“Pada suatu ketika manusia memiliki perencanaan, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan rencana Tuhan.”
***
Pertanyaan Keira masih membekas diingatannya. Dia tidak bisa menjawab itu. Dia pun tidak tahu di umur yang sekarang apalagi yang ingin dia lakukan. Sepertinya dia hanya tinggal mengikuti hari-hari yang takdir pilihkan kepadanya. Kalau bisa memilih tentunya Eri akan menjawab dengan lantang, “Gue mau kerja lah. Dapet duit, jalan-jalan, terus beli apapun yang gue suka”. Tapi sayangnya sekarang sudah berbeda. Eri bahkan sudah lupa tujuan itu.
Dia setiap hari hanya sibuk dengan kegiatannya belajar bahasa Inggris, Microsoft Excel, dan memberikan les kepada anak SD. Tidak banyak hal yang bisa Erilya lakukan dalam satu waktu karena dia juga harus mencari pekerjaan. Melamar terkadang membutuhkan surat lamaran, otomatis Erilya harus membuatnya saat itu juga. Terkadang CV-nya juga kurang sesuai, dia harus memperbaikinya. Hanya mengurus pemberkasan saja dia harus mengeluarkan banyak waktu. Jadi, waktunya juga tidak banyak dia gunakan dengan baik.
Erilya juga sebenarnya tidak suka mengajar. Dia tidak suka menjadi guru. Pekerjaan itu memiliki kesabaran yang tinggi. Tapi apalagi yang bisa dia lakukan. Bekerja di pabrik misalnya, itu cukup berat dan tidak tahu apakah dia bisa bertahan di tempat kerja seperti itu. Ya meskipun gaji yang diterima sangat menggoda dirinya.
Erilya melihat pesan yang belum dia baca. Ternyata dia mendapatkan kesempatan untuk wawancara lagi. Setelah beratus-ratus lamaran yang dia coba, dia mendapatkan kesempatan lagi untuk wawancara. Kali ini dia ingin melakukan yang terbaik. Dia mencoba mencari tahu lebih dalam perusahaan yang memberikan kesempatan kepadanya. Esok hari dia harus bisa tampil dengan baik.
“Berapa ekspektasi gaji yang kamu minta?” tanya HRD wanita itu. Suaranya terdengar tenang dan matanya fokus menatap kertas yang ada di tangannya. Erilya menebak bahwa kertas itu berisi jawaban-jawaban data yang sebelumnya diminta oleh HRD.
“Saya rasa sebagai freshgraduate gaji umr sudah cukup.” Erilya melihat respons HRD itu yang manggut-manggut.
“Emmm … kenapa kamu memilih perusahaan kami?”
Rasanya Erilya ingin menjawab, “Ya tentunya karena buka lowongan pekerjaan tersebut. Apalagi?
Biasanya orang-orang seperti Erilya tidak peduli dengan perusahaan mana, yang penting dia mendapatkan pekerjaan saja. Lagipula untuk mendapatkan pekerjaan saja sudah sangat susah, masih harus memilih perusahaan yang bagus. Selain itu, ada banyak perusahaan yang tidak dikenal oleh banyak orang. Perusahaan-perusahaan kecil terutama.
“Karena saya ingin menjadi editor buku, kebetulan perusahaan sedang membuka bagian tersebut. Kualifikasi yang dibutuhkan juga cocok dengan latar belakang saya.”
“Oke. Ada pertanyaan untuk saya?”
“Bagaimana sistem kerja di perusahaan Ibu? Apakah lingkungan kerjanya nyaman?”
“Nyaman. Kami di sini bekerja sama dengan baik. Orang-orangnya ramah—“ HRD tersebut menjelaskan secara rinci apa saja yang ada di lingkungan perusahaannya. Terakhir karena tidak ada pertanyaan lagi dari Erilya, HRD itu memberikan ucapan template yang sudah bosan semua jobseeker dengar. “Ditunggu ya, nanti kita hubungi lagi dua minggu kalau lolos.”
“Baik, Ibu. Terima kasih atas kesempatannya.”
Wawancara online itu berakhir juga. Erilya akhirnya bisa bernapas dengan lega. Wawancara selama satu jam telah membuat perutnya keroncongan. Dia lalu turun ke bawah dan mengambil makan. Kali ini mamanya memasak nasi goreng. Entah bagaimana rasanya, biasanya nasi goreng buatan mamanya seperti kurang garam dan bumbu.
“Ya sudahlah makan saja yang ada.” Erilya mengambil nasi goreng itu. Kemudian dia meletakkan piringnya ke atas meja sebentar untuk mengambil susu kedelai di dalam kulkas. Terdapat postcard yang ada di depan pintu kulkas.
Kalau kamu nggak suka makanannya buat sendiri aja. Mama udah nyiapin sosis dan sebangsanya di dalam kulkas.
Erilya lalu membuka kulkas dan mengcek freezer. Meskipun mamanya terkadang menyebalkan, tapi mamanya juga baik. Maklum saja karena tidak ada orang tua yang akan tega dengan anaknya. Apalagi melihat anaknya tidak bisa hidup dengan normal jika sedang setres. Tidak mengajak bicara saja sudah cukup membantu.
“Yaudahlah gue goreng sosis aja buat nambah-nambah rasa.”
Meskipun Erilya tidak bisa memasak tapi untuk dasar-dasar memasak dia paham. Dia bisa memotong bumbu dan sayur dengan baik. Hanya saja dia tidak bisa memberikan rasa masakan yang enak. Mamanya tidak pernah mengajarkan dirinya untuk memasak. Hanya mengajarkan bahwa masakan sudah terasa enak ketika ditambahkan kaldu ayam atau kaldu sapi.
“Gue memang bukan idola mantu idaman,” ucap Erilya ketika mengingat betapa patriarkinya negara tempat dia mengijak saat ini. Dia pun tidak peduli. Toh dia juga tidak berniat untuk menikah tapi kadang juga dia ingin. Entahlah dia sudah bingung dengan hidupnya sendiri. “Boro-boro mikirin nikah. Besok gue mau ngapain aja nggak tahu lagi.”
Erilya meletakkan sosis itu ke dalam piring berisi nasi goreng. Perutnya sudah benar-benar keroncongan. Kali ini dia seperti terkena busung lapar. Salahnya sendiri memang. Dia juga harus menyiapkan materi untuk mengajari anak SD yang les kepadanya. Mulai hari ini dia sudah harus memberikan les. Tidak masalah, uang akan datang kepadanya. Meskipun sedikit, tetap akan membantu pemasukannya.
Masalah rencana ke depannya dia akan bagaimana, dia hanya menyerahkannya kepada Tuhan. Dia telah berusaha sebisanya, dia berusaha sebaik mungkin untuk melakukan apa yang dia bisa. Jika memang belum rezekinya dia bisa apa? Erilya paling-paling hanya bisa menangis saja melihat ketidakadilan yang dia terima.
Ketika Erilya mengingat betapa menyedihkannya hidup yang dia lewati saat ini, dia seperti tersambar petir ketika membaca sebuah tulisan di X (Twitter). Dia melihat orang yang bercerita bahwa keluarganya mengajak dirinya bunuh diri karena memiliki hutang yang banyak. Dia membaca tulisan-tulisan orang lain di kolom komentar. Ternyata banyak orang yang pernah memiliki masa-masa berat seperti itu. Akan tetapi, mereka tidak pernah menyerah.
Erilya lalu menutup ponselnya. Pandangannya menatap ruang keluarga yang tanpa sekat dari dapur. Terlihat lengang tidak ada siapapun. Dia lalu menatap rumahnya yang masih sangat-sangat layak untuk ditinggali. Dia kemudian mengingat adiknya yang masih bisa kuliah dengan tenang. Dia juga mengingat keadaan orang tuanya yang masih hidup dengan baik. Erilya merasa malu, hidupnya masih lebih baik daripada orang dicerita itu. Apalagi orang itu hidup dengan bersusah payah juga. Berkuliah dengan kerja sendiri. Sementara dirinya bisa lulus dengan tenang tanpa harus bersusah payah. Kesusahan saat ini yang dia rasakan tidak ada apa-apanya dengan apa yang dirasakan oleh orang itu.
Tuhan masih berbaik hati bukan kepada dirinya?
Memang manusia itu harus disadarkan dengan kondisi orang lain untuk mensyukuri apa yang ada padanya. Semua kemalangan yang baru dirasakannya ini belum ada apa-apanya dengan cerita orang tersebut. Seharusnya Erilya semakin semangat untuk mencoba dan kembali. Dia juga masih diberi uang saku di umur yang sudah cukup. Erilya tentunya malu dengan orang-orang di sana. Dia kembali mengingat orang-orang tunawisma yang dia temui di jalanan beberapa bulan lalu. Hidup mereka bukahkan lebih tidak menyenangkan daripada Erilya?
Mereka masih berjuang, lalu kenapa dirinya yang berada di zona nyaman seperti ingin menghakimi takdir Tuhan?