gitu?” Protesnya tidak terima.
“Ya mau gimana lagi, Er? Kamu mau mama ngapain sama mereka? Mama masih satu arisan lho sama mereka.”
“Ya belain Eri lah, Ma.” Eri menatap mamanya dengan memohon. Dia heran dengan ibu-ibu seperti mamanya yang lebih memilih untuk mendiamkan orang-orang membicarakan anak gadisnya.
“Susah, Er. Lagipula kalau mama muncul juga mereka diem aja.” Mama mengambil ikan yang sudah dibumbui tadi ke dalam kulkas.
“Ma, tapi nggak gitu juga dong.” Erilya merengek kepada Mamanya.
“Malu ah, Er. Udah dua puluh tiga tahun masih kayak anak kecil.” Mama tertawa di akhir kalimatnya. “Mending kamu masuk kamar, lakuin kerjaan kamu. Anak les kamu udah nyariin selama seminggu ini. Mama jadi nggak enak mereka sampai ke sini.”
“Hahh, apa aku berhenti aja jadi guru les? Aku nggak suka banget jadi guru, Ma. Tertekan batin aku.”
“Terus mau jadi apa? Mama sih terserah kamu asal kamu itu seneng ngelakuinnya.”
“Aku mau mencoba jadi penulis, Ma. Gimana?” tanya Erilya yang membuat pisau mamanya berhenti memotong bawang putih.
“Mama sih terserah kamu ya. Toh kamu yang ngejalanin. Mama sama papa juga masih bisa menghidupi kamu dan adik kamu dengan baik. Jadi, coba aja kalau kamu yakin,” ucap mama yang membuat perasaan Erilya tenang.
“Kalau Erilya gagal gimana, Ma? Mama tahu sendiri kan kalau jadi penulis itu tidak mudah.” Erilya menunduk sambil mengupas bawang putih dengan tangannya.
“Ya udah nggak apa-apa. Kamu kan udah nyoba. Gagal atau tidaknya bukan masalah, seenggaknya kamu melakukan apa yang ingin kamu lakukan.”
Erilya lalu memeluk mamanya. Dia merasa sangat bersalah karena selama ini seolah tidak mengerti perasaan mamanya. Dia tahu kalau mamanya juga ingin dia memiliki aktivitas selain berada di dalam kamar. Tetapi bagaimana lagi, emosinya terkadang juga tidak stabil dan menganggap apa yang dikatakan oleh mamanya itu menyakiti perasaannya.
“Oke, Ma. Eri akan mencobanya untuk satu bulan ini.”
Erilya lalu kembali ke kamarnya. Dia sepertinya sudah menemukan semangat untuk mencoba menjadi penulis. Berbicara dengan mamanya memang terkadang menguras emosi tapi terkadang juga menjadi solusi yang menyenangkan. Dia memang lebih banyak mengurung dirinya di dalam kamar, tetapi dia juga masih mengingat sosok mamanya yang selalu ada di sampingnya. Mama tidak peduli seisi dunia mengatakan anaknya buruk, mama hanya percaya bahwa anaknya adalah anak terbaik yang mereka punya.