“Kekuatan itu hadir karena kita saling berpegangan tangan. Kita bisa melaluinya. Jangan sendiri!” – Empat Pilar Hidup.
***
Hari itu keempat sahabat yang sebelumnya seperti mayat hidup berkumpul kembali. Erilya si lulusan Sastra Indonesia, Xiandra si lulusan Ekonomi, Velove si lulusan Pendidikan Bahasa Inggris, dan Keira si lulusan Kimia. Keempatnya kembali bertemu di Kafe Lagollian. Kafe yang masih sama murah dan enaknya seperti hari-hari biasa.
Kali ini Erilya masih sedikit memiliki semangat hidup setelah membaca sebuah kicauan di X. Sisanya semangatnya hilang karena sudah lebih dari dua minggu tidak ada balasan pesan yang dikirimkan oleh perusahan kemarin. Erilya hanya bisa menghembuskan napasnya. Matanya mentap milkshake stoberi yang kali ini dia coba.
“Rasanya kayak puyer nggak ya?” tanya Erilya dengan pandangan kosong menatap gelas di depannya.
“Nggak tahu. Biasanya sih iya.” Velove menutup ponselnya. Dia menatap Erilya dengan prihatin. “Mending lo cobain aja,” lanjut Velove sambil masih memasang wajah untuk melihat sahabatnya yang seperti semboyan generasinya, ‘hidup segan mati tidak mau’.
“Gue gagal lagi ya Ve buat dapet kerjaan?” Akhirnya perempuan itu mengatakan isi pikirannya juga. Velove kira sahabatnya itu akan diam saja sampai mereka balik ke rumah.
Keira yang sedang tersenyum membaca chat dari calonnya disenggol oleh Velove. Sementara Xiandra menjadi lebih sibuk dengan game di tangannya.
“Eh eh. Emmm … udahlah nggak usah dipikirin, Er. Coba aja lagi. Coba terus, nanti juga dapat kok.” Keira sepertinya sudah terhindar dari beban di hatinya.
“Sepertinya menikah memang menghilangkan beban ya, Ra?” Dengan lemah Erilya menelengkan kepalanya ke arah Keira.
“Belum kelihatan kalik Er bebannya. Coba nanti kalau udah nikah.” Xiandra ikut menimpali sambil memainkan game. Perempuan itu juga sepertinya sudah menyerah dengan banyaknya balasan email yang menolaknya. “Mending ngegame aja. Semua permasalahan hidup akan hilang.”
Xiandra tersenyum sambil menaikturunkan alisnya dengan cepat ketika menatap Erilya. Setelahnya dia kembali fokus ke dalam permainan. Sejenak kemudian wajah itu berubah serius kembali.
“Lo kayaknya tergila-gila sama game sekarang, Shi.” Keira bertanya dengan heran.
“Gimana lagi? Daripada gue gila di rumah. Mending gue nge-game. Lumayan gue juga buka joki game nih. Uangnya oke kok. Haha.” Xiandra tertawa dengan suara yang dibuat lebih berat.
“Kan … seenggaknya kalian sudah menemukan apa yang ingin kalian lakukan.”
“Yang bener lo?” Xiandra menurunkan ponselnya. Akun game yang dimainkan Xiandra menang. Dia tersenyum dengan puas. Tidak salah jika dia meminta bayaran yang lumayan mahal daripada joki lainnya.
“Itu buktinya lo udah nemu.” Erilya mengaduk minumannya. Sesekali dia menyesapnya ketika berpikir.
“Entar juga lo ketemu kok, Er. Tunggu aja.” Velove berusaha menenangkan sahabatnya sekaligus dirinya. Dia pun sudah ingin menyerah dengan semua yang dia coba. Tapi bagaimana lagi, dia juga masih punya tanggungan anak lesnya yang lumayan banyak. Bayarannya tetap cukup untuk menikmati waktu dikafe.
“Kapan tapi?”
“Udah ditunggu aja. Kita juga nggak tahu ini masa depan kayak gimana.” Xiandra menjawab dengan sedikit ketus. Semenit kemudian dia menatap Erilya dengan pandangan bersalah. Dia tahu keadaan mereka semua juga sama seperti Erilya. Hanya saja Erilya ini memiliki banyak pertanyaan yang sama dan keluhan-keluhan yang lebih banyak daripada lainnya. “Lebih baik lo coba nulis, Er. Kita coba bareng-bareng.”
Velove ikut mengangguk dengan semangat. “Gue nyoba jadi guru yang baik, Xiandra jadi pemain game yang baik, dan Keira jadi istri yang baik. Setidaknya kita nggak hanya nunggu hal yang nggak pasti aja Er. Seenggaknya kita bergerak. Kita nggak pernah tahu kerjaan kita akan dateng dari mana.”
Mendengar perkataan sahabat-sahabatnya, Erilya menjadi sedikit tercurahkan. Benar apa yang dikatakan oleh mereka semua. Saat ini dia tidak sendiri, saat ini dia tidak bisa mencoba satu jalan lain, dia harus mencari jalan yang lainnya. Dia melihat sahabat-sahabatnya juga sedang berjuang. Mengapa dia tidak mencoba juga. Dia harus mencoba menjadi penulis juga. Setelah berbagai macam waktu terlewati dia menolak mencoba pekerjaan itu, tapi sekarang memang dia harus mencobanya.
“Lo pasti bisa.” Keira mengangguk dengan mantab. Mereka semua juga sedang berjuang. Harusnya Erilya juga tidak boleh kalah. Tidak ada salahnya dia mencoba menulis. Toh tulisannya juga tidak buruk-buruk amat.
“Kalik-kalik lo butuh referensi cerita, lo bisa pakai kisah cinta gue.” Xiandra mengatakannya dengan getir. Perempuan yang sedikit tomboy itu memiliki kisah cinta yang sedikit menyedihkan. Cintanya berakhir ketika sahabatnya mengambil pacarnya. Kebebasan yang Xiandra berikan ternyata disalahgunakan oleh pacarnya. Alhasil mereka pergi begitu saja tanpa memikirkan perasaan Xiandra. Sejak saat itu Xiandra malas membahas percintaan.
“Makasih, Shi. Makasih teman-teman. Mari berjuang untuk mencoba berbagai pengalaman hidup.”
“Yaps!” ucap mereka berbarengan.