“Setiap orang punya pilihan yang terbaik baginya ketika dalam keadaan terpaksa.”
***
Tidak banyak yang tahu apa saja yang terjadi dengan orang lain. Tidak banyak yang tahu apa alasan orang lain memilih pilihan itu. Alasan apa orang memilih untuk melakukan itu atau tidak melakukan itu. Yang dilihat oleh mereka hanya orang ini tidak mau mencoba. Lalu bagaimana jika mereka memang tidak ingin melakukan itu? Semua orang punya pilihannya sendiri.
Seandainya mereka melalui masa ini apa mereka bisa bertahan? Seandainya kehidupan masih sama saat mereka muda dulu, mungkinkan cerita anak muda sekarang akan semenyedihkan ini? Hanya menjadi pengangguran sudah seperti manusia yang tidak memiliki kelengkapan hidup. Mereka selalu memandang bahwa hidup ini mudah untuk dilakukan.
Padahal malam-malam hari bisa menjadi bagian termenyedihkan ketika semua orang sedang terlelap. Mereka menangis di kamar mandi sambil menghidupkan kran air untuk menghalau suara tangisan itu keluar. Menahan perasaan dan sabar dalam kondisi yang sedang saat ini dilalui bukanlah hal yang mudah. Erilya jika bisa memilih, dia akan lebih memilih menyudahinya.
Sudah berbagai banyak pikiran negatif yang hinggap diotaknya. Entah dengan menyiksa diri sendiri, tidak ingin makan, tidak ingin keluar kamar, tidak ingin melakukan apapun. Masih harus ditambah dengan berusaha sebaik mungkin di depan orang lain.
Erilya keluar dari kamar mandi ketika tangisan sudah membuatnya lega. Dia menatap kamar tidurnya. Rasanya dia seperti tidak berhak untuk menempati ranjang itu. Mungkin dia belum mendapatkan pekerjaan karena selalu memilih tidur, mungkin tidurnya terlalu banyak, mungkin dia kurang bekerja keras, mungkin dia memang tidak bisa memiliki kehidupan yang lebih baik, atau mungkin memang tidak ada hal baik yang bisa dia lakukan.
Erilya lalu duduk di meja belajarnya. Selama enam bulan lebih, kursi itu menjadi tempat yang lebih banyak dia pakai duduk. Wajahnya menunduk. Dia masih ingin menangis tapi tidak memiliki tenaga. Dia lupa telah berapa lama tidak makan. Selama dua hari sepertinya dia belum makan nasi. Mamanya yang sibuk itu juga mungkin juga tidak menyadari akan keabsenannya di meja makan.
“Hidup gue gini banget Ya Allah. Heug,” ucap Eri sambil sesenggukan. Matanya sudah tidak mengeluarkan air mata tetapi dadanya masih terasa sesak. Dia sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dia bisa-bisa beneran gila jika hal ini terjadi terus.
“Nggak punya kerjaan, nggak punya kegiatan, nggak punya kehidupan. Lebih parahnya lagi nggak punya pacar juga. Sedih-sedih sendiri.” Eri menaikkan kakinya dan memeluk keduanya dengan tangannya. Wajahnya dia tundukkan di tengah-tengah. Matanya hanya menatap kosong. Pikirannya juga keikut kosong. Dia sudah tidak tahu harus melakukan apalagi di dalam hidupnya.
Sejenak Eri mengingat acara pertunangan Keira yang akan diadakan dua minggu lagi. Perempuan itu ingin meminta Eri menemaninya memilih dekor pertunangan. Maklum calonnya adalah orang yang sibuk. Alhasil Erilya akhirnya memilih untuk mengistirahatkan dirinya malam ini.
***
“Lo nggak tidur semalem?” tanya Keira yang melihat mata panda Eri. Kulit perempuan itu terlihat kusam. Keira lalu mengambil satu sheetmask yang ada di tasnya. Kebetulan dia tadi meminta Erilya untuk berhenti di toko kosmetik dan membeli masker untuk persiapan pertunangannya. Dia ingin terlihat menawan dan cantik.
“Lo ngapain ngasih gue sheetmask?” Eri menatap dengan heran. Tubuhnya terlihat lemas dan tidak bertenaga.
“Biar lo bisa hadir di acara pertunangan gue dengan keadaan segarrr. Menyala sahabatku.”
Eri mengambil masker itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Makasih ya sobat. Lo jadinya mau pilih yang mana?” tanya Eri pada akhirnya.
Perempuan di depannya terlihat bersemangat untuk menjelaskan. “Gue mau ngambil yang ini nih. Dekor berwarna pink dengan bunga-bunga pink. Cantik nggak? Kursinya juga kelihatan mewah meskipun murah. Ya standarlah dengan harga yang dikasih. Menurut lo gimana?”
“Oke kok. Simpel elegant, kelihatan intimate juga.” Erilya menyetujuinya.
“Okedeh. Gue mau ke kasir dulu buat booking.” Keira meninggalkan Eri. Sementara perempuan itu memainkan ponselnya.
Ada banyak berita di media sosial yang menampilkan berita PHK besar-besar dari pabrik, stasiun televisi, perusahaan swasta, dan lain sebagainya. Erilya menghembuskan napasnya dengan berat. Hidup di negara dengan pemerintahan yang ignorant memang berhasil membuat hidupnya setres tidak tertolong. Kali-kali mereka bisa segera mencium tanah dengan cepat.
“Habis ini mau ke mana?” tanya Keira ketika perempuan itu sudah menyelesaikan pembayarannya.
“Makan nggak sih? Laper deh.”
Keira mengecek jam tangannya. Benar saja, sudah waktunya makan. Mereka sudah keluar rumah dari pukul 10.00 pagi, sementara ini sudah pukul 16.00 sore. Waktu yang tidak terasa. Bermain di dua tempat saja sudah berhasil menyita banyak waktu mereka. Tempat seperti toko kosmetik memang suka membuatnya lupa diri.
Mereka memilih memakan selat solo. Makanan khas salatiga yang berisi bola-bola daging, kentang, kripik kentang, kacang panjang rebus, dan wortel. Keira sedang mengurangi karbohidrat dari beras, alhasil mereka berakhir memakan makanan sehat itu.
“Lo kenapa akhirnya milih buat nikah aja, Ra?” tanya Eri di tengah-tengah waktu menunggu pesanan diantarkan.
“Kan udah gue jawab sebelumnya.” Keira seperti tidak ingin membahasnya. Sebenarnya dia biasa saja tapi Eri sepertinya memang kurang puas dengan jawabannya. Ya lagipula dia juga bingung perempuan itu ingin mendapatkan jawaban seperti apa. Apalagi Eri tidak akan berhenti bertanya sebelum dia mendapatkan jawaban yang pas.
“Yaa masa cuma karena capek nyari kerja lo beneran nikah sih?” Eri bertanya dengan nada yang sedikit sewot. Perempuan itu terlihat tidak terima jika sahabatnya memilih melepaskan mimpi-mimpinya.
“Ya gimana lagi, Er. Lo tahu sendiri sih. Lagipula cowoknya baik kok.” Keira menjawab dengan lirih. Perempuan itu menunduk sambil memaikan ponselnya ke kiri dan ke kanan.
“Beneran itu baik?” Kali ini Erilya benar-benar berkata dengan sewot yang langsung mendapatkan tatapan dari Keira.
“Kayaknya sih—ya.” Keira menjawab dengan ragu-ragu.
“Gue nggak mau kalau lo itu harus ngubur mimpi lo sebagai independent woman buat nikah sama laki-laki. Lo kan mau berkarir.” Eri berkata sambil menggenggam tangannya. Dia sepertinya sedang menahan amarah.
“Itu mimpi lo aja kayaknya, Er. Gue nggak. Pada awalnya juga emang gue nggak berniat buat jadi independent woman. Gue lebih pengen punya seseorang yang mengayomi gue, ngehidupin gue, nafkahin gue, capek banget tahu nggak punya duit tuh. Lo kan tahu sendiri gimana susahnya jurusan gue. Nggak ada yang mau nerima anak kimia murni, apalagi tanpa pengalaman. Gue bahkan nggak punya kesempatan untuk itu, Er. Jarang banget gue ketemu loker kayak gitu.”
Kali ini Erilya yang menatap kosong meja di depannya. Bibirnya bergerak menahan ucapan kasar yang mungkin bisa dia lontarkan kepada pemerintah. Pada akhirnya semua ini akan berakhir dengan, “Yaudahlah ya, itu pilihan lo, Ra. Gue cuma bisa berdoa aja kalau gitu. Kayaknya lo udah manteb banget.”
“Iya. Makasih ya, Er.”
Pesenan mereka berdua datang. Keduanya lebih memilih fokus untuk menghabiskan makanan itu. Hanya saja ketika di tengah-tengah kegiatan mereka, Keira menginterupsi.
“Terus rencana lo sendiri gimana, Er?”