Setahun belakangan aku semakin menyibukkan diri dengan bekerja dan mencari ide-ide yang cocok untuk dikembangkan di The Hans Kafe. Orang-orang menyebutku terlalu ambisius sebagai karyawan, harusnya aku mampu membuka kafe sendiri dengan berbagai ide yang kumiliki. Namun, tidak masalah bagiku jika hanya sebagai karyawan, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk membuka sebuah kafe, sebut saja permodalan.
Lagi pula, aku merasa berhutang kepada Pak Rafli beserta keluarga yang selama ini banyak membantu. Bahkan, diterima bergabung di The Hans sudah termasuk salah satu nikmat yang besar bagiku.
Kesibukanku di kafe membuatku semakin jarang bertemu Zahra. Dia yang dulu merupakan salah satu pengunjung tetap kafe kami, sekarang harus ikut ke pesantren bersama Bang Leo—sang suami. Di sana Zahra juga membuka sekolah menjahit untuk anak-anak pesantren yang berminat belajar.
Sementara itu, Mawar, setelah berkali-kali kubujuk akhirnya mereka sepakat berdamai. Bagaimanapun rasa sakit dulu, Mawar tetaplah adik kandungku. Namun, tentang Bang Munar dan istrinya, Kak Nisa, aku kurang tahu bagaimana nasibnya sekarang. Rasanya, aku tidak berhak memberi wejangan kepadanya. Lain halnya dengan Bang Rasyid dan Kak Aisyah, keduanya sedang berbahagia karena telah dikaruniai anak kedua.
Semua sudah memiliki pasangan masing-masing, tapi aku masih betah dengan kesendirian yang entah kapan ujungnya. Bukan trauma untuk menjalin hubungan dengan seseorang, tapi aku juga menginginkan seseorang yang datang bisa menerimaku apa adanya. Aku tidak ingin pacaran, lebih tepatnya butuh seseorang untuk mau diajak berkomitmen.
Di usia yang semakin bertambah, aku semakin memiliki tekad untuk menikah setelah mengalami sakit hati yang luar biasa. Dan sekarang, aku yakin Allah sedang menyiapkan jodoh terbaik untukku.
"Dhira, yaelah malah melamun."
Aku tersentak kaget melihat Bang Rizal yang sudah berdiri di depanku. Saat ini aku sedang membantu beberapa pegawai untuk membersihkan kafe, tapi aku malah melamun saat duduk sebentar.
"Ada apa, Bang?"
Bang Rizal telah menyelesaikan pendidikannya beberapa waktu lalu, bahkan dia tampak serius menjalankan Bakery.
"Mau nggak jadi istriku?"
Pertanyaannya yang ngawur membuatku menganga. Aku bisa menangkap dari sorot matanya kalau dia tidak serius.
"Hahah, kamu lucu deh, Dhira. Mikirin apa sih sampe seterkejut itu?" tanyanya sambil mengedipkan satu matanya.
Bang Rizal masih tertawa, sedangkan aku malah melongo melihat sifatnya.
"Becandanya lucu juga ya, Bang. Makanya sampe-sampe ngakak gitu," ujarku.
Dia masih tertawa. Lalu berusaha tenang.
"Oh ya, Dhi. Kamu kenal Shafira, kan? menurutmu dia orangnya bagaimana?"
Aku kenal siapa yang dia tanya, Shafira Azizah. Seorang guru Madrasah Aliyah yang sering mampir di kafe untuk mengerjakan tugas-tugas, kadang datang untuk sekedar nongkrong. Dia memang terlihat manis, anggun dan apapun tentangnya terlihat memukau. Jadi, wajar saja jika orang seperti bang Rizal jatuh hati padanya.
"Bang Rizal serius mau mendekatinya?" tanyaku untuk memastikan.
Yang ditanya mengangguk cepat. "Sudah pernah menyapanya?"
Bang Rizal menggeleng pelan disertai senyum tipis yang membuatku ingin menarik rambutnya, tapi tidak mungkin juga karena dia bukan mahram.
"Maka dari itu, aku minta bantuan kamu, Dhi."
Ujung-ujungnya memang ada maksud dan tujuan datang ke sini.
"Minta bantuan apa?" Tanyaku kemudian.
"Aku mau minta tolong cari tahu tentang dia. Kalau perlu minta nomor teleponnya."
Aku menatap matanya yang terlihat serius.
"Aku dapat apa?"
"Bang Randi"
"Hah?"
"Kok kamu kagetan sekarang, Dhira. Astaga." Dia menggelengkan kepalanya.
"Terserah kamu mau minta apa dariku, yang penting kamu lakukan apa yang kuminta, " ujarnya tampak percaya diri.
Aku tersenyum miring karena itu hal gampang bagiku.
"Oke. Aku bersedia, bisa saja aku menemuinya sekarang. Tuh dia sudah datang."
Bang Rizal tampak gugup saat melihat siapa yang datang. Sangat kebetupan wanita bernama Shafira itu duduk di meja nomor 10. Memang di sana tampak adem, posisinya berdekatan dengan kipas.
"Tunggu dulu, yaelah buru-buru amat." Bang Rizal ingin mencegah. Namun, aku terlanjur semangat melakukan tantangannya.
"Tunggu saja di sini," ujarku kemudian.
Setelah itu aku melangkah mendekati meja nomor 10. Wanita tu sekarang tampak sibuk dengan laptopnya.
"Assalamualaikum, Kak. Apa Kakak sudah memesan?" sapaku saat berada di depannya.
"Waalaikumsalam, Kak. Oh iya. Mungkin sudah hapal pesanan saya, kan?"
Aku mengangguk, lalu menyuruh Putra menyiapkan pesanannya.
"Oh ya, Kak. Boleh ngobrol bentar, gak?" tanyaku dengan agak ragu-ragu.
Aku senang melihat responnya yang sangat baik. Ternyata, Shafira sangat ramah. Bahkan, obrolan kami mengalir lancar. Kemudian, menyempatkan menoleh kepada Bang Rizal dan memberi kode oke. Dia semakin terlihat gugup.
****
Setelah satu jam berlalu, Bang Rizal meninggalkan kafe. Tidak lama kemudian, datanglah Kak Renata dan Bu Diah. Aku tidak tahu kenapa keduanya menemuiku. Aku menurut saja ketika mereka memintaku untuk sama-sama duduk di lantai dua sambil menikmati suasana sore dari balkon. Sepertinya mereka hendak membahas hal serius yang jelas terlihat dari ekspresi dan raut wajahnya.
"Dhira." Kak Rena membuka suara.
“Iya, Kak?" Aku duduk dengan tenang, bersedia mendengar ucapan selanjutannya.
"Ini, ada yang mau kami tanyakan padamu,” lanjut Kak Rena.
Entah kenapa kini aku malah deg-degan, tidak biasanya juga mereka seperti itu.
"Ini masalah hubungan asmaramu," tanya Kak Rena lagi.
Aku menggerutu dalam hati, kenapa mereka tidak menjelaskan langsung daripada harus setengah-setengah gini? Aku kan jadi penasaran.
Sekarang giliran Ibu Diah yang bertanya, "Gini, Nak. Ibu mau nanya apakah kamu sudah berniat segera nikah?"
Aku mengangguk. Dalam hatiku, untuk saat ini niat untuk menikah memang sudah. Cuma, wujud calonnya yang belum ada.
"Apa Dek Dhira sudah punya calonnya?" Tanya Kak Rena penasaran.
"Emm belum, Kak," jawabku cepat sambil cengengesan.
"Begini, Nak. Anak saya Randi ingin menikah, tetapi dia minta agar kami yang mencarikan calonnya. Nah, pikiran kami langsung tertuju padamu,” ujar Ibu Diyah yang diangguki oleh Kak Rena.
Deg. Jantungku rasanya mau lepas dari tempatnya.
Aku benar-benar terkejut mendengar penuturan Bu Diah tadi sampai tidak bisa menjawab, hanya bengong menatap keduanya bergantian.
“Karena tadi Nak Dhira bilang belum punya calon, bagaimana kalau sama Randi aja. Kan kalian juga sudah lama saling kenal dan cukup dekat juga, kan?” kata Ibu Diyah lagi.
“Mau, ya? Dhek Dhira sama Randi?” Kak Rena mengajukan pertanyaan yang sekaligus permintaan dengan sedikit memaksa.
Pikiranku berkecamuk. Aku tidak percaya dengan tawaran perjodohan dari Bu Diyah dan Kak Rena.
Banyak pertanyaan dan keraguan berseliweran dalam benakku. Apakah Bang Randi akan setuju dengan pilihan ibunya dan Kak Rena? Bang Randi itu berpendidikan tinggi, seorang dosen, dari keluarga mapan. Semuanya serba lebih dari aku dan keluargaku. Masa iya mau menikahi gadis sederhana sepertiku. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan keluarga Bapak Rafli dan Ibu Diyah. Jangan-jangan ini mungkin hanya keinginan Bu Diah dan kak Renata
Aku memberanikan diri menjawab. Aku harus berpikir waras. Memang apa yang dikatakan oleh Ibu Diah dan Kak Rena seperti angin surga. Namun, aku harus berpikir realistis dan sesuai dengan kenyataan. Aku ini siapa? Bang Randi dan keluarganya juga siapa? Aku tidak boleh langsung senang mendengarkan permintaan perjodohan dari ibu bos sendiri. Jangan pernah aku merasa terbang ke awan karena ucapan yang membuat kegirangan.
Dengan hati-hati aku menjawab, "Sebelumnya, mohon maaf sekali Bu, Kak Rena. Bukannya saya menolak permintaan ini. Saya menyarankan agar Ibu dan Kak Rena mencarikan calon yang lain. Kalau saya kok rasa-rasanya kurang pantas untuk bersanding dengan Beliau, Bu. Saya merasa tidak cocok untuk Bang Randi. Saya mohon maaf."
Aku mengatakan hal itu dengan perasaan kurang enak. Namun, kenyataan yang kuhadapi sebaliknya. Setelah mendengar kalimatku yang penuh keraguan, Bu Diah tersenyum meyakinkan bahwa apa yang kukatakan itu tidak benar. Demikian juga dengan Kak Renata yang menggeleng pelan.
"Merasa gak cocok gimana maksudnya, Dek?" selidik Kak Rena.
"Dari segi apapun saya kalah banyak dengan Bang Randi, Kak. Saya tidak pernah kuliah, sementara Bang Randi adalah seorang dosen dan ..."
Belum sempat aku melanjutkan suara, Bu Diah terlebih dahulu memotong.
"Randi dan bahkan kami semua tidak pernah mempermasalahkan kuliah atau tidak. Malahan, kami merasa kamu adalah orang yang cocok dan tepat untuk mendampingi anak saya. Kamu gak tahu, Nak. Jika sudah seorang ibu meminta seorang gadis untuk menjadi menantu, apakah itu masih bisa dikatakan main-main?" tanya Bu Diyah sambil menatapku lekat.
Aku terdiam sambil terus meyakinkan diri melihat keseriusan mereka.
"Mau ya, Nak." Bu Diah memohon lagi.
Aku masih terdiam dan tidak bisa berkata-kata lagi. Bahkan, kini air mataku menetes dan susah untuk ditahan.
"Loh, kenapa menangis, Nak?"
Kak Rena menghampiriku dan mengusap punggung, mencoba menenangkan.
"Dhira tidak pernah menduga akan ada seorang ibu yang meminta Dhira untuk menjadi menantunya. Dhira bener-bener terharu, Bu," jawabku sambil sesenggukan.
Menanggapai ucapanku, Bu Diah tersenyum sangat manis.
"Nah, gitu dong, Sayang. Makasih banget dari Ibu dan Rena akhirnya Nak Dhira bersedia dijodohkan dengan Randi,” kata Bu Diah sambil memeluk dan mengusap kepalaku.
“Kalau Dhira sudah setuju, Ibu kira gak perlu berlama-lama lagi, ya. Bagaimana kalau nanti malam kami sekeluarga datang ke rumahmu untuk silaturahmi dan memintamu dari kedua orang tua? Setuju ya, Nak, ya?" desak Ibu Diyah.
Penuturan Ibu Diah membuatku lebih terkejut lagi. Kok, secepat itu. Hari ini aku benar-benar bertubi-tubi mendapatkan serangan kejutan dari Ibu Diah dan Kak Rena.
Rupanya, keluarga Bapak Rafli sudah merundingkan perjodohan kami secara matang jauh-jauh hari. Aku masih tidak percaya dengan kejutan yang tiba-tiba datang. Mimipi apa aku semalam? Entahlah. Yang jelas, aku tiada henti bersyukur atas berkah Allah yang luar biasa dan di luar dugaan. Allah telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Semoga demikian. Barokallah.
***
"Saya Randi Pratama Hans bermaksud melamar Nadhira Assyifa untuk menjadi istri saya. Jika Allah dan kedua orang tua kami merestui."
Ucapan Bang Randi yang memintaku dari kedua orang tua, membuatku kembali menitikkan air mata. Dengan anggukan kepalaku, bisa kulihat Semua yang ada di ruang tamu juga aku yakin merasakan hal yang begitu membahagiakan.
Zahra yang duduk di sampingku langsung memeluk erat dan membisikkan kata, “Selamat ya, Dhira. Akhirnya, Allah memberimu jodoh terbaik. Kamu sekarang percaya, kan. Kesabaran itu akan berakhir dengan indah.” aku hanya diam, tak lupa juga mengucapkan syukur yang tidak terkira.
"Eh lihat, Nak, Tante Dhira mau nikah, loh," ujar Zahra berbicara dengan adik bayi di perutnya. Kini dalam kandungan Zahra ada nyawa yang Allah percayakan kepada Bang Leo dan Zahra.
Setelah aku mengangguk sebagai tanda menerima lamaran Bang Randi, kini kedua keluarga akan membahas dan menentukan tanggal pernikahan. Alhamdulillah. Kami tidak perlu repot-repot mencari butik karena ada Kak Rena yang sudah siap siaga. Demikian halnya dengan katering, ada kafe The Hans yang ternyata sudah merencanakan menu hidangan yang harus dimasak. Bahkan, keluarga juga sudah menentukan chef pilihan.
Mengingat berbagai kesibukan persiapan menjelang pernikahan, aku belum punya waktu untuk berbicara berdua dengan Bang Randi. Pernah ada waktu agar kami berbicara berdua, tetapi dia belum menjawab pertanyaanku. Apalagi, Kak Rena pernah bilang kalau dia yang meminta agar Bu Diyah yang menyampaikan lamarannya padaku.
"Kenapa Bang Randi memilih saya?" tanyaku kala itu.
"Mungkin kamu jodoh saya," jawabnya singkat.
Kalau mengobrol kami memang seformal itu.
"Saya sangat banyak kekurangan, Bang," kataku selalu merendah.
"Kalau saya mencari yang sempurna sampai kapanpun tidak akan kutemukan. Lagian, tidak ada yang sempurna, Nona Nadhira Assyifa," ujarnya sedikit menggoda meski dengan kalimat yang masih kaku seperti biasanya.
Hatiku berdesir kala dia menyebut namaku.
Hampir tiga tahun di kafe The Hans bekerja bersama bang Randi, aku memang belum begitu mengenal bosku sendiri yang sangat terbatas bicaranya, sekalinya ngobrol terkesan kaku dan formal. Aku sempat mengira kalau Bang Randi tidak tahu namaku.
Jika memang dia jodoh yang Allah titipkan, aku memohon kepada Allah, semoga menjadi jodoh dunia dan akhirat. Aku sangat yakin bahwa Allah Maha Baik untuk hamba-Nya yang ikhlas, selalu berusaha berbuat dan menebar kebaikan kepada sesamanya.
***
"Kenapa memilih saya, Bang?"
Untuk kesekian kalinya aku menanyakan pertanyaan itu kepada orang yang sama. Kali ini kami berdua menikmati suasana sore dari balkon The Hans Kafe. Suasana kafe tidak terlalu sibuk sehingga ada senggang waktu mengobrol santai.
Bang Randi menatapku dengan intens dan hal ini menjadikanku salah tingkah. Namun, aku tidak bisa berkata apa-apa karena kutemukan jawabannya dari sorot mata.
"Sayang, Abang kan udah bilang. Tidak butuh alasan apapun jika menyangkut tentangmu. Sekarang kamu adalah istriku, selalu ada di sisiku. Itu sudah lebih dari cukup bagiku."
Aku terenyuh mendengar kalimatnya yang penuh majas dan begitu serius. Tanganku dia genggam dengan erat seolah mengatakan tidak ingin melepaskan tanggung jawab yang pernah diucapkan saat memintaku dari Ayah, yaitu untuk membimbing, dan menjadikanku alasannya agar tetap terus bersyukur. Kemudian, tentu saja untuk seterusnya, aku tidak akan menanyakan lagi apa alasan Bang Randi memilihku sebagai istrinya.
"Tahu gak, Dik. Kapan Abang kenal padamu?"
Aku menggeleng sambil mengingat-ingat. Sayangnya perempuan sepertiku mudah lupa.
"Saat kamu sama Zahra liburan ke pantai. Kalau gak salah kalian masih memakai seragam putih abu-abu. Pada saat itu organisasi Abang sedang rihlah di pantai. Tanpa sengaja Abang melihat saat menolong anak kecil yang hampir tenggelam, entah kenapa Abang suka melihat kegigihanmu saat menyelamatkan anak itu."
Penjelasan Bang Randi mengajakku bernostalgia ke masa perpisahan sekolah. Saat itu aku memang menghabiskan waktu bersama Zahra di pantai. Dan tiba-tiba saja seorang anak perempuan yang berenang hampir tenggelam, aku juga yang berenang refleks berusaha menolong anak itu, Alhamdulillah berhasil diselamatkan. Saat itu memang heboh sekali karena dia anaknya seorang pejabat daerah. Tidak kusangka Bang Randi juga ada di sana saat itu.
" Kemudian, saat wisuda Rena, tidak sengaja aku juga melihatmu di kampus yang sama dengan Rena. Aku melihatmu terjatuh karena disenggol adikmu sendiri. Ingin mengulurkan tangan, tapi tidak mungkin karena bukan mahram sehingga Rena yang membantumu berdiri. Mungkin itu pertemuan kedua."
Tidak kusangka lagi, pria yang sempat mengulurkan tangan itu adalah Bang Randi. Ingatanku diajak paksa menelusuri jejak masa lalu yang menjadi saat tersulit bagiku, terutama saat mengingat ucapan Mawar saat itu, rasanya aku tidak ingin mengingat lagi.
"Ternyata pria itu Bang Randi," ucapku lirih yang ditanggapinya dengan tersenyum. Senyuman yang dulu tidak pernah dia perlihatkan kepada siapapun. Sejak menikah dia menjadi murah senyum, bahkan ke semua karyawan The Hans Kafe disapa dengan ramah.
"Mungkin pertemuan kita berikutnya yaitu saat pembukaan kafe. Kebetulan saat itu aku baru balik dari Jakarta. Pernah tinggal di sana selama 3 tahun untuk menyelesaikan S2. Bahkan, tidak pernah menyangka kalau gadis yang membuatku penasaran ada di The Hans.
Aku tersenyum menatap Bang Randi dan dia balik menatapku dengan tatapan cinta.
"Begitulah takdir, Dek. Allah Maha Baik yang menjodohkan kita."
"Terima kasih telah menerima Dhira apa adanya, Bang," ucapku dengan penuh haru.
"Terima kasih juga telah hadir dalam hidup Abang," ucapnya sambil meraihku ke pelukan dan mengecup pucuk kepalaku dengan khidmat.(*)