Loading...
Logo TinLit
Read Story - No Life, No Love
MENU
About Us  

“Di saat orang-orang beraktivitas, aku justru terbangun di tengah-tengahnya” – Erilya.

***

Pukul 06.00, matahari telah terbit di atas sana. Menyilaukan celah-celah kubus hidup manusia. Suara-suara mulai terdengar dari berbagai sudut kompleks perumahan. Berbagai macam teriakan atau kemarahan muncul menjadi satu. Erilya menutup telinganya dengan bantal. Dia mengambil ponsel dan menatap jam di sana. Jam-jam yang dibencinya.

Dia lalu membuka jendela kamarnya. Sinar matahari menyilaukan matanya. Belum terlalu terik tapi cukup untuk membuat semua mama marah-marah. Entah anaknya yang belum bangun, entah anaknya yang susah makan, entah anaknya yang nggak mau sarapan, entah suaminya yang komplain, dan entah-entah lainnya yang dapat sedikit Erilya dengar.

Erilya meletakkan tangannya di atas besi balkon kamarnya. Matanya menatap anak-anak dan orang-orang beraktivitas di jalanan gang rumahnya. Ada ojek online yang membonceng anak SD, ada anak SMP yang berjalan kaki sambil berbincang dengan temannya, ada anak SMA yang sedang tergesa-gesa keluar dari rumah, dan ada mobil orang-orang yang kerja entah di mana tempatnya.

“Heemmm … Hah …” Erilya hanya bisa mengucapkan kata-kata tersebut. Dia menatap orang-orang yang beraktivitas dengan pandangan kosong. Dari wajah semua orang, Erilya tahu bahwa mereka malas untuk mandi pagi dan beraktivitas tetapi bagaimana lagi, hidup memang berjalan seperti itu. Dulu ketika Erilya sekolah juga dia sangat malas kalau harus mandi pagi dan beraktivitas. Dulu dia hanya ingin tidur saja. Sekarang, justru kebalikannya. Sekarang Erilya ingin memiliki aktivitas, tetapi sekarang dia justru hanya bisa melihat orang-orang beraktivitas.

Manusia memang tidak pernah bersyukur dan puas dengan hidupnya.

Erilya lalu masuk ke dalam kamarnya. Dia menutup jendela kamarnya dan menutup gorden kembali. Sudah berbulan-bulan ini dia lebih memilih menutup diri dari dunia luar. Dia membenci dunia luar itu. Masalahnya tidak ada yang berjalan dengan baik dengan hidupnya.

“Er!” Pintu kamar Erilya terbuka. Wanita berumur empat puluh tahunan muncul di sana. Mamanya pasti akan mengatakan sesuatu. “Temenin mama nanti ke pasar. Kamu siap-siap dulu.”

“Tapi ma—“ ucapan Eri terhenti ketika mamanya kembali membuka mata dan memasukkan kepalanya di celah pintu.

“Kamu kan nggak ada kerjaan. Jadi bisa lah nemenin mama. Terus mama sama siapa kalau nggak sama kamu? Siap-siap ya. Mama tunggu di bawah. Jangan lama-lama.” Pintu itu kembali tertutup.

Erilya bahkan tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Perasaannya seolah-olah tidak ada yang mengerti. Bahkan untuk menikmati kesedihan dan tekanan hidup saja sepertinya dia tidak berhak untuk itu.

Erilya termenung di meja belajarnya. Air matanya turun ke bawah. Belum sempat dia meluapkan semua kesedihannya, suara mamanya kembali masuk ke dalam telinganya.

“Errr! Udah siap belum?”

Erilya lalu menghapus air matanya. “Bentar ma, cuci muka dulu,” teriak Eri dengan suara sesenggukan yang ditahan.

Erilya mengamati segala jenis manusia yang tumpah ruah menjadi satu di dalam pasar. Ada yang berjualan buah-buahan, pakaian, sepatu, jajanan pasar, perabotan rumah tangga, dan lainnya. Saat ini Erilya dan mamanya telah berpindah ke tempat para menjual daging dan ikan.

“Ma, aku nggak suka baunya.” Erilya mengeluh sambil berusaha menahan hidungnya yang menolak untuk mencium bau ikan. Tangannya juga mulai terasa pegal karena harus memegang belanjaan mamanya.

Mamanya menatap dengan tajam, “Namanya juga tempat jual ikan. Kamu kalau nggak mau bau, kerja makanya”. Erilya langsung memilih menutup mulutnya. Dia merasa malu ketika mamanya mengatakan itu di depan para pedagang.

Erilya memilih mundur perlahan. “Aku tunggu di situ aja, Ma.” Erilya lalu berdiri termenung di samping penjual jajanan pasar.

“Mau beli apa, Mba?” Erilya daritadi terdiam sambil menatap agar-agar yang ada di depan matanya. Jajanan pasar yang lain juga terasa menggiurkan di depan matanya. Sayangnya dia kembali memikirkan pertikaiannya dengan mamanya tadi. Erilya lagi-lagi hanya menghembuskan napasnya.

“Maaf ya, Bu. Saya nggak lagi pengen beli.”

“Ambil aja. Mau yang mana?” ucap mamanya yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. “Ini mama belikan cumi-cumi kesukaan kamu.”

Erilya tahu mamanya pasti merasa bersalah kepada dirinya tadi. Wanita itu jelas mengucapkannya dengan canggung dan suara yang terdengar lebih lembut.

“Nggak mau ah, Ma. Mau pulang aja. Mama udah selesai?”

Mamanya tidak menjawab pertanyaan Erilya. Wanita itu justru mengambil sosis solo, bakpia, agar-agar, pastel, putri ayu, tahu bakso, gorengan, dan arem-arem. “Ini cukup nggak?” tanya mama kepada Eri.

Eri lalu mendongak menatap mamanya. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia juga merasa bersalah kepada mamanya. Sudah berumur dua puluh tiga tahun harusnya Erilya memahami situasi. Memang dia yang bersalah hari ini.

“Makasih, Ma.”

“Ya. Lain kali kamu yang sabar nungguin mama. Mama kan nggak enak jadinya sama ibu-ibu pedagang tadi. Masalahnya kamu udah gedhe loh yaa, Er. Tahu kan salahnya di mana?” Eri hanya mengangguk sebagai jawaban. “Kamu pelan-pelan aja nyari kerjanya. Nggak usah dipaksakan gitu. Mau gimana lagi, sekarang hidup serba susah juga.”

“Tapi banyak orang yang lebih beruntung dari Eri, Ma.”

“Er! Orang-orang itu takdir hidupnya beda-beda. Kamu nggak bisa maksa harus sekarang. Kalau emang belum waktunya gimana? Kamu mau gimana kalau kayak gitu?”

“Tapi mama juga maksa Eri terus. Eri juga udah pusing banget, Ma.”

“Hah …” Mama memegang bahu Eri. “Mama kan juga jarang bilang ke kamu. Tapi ya mama sesekali emang nanya sih. Biar kamu inget aja tujuan kamu.”

Eri menatap mamanya yang sedang menaruh plastik di cantolan motor sekaligus mengecek semua bahan yang ingin dia beli. Begitu sudah semua, Eri langsung menyetarter motornya untuk pulang. Kali ini mereka hanya terdiam karena Eri juga hanya menjawab sekenanya, sedangkan mamanya berusaha memahami perasaan Eri.

Menjadi pengangguran memang menyedihkan bukan?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
255      200     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
FLOW : The life story
123      108     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Tanpo Arang
77      66     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Monokrom
140      114     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
77      68     1     
True Story
Matahari untuk Kita
1788      716     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Manusia Air Mata
1549      908     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
3257      1129     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
GEANDRA
528      416     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Love Yourself for A2
36      33     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...