“Tidak ada yang tahu pasti kehidupanku, kehidupanmu, dan kehidupan kita nanti. Ketidakpastian membuatku semakin tidak berdaya” – Erilya.
***
Sewaktu kecil menjadi orang dewasa adalah keinginan banyak orang. Anak kecil beranggapan bahwa orang dewasa berhak atas hidup mereka sendiri. Bisa berbahagia dengan uangnya, bisa membeli apapun yang disuka, bisa menikmati hidup tanpa kekangan orang tua, bisa berpergian ke mana pun sendiri, dan bisa melakukan semuanya sendiri. Anak kecil hanya melihat bagian paling menyenangkan dari itu semua. Mereka belum mengerti bahwa hidup di masa depan ketika mreka telah dewasa itu sungguh menyiksa.
Menjadi orang dewasa tidak seindah yang dibayangkan. Susahnya mencari pekerjaan, sibuknya mengambil cuti untuk bersenang-senang, sakit pun harus tetap masuk, sakit juga harus memikirkan pekerjaan, dan belum lagi bertemu orang-orang gila di dunia kerja. Anak kecil tidak melihat proses itu untuk bisa mendapatkan kehidupan yang mereka impi-impikan.
Tapii …
Kalau boleh …
Erilya akan memilih menjadi anak kecil …
Banyak orang dewasa yang ingin menjadi anak kecil. Tidak perlu memikirkan bagaimana hidup ini harus berjalan, tidak perlu mendengarkan ocehan busuk dari orang, tidak perlu melihat janji manis, dan berbagai macam topeng manusia. Andaikan mereka tahu bahwa ada banyak manusia yang tidak ingin merasakan masa-masa dewasa yang menyedihkan ini.
“Harusnya gue dulu menikmati masa muda. Main sebanyak-banyaknya, bukannya belajar, belajar, belajar, dan belajarrr.” Erilya menyandarkan tubuhnya dan mendongakkan kepalanya.
Plafon berwarna putih yang ditatap Erilya kini terasa menjauhinya. Dia beranggapan bahwa plafon itu seperti impiannya, semakin lama semakin jauh dan tidak bisa dia gapai. Saat ini dia semakin berhenti bergerak untuk mencapai cita-citanya. Sebagai lulusan dari universitas top di Indonesia yang lulus dengan predikat cumlaude dan ipk yang memuaskan, tidak ada artinya di mata perusahaan. Bahkan pengalaman magangnya juga dianggap sebagai bukan pengalamannya. Entah kapan negara ini bisa memiliki pikiran yang waras saat menentukan standar pegawainya.
Anehnya lagi semua ini bukn karena dia kurang pintar, tapi karena kurang memiliki orang dalam. Selebihnya juga karena jurusan yang dia ambil. Padahal dia tidak bodoh, dia fast learner, memiliki public speaking yang bagus, memiliki pengalaman organisasi, dia juga sedang belajar banyak bahasa. Entah apa yang kurang lagi dari dirinya. Sementara orang-orang yang tidak lebih pintar, tidak lebih cepat belajar, lebih cepat menemukan pekerjaan. Sementara itu atasan mereka juga akan mengeluh di media sosial jika anak baru itu tidak bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Bahkan pekerjaan sesimpel mengatur kertas di Microsoft Office. Jadi, sebenarnya mereka mencari kandidat seperti apa?
Erilya kembali berpikir untuk mulai menulis novel seperti yang disarankan oleh Xiandra. Bukannya dia tidak pernah mencoba, akan tetapi dia mudah bosan. Dia pasti mencari-cari cara untuk membuat novel yang lain. Entah dari segi cerita berbeda atau sama. Dia juga berkali-kali mengubah novelnya dan berjanji akan menyelesaikannya. Kenyataannya novel itu berakhir di-draft laptopnya saja.
Terkadang Erilya membaca novel-novel yang pernah dia tulis. Tulisannya bagus, lumayan rapi, dan memiliki ide yang menarik. Dia rasa dia cukup berbakat untuk menjadi novelis. Hanya saja dia tidak tahu harus memulai novel itu kembali seperti apa. Dia tidak memiliki mood untuk melanjutkannya. Feel untuk novel itu sudah tidak ada. Kalau dipaksakan takutnya tulisannya hambar. Dia lalu mengingat komentar di salah satu akun Wattpadnya.
Mereka mengatakan bahwa tulisannya bagus, rapi, dan feel-nya tersampaikan dengan baik. Padahal saat itu Erilya jelas menulis dalam keadaan tidak baik-baik saja. Itu adalah salah satu alasan kenapa Erilya tidak ingin terjun sebagai penulis novel. Tulisannya tidak pernah ada akhir. Dia belum bisa membuat alur yang baik. Apalagi menjadi penulis itu seperti bermain judi. Kalau angkanya bagus, akan mudah terkenal tetapi jika angkanya buruk tidak ada yang akan dihasilkan.
“Gini amat nyari duit ya Allah.” Erilya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Dia ingin bekerja kantoran dan mendapatkan gaji bulanan yang pasti, bukan seperti melakukan taruhan dengan kehidupannya ini.
“Iya kalau gue terkenal, kalau enggak? Iya kalau buku gue berhasil, kalau enggak gimana? Gue mau makan apa?? Aarrrggghhhh.”
Erilya melempar semua bukunya yang berada di sisi kanan meja belajarnya. Suara benda-benda jatuh terdengar berisik tapi Erilya tidak peduli jika orang tuanya akan terbangun. Dia lalu mengambil buku yang berisi kegiatannya setiap hari. Dia merobek buku itu dengan membabi buta dan kemudian melemparnya ke sembarang arah. Dia mengutuk dirinya sendiri yang merasa cacat. Dia belum bisa menghasilkan apapun.
Tok tok tok
“Errr! Ada apa?” Suara mamanya mengiterupsi. Wanita itu pasti berjalan ke atas sambil menahan kantuk.
“Nggak apa-apa, Ma. Cuma kesenggol aja tadi barangnya.”
“Oh ya? Yaudah kalau gitu. Ini sudah malam. Kamu tidur aja. Nggak usah dibawa beban kalau nyari kerja.”
“Iya.” Erilya menjawab dengan lirih. Suara kaki menuruni anak tangga terdengar. Mamanya sudah pasti kembali ke tempat tidur.
Erilya lalu mengambil pisau di bawah lokernya. Pisau itu dulunya sering dia pakai untuk memasak di kosan. Sudah lama dia menyimpannya di sana. Dia juga sudah lama menahan dirinya sendiri untuk tidak menggoreskan pisau itu ke pergelangan tangannya yang mulus.
Bukan berarti selama ini dia tidak pernah depresi. Dia juga setres dengan dunia perkuliahan dulu. Masalah juga bertubi-tubi datang kepada dirinya. Dia selalu menahan itu semua. Dia cukup benci dengan rasa sakit akibat luka yang tidak sengaja sehingga sampai saat ini dia sama sekali belum pernah melakukan percobaan melukai diri sendiri.
Entah jika kali ini. Lama kelamaan Erilya tidak bisa merasakan apapun dalam hidupnya. Dia telalu lama merasakan kesedihan seorang diri. Dia tidak berdaya dengan apa yang saat ini dia jalani. Erilya bahkan tidak tahu harus bertahan dengan cara apalagi. Kali ini, ya kali ini dia ingin mencobanya. Dia ingin mencoba cara ini untuk membuat dirinya bisa merasakan hidupnya. Dia ingin mencoba.
Tanpa sadar dia sudah dikuasai oleh amarah yang dia tahan selama ini. Selama berbulan-bulan ini dia sudah menahan segala hal yang tidak menyenangkan di hatinya. Dia lalu menggoreskan pisau itu sambil menutup matanya. Begitu pisau itu mengenai kulitnya, Erilya menahannya. Tangannya bergetar dan pisau itu jatuh di antara kedua kakinya. Dia terduduk di lantai. Air matanya terjatuh tanpa sadar. Dia menangis dalam diam. Dadanya terasa sesak. Entah sampai kapan malam-malam ini akan berlalu. Dia rasanya ingin mengakhiri ini semua. Dia merasa tidak mampu dan tidak bisa jika harus bertahan dalam keadaan seperti ini. Erilya tidak sanggup.
“Tuhan, kenapa engkau memberikan cobaan yang semenyedihkan ini kepada hamba-Mu?” Erilya mendongak ke atas. Kedua tangannya menggenggam di depan dada. Entah Tuhan akan mendengarnya atau tidak. Dia sudah dalam tahap pasrah.