Aku sempat menawarkan diri membantu Bang Leo untuk mencari kerja, tapi dia lebih tertarik mencari ilmu di pesantren. Tentu saja aku makin terharu, Bang Leo berniat memperdalam ilmu agama karena katanya selama ini sudah terlalu jauh dari agama.a Aku benar-benar yakin abangku ingin berubah ke arah yang lebih baik. Akhirnya, dia menemukan pesantren yang menerimanya, aku berencana akan berkunjung jika ada waktu senggang.
Saat ini aku sedang mengecek persediaan di dapur karena besok ada yang ingin merayakan ulang tahun di kafe. Menu yang harus disajikan adalah ikan gurame sebanyak seratus porsi beserta snack dan minumannya.
"Kak Dhira."
Aku menatap Tiara, kasir baru.
"Ada apa, Tiara?" tanyaku penasaran apalagi dia juga tampak panik.
"Itu, Kak, ada pelanggan yang berulah." ucapannya terlalu ambigu membuatku tidak mengerti.
"Maksudnya?"
"Mereka gak mau bayar, Kak. Bahkan, mereka bilang Kak Dhira yang bayarnya."
Aku mengerti siapa yang mereka maksud. Tadi aku juga sempat melihat mereka memasuki kafe. Siapa lagi kalau bukan Kak Nisa dan Mawar.
"Sebentar, saya akan ke sana," ucapku menenangkan Tiara.
Aku mengikuti Tiara menuju tempat kasir. Kulihat di sana ada Kak Nisa serta Putra yang menahan agar mereka tidak kabur sebelum bayar.
"Ada apa?" tanyaku membuat mereka menoleh. Sudah hampir tiga bulan aku tidak berurusan dengan mereka, sekarang apa yang mereka rencanakan.
"Nah, dia ini yang bayarin pesanan kami," ucap Kak Nisa singkat. Mungkin Tiara dan Putra bingung. Aku malah menatap sinis pada mereka.
"Peraturan di kafe ini siapapun yang memesan harus bayar, Kak," ujarku penuh penekanan.
Kak Nisa terlihat dongkol sambil menatapku tajam, sementara Mawar entah kenapa sejak tadi dia hanya diam saja.
"Apakah kalian tidak punya uang? Atau memang sengaja ke sini biar bisa bertemu denganku?" tanyaku dengan kesal.
Sekarang aku pikir harus jelas-jelas bicara kepada mereka. Tidak perlu bermanis-manis lagi, kalau semakin dikasih enak, mereka semakin menginjak.
"Kamu kan traktir kami," balas Kak Nisa lagi.
Aku makin tertawa melihat mereka.
"Tidak ada sistem traktir di sini bagi siapa saja yang tidak tahu terima kasih. Kalau memang tidak mau bayar silakan pulang, dan tinggal motor kalian," ancamku tak tanggung-tanggung.
"Kita bayar saja, Kak. Malu dilihat orang banyak," bisik Mawar, dan aku masih bisa mendengarnya.
Terpaksa kak Nisa mengeluarkan dua lembar uang seratusan dari dalam tasnya, menyerahkan ke tangan Tiara. Setelah itu mereka pergi begitu saja.
Bahkan Mawar tidak mengatakan apa-apa tentang pernikahannya, sakit sekali diperlakukan seperti ini. Namun, aku sudah berjanji untuk selalu tegar dan kuat.
"Mereka siapa, Kak?" tanya Tiara ingin tahu. Sepertinya Putra juga penasaran.
"Bukan siapa-siapa, yok! Kembali bekerja."
Kemudian, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah agar tidak terlalu kusam.
****
Hari ini Pak Rafli datang ke kafe. Semua siap siaga barangkali Pak Rafli memeriksa satu persatu pekerjaan para karyawan. Dulu Bang Randi sudah mengatakan bisa menangani, tapi Pak Rafli yang kelewat khawatir membuatnya sering ke kafe mengingat Bang Randi sibuk sebagai dosen, beliau takut para karyawan tidak terurus.
Seperti kali ini Pak Rafli langsung ke arahku membuatku sangat was-was, ada apa gerangan yang membuat beliau terlihat seserius itu?
"Ada apa, Pak?"
"Bapak ingin mengobrol sebentar."
Aku mengangguk, mempersilahkan agar beliau duduk di kursi dekat kami.
"Kenapa datang ke sini, Pa?" tanya Bang Randi yang muncul tiba-tiba.
"Kamu juga duduk dulu, ada yang mau Papa bahas," pinta Pak Rafli kepada putranya.
Bang Randi ikutan duduk. Kemudian, Pak Rafli mulai membuka pembicaraan.
"Begini, kemarin Adnan beserta calon istrinya menemui Bapak. Mereka ingin menu di pernikahan mereka dari The Hans. Kue dan gaun pengantin juga dari The Hans. Jadi, besok mungkin hari yang paling sibuk bagi kalian. Apalagi katering yang harus kita sediakan dalam porsi besar," ujar Pak Rafli melaporkan.
"Untuk kue, sudah dikoordinasikan dengan Rizal, Kalau soal gaun mereka akan melihat sendiri ke butik Rena," lanjut Pak Rafli.
Penjelasan panjang lebar dari Pak Rafli masih berusaha kucerna. Kenapa harus dari The Hans? Tanyaku dalam hati. Namun, bukankah itu ideku? Harusnya aku senang karena mendapat pesanan dalam partai besar, tapi kali ini aku tidak semangat. Apakah mereka sengaja menetapkan hari pernikahan tanggal 20, tepat hari ulang tahunku?.
"Bahkan, calon istrinya itu ngotot agar karyawan bernama Dhira yang mengantarkan catering ke rumah mempelai wanita. Namun, saya sudah mengatakan bahwa kami akan memakai jasa antar, karena tidak mungkin juga kalian yang ke sana," tutur Pak Rafli.
"Wanita itu adikku, Pak, " ujarku tanpa sadar. Membuat Pak Rafli dan bang Randi terkejut.
"Adik? Adik kandung?"
Aku mengangguk.
"Bapak heran mengapa dia memaksa Nak Dhira untuk mengantarnya sendiri. Saya tidakbertanya banyak hal lagi" ujar pak Rafli, aku mengangguk paham. Karena memang kabar angin kedekatanku dengan bang Adnan bisa saja sampai di telinga beliau.
Kami sama-sama terdiam. Aku kemudian pamit karena perasanku semakin tidak karuan. Selain itu, aku harus menghitung segala keperluan untuk menyiapkan bahan-bahan. Tempat yang kupilih adalah ruangan kasir.
"Kamu gak apa-apa?"
Aku terkejut mendengar suara yang tiba-tiba muncul. Ternyata Bang Randi.
"Aku baik-baik saja. Kenapa Bang?"
"Dia pria yang hendak menikah denganmu, kan?"
Aku menghentikan aktivitas menulis, lalu menatap Bang Randi datar. Aku heran dari mana dia tahu tentang itu. Padahal, Bang Randi tipe orang yang tidak peduli akan sekitar.
"Aku baik-baik saja kok, Bang. Hiks, hiks, hiks," jawabku dalam isakan.
Eh, kenapa aku jadi menangis sekarang? Nyatanya mulut dan hatiku bertolak-belakang. Aku sedang tidak baik-baik saja. Sekarang berusaha menahan isak tangis di depan pria kaku. Aku masih cengeng dan belum sepenuhnya bisa ikhlas. Jika ada yang mengungkit, aku justru teringat semua yang Mawar lakukan, juga sakit hati karena ucapan Emak.
Aku menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Ya Allah sakit sekali jika kembali mengingat itu.
"Maaf aku tidak bermaksud membuatmu sedih," ujarnya merasa bersalah.
Mungkin dia makin bingung melihatku. Sekarang aku malah malu belum bisa meredakan tangisan di depan Bang Randi.
"Semua sudah dibungkus, Kan?"
Aku kembali mengecek katering sebelum dibawa ke rumah. Ahh... hari ini Mawar dan Bang Adnan akan menikah, malah aku yang paling sibuk mengurus keperluan dapur di pernikahannya. Jujur sampai sekarang, Ayah, Emak, dan semua yang ada di rumah belum ada satupun yang menanyakan kabarku. Aku tidak ambil pusing soal itu. Mengingat semua kejadian yang telah berlalu hanya akan menambah sakit hati.
"Sudah, Kak, " jawab Putra.
"Ikan guramenya juga sudah?" tanyaku kembali untuk memastikan.
"Sudah, Kak. Kami barusan mengangkat ke mobil," jawab Rivai. Aku menghembuskan napas lega, tepat pukul sepuluh, selesai juga semua pesanan catering mereka. Aku meregangkan otot-otot yang begitu pegal. Tidak ketinggalan juga ikut memasak ikan gurame.
Aku memilih duduk di kursi nomor 13 yang berdekatan dengan kamar pribadi Bang Randi. Mengunyah sisa kentang goreng yang kami masak. Aku memperhatikan semua orang juga melakukan hal yang sama, duduk sambil meneguk jus.
Tidak lama kemudian Zahra muncul. Aku yakin pasti dia tahu kalau sekarang kafe sedang tutup. Entah kenapa dia menerobos begitu saja sambil menenteng banyak kresek, sampai ada seorang yang tidak kukenal mengikutinya.
"Dhi, kamu harus bersiap-siap," ucapnya terdengar ambigu. Dia tidak menjelaskan apa maksudnya. Bersiap-siap, apa yang dia maksud?
"Kamu harus datang ke pernikahan Mawar," ujarnya tegas.
Sontak aku membelalakkan mata, melotot tajam ke arahnya.
"Loh, kemarin kamu bilang agar aku tidak usah datang. Sekarang malah nyuruh ke sana. Gimana sih," protesku. Dia malah balik menatapku.
"Sekarang aku berubah pikiran. Kamu sebagai kakak harus di sana. Sesakit apapun yang mereka buat, tapi kamu gak boleh dendam," ucapnya lagi dengan tegas.
Aku terdiam mendengar ucapannya. Sebenarnya, aku tidak dendam. Namun, masih ada rasa sakit hati yang sukar diredam dan aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati kembali. Apakah aku egois?
"Udah, ayok bersiap-siap. Aku sudah menyiapkan semuanya," lanjut Zahra yang lalu menyeretku dengan paksaan.
Dia sedikit kesusahan karena harus memegang tongkat di tangan kirinya sambil menarik tanganku.
Aku pasrah dengan sedikit kebingungan. Kenapa dia membawaku menuju kamar pribadi Bang Randi. Tampak Bang Randi sedang mengetik di komputernya.
"Bang, boleh izin make kamarnya bentar, gak?" tanya Zahra. Sontak aku melotot kepada Zahra.
Sungguh ide gila. Apalagi ini berurusan dengan Bang Randi. Padahal, dulu dia bilang sangat anti bicara dengan Bang Randi. Namun, sekarang dia terlihat memohon.
Tanpa bersuara, Bang Randi keluar dari kamarnya. Tentu saja aku heran. Tidak memperpanjang waktu, seorang yang tidak kukenal tadi menyodorkan sebuah paper bag kepadaku.
"Sekarang kamu pakai ini," ujarnya sambil menyerahkan paper bag Itu kepadaku.
Belum sempat melihat isinya, dia malah mendorongku menuju kamar mandi. Aku juga penasaran apa isi di dalamnya?
Aku membuka paper bag, terdapat sebuah kebaya gamis berwarna cream. Sangat manis. Buru-buru kupakai dan langsung keluar.
"Alhamdulillah, gamisnya pas. Sekarang kamu duduk di sini biar Kak Lita yang merias wajahmu," ujar Zahra sambil menarik tanganku.
Ternyata, orang yang berjalan di belakang Zahra adalah MUA yang sudah disiapkan.
Sedikit-banyaknya aku tahu tentang alat-alat make-up karena pernah ikut pelatihan tata rias. Namun pengaplikasiannya itu yang belum kulakukan. Untuk pertama kalinya wajahku dirias seorang MUA hingga hampir satu jam.
Setelah beres wajahku di-makeup, barulah aku dibolehkan membuka mata setelah jilbab terpasang. Perlahan aku membuka mata, lalu menatap cermin. Aku tidak menyangka bahwa yang kulihat di cermin itu adalah diriku. Kak Lita memanggil Zahra. Entah kemana dia pergi sejak Kak Lita mulai merias wajahku.
"Masya Allah, Dhira. Kamu cantik sekali." Zahra berucap kagum sambil berjalan mendekatiku. Setelahnya, menyodorkan sebuah highheels. Jujur aku tidak bisa memakai ini.
"Bagaimana? tidak menor dan tidak juga kampungan, kamu terlihat sangat elegan," ucap Kak Lita.
"Pasti nanti orang-orang akan pangling menatap kamu, Dek. Begini kalau jarang make up, sekali tidak make up, tidak mudah dikenali," ujar Kak Lita lagi.
"Kalau gitu, ayok kita berangkat!" Ujar Zahra sambil mengandeng tanganku keluar dari kamar Bang Randi.
"Guyss bagaimana penampilannya?"
Teriakan Zahra menggema di lantai satu, sehingga mereka yang tadinya sibuk dengan aktivitas masing-masing spontan menatapku. Bahkan, Bang Randi juga ada di sana.
"Masya Allah, Kak Dhira cantik sekali," ujar salah seorang karyawan.
"Itu beneran kak Dhira?" ucap karyawan yang lain.
"Gak nyangka banget, ya, sangat elegan dan menawan."
Berbagai pujian mereka membuatku malah kurang percaya diri.
"Bang Randi, gimana penampilan Dhira?" tanya Zahra meminta pendapat bos kami.
Yang tadinya berisik sekarang mendadak diam, mata menatap Bang Randi, seolah menunggu jawaban pria kaku itu. Aku juga menoleh kepadanya yang ternyata dia juga menatapku, tetapi kemudian buang muka. Dia tidak menjawab apa-apa, lalu berlalu begitu saja. Aneh sekali.
"Dia cuma malu mengakui kamu cantik, " ujar Zahra percaya diri.
"Kami berangkat dulu, ya, guyss!" teriak Zahra.
Kemudian, kami berlalu menuju parkiran. Hampir semua orang di kafe mengenal Zahra. Bahkan, mereka juga terlihat sangat akrab. Aku seperti kerbau dicucuk hidung, mengikuti perintah Zahra yang masuk ke mobil tanpa banyak bicara.
Entah apa yang sedang direncanakan, aku mengikuti saja. Lagi pula, mustahil aku tidak hadir di pernikahan adikku sendiri walau luka itu sangat sakit untuk diingat.
Saat memasuki gang menuju rumah kami, sudah banyak papan bunga seolah menyambut setiap tamu undangan. Banyak orang yang lalu lalang. Zahra menghentikan mobilnya di bawah pohon jambu milik tetangga.
"Kadonya ambil di bagasi, ya!" perintahnya.
"Kado?"
"Iya, kado untuk pernikahan adikmu. Gimana sih," ucapnya tegas.
Aku saja lupa mempersiapkan kado. Namun, aku merasa bersyukur tidak datang dengan tangan kosong. Zahra inisiatif mempersiapkan semuanya.
"Kamu bisa sendiri, kan?"
"Enak saja kalau ngomong, kamu juga harus ikut, dong," omelku. Dia pun tertawa. Zahra tahu betul, nantinya aku tidak akan bisa berdiri di sana.
Kali ini Zahra memakai kaki palsunya agar tidak terlalu repot menggunakan tongkat. Aku sampai tidak sadar kalau dia sudah memakai riasan sejak tadi. Perlahan menggandeng lenganku saat memasuki halaman rumah.Dekorasi pernikahan mereka terlihat sangat megah, ini merupakan impian Mawar
Orang-orang menatap ke arahku. Mungkin mereka heran karena aku menjadi tamu undangan di pernikahan adikku sendiri. Seharusnya aku ikut di rumah. Lama-lama aku tidak nyaman karena begitu banyak pasang mata yang menatap. Zahra berbisik agar aku tetap percaya diri.
"Mereka sedang memuji kecantikan," bisik Zahra menenangkan.
"Dhira? Kamu beneran Dhira?"
Aku spontan berhenti saat tepat di depanku ada Bang Rizal. Entah kenapa dia bisa ada di sini.
"Ya, aku Dhira, Bang," jawabku singkat.
"Masya Allah," ucapnya sambil menutup mulut sebagai tanda tidak percaya.
"Maaf, Bang. Permisi. Minggir dulu, Bang, kami mau ngasih kado ke pengantin," ujar Zahra, lalu akhirnya Bang Rizal pun minggir dari depanku.
"Bang Adnan dan Mawar menatapmu," bisik Zahra.
Aku memang tidak memperhatikan mereka sampai tidak tahu. Kemudian aku menatap Bang Adnan dan Mawar bergantian. Aku menyodorkan sebuah kado yang berukuran besar. Entah apa isinya. Aku percaya pada Zahra. Semoga isinya bukan hal yang aneh-aneh.
"Selamat atas pernikahanmu, ya, Bang Adnan dan Mawar adikku. Semoga berbahagia selalu," ucapku berusaha tegar.
"I-ni, ini Kak Dhira?"
Pertanyaan Mawar seolah kalimat yang menjengkelkan di telingaku.
Aku memasang senyum semanis mungkin untuk menutupi luka yang begitu banyak.
"Semoga berbahagia selamanya," ujarku sekali lagi sambil menahan luka di hati yang belum sembuh benar.
"Terima kasih telah datang, Dek," ujar bang Adnan.
Dia sampai tidak berkedip sama sekali memandangku. Saat itu, aku tidak melihat Ayah dan Emak. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Orang tua Bang Adnan juga ada.
"Ini Dhira? Cantik sekali," pujinya.
Jika dulu dia yang pernah menghina penampilanku entah kenapa mendengar pujiannya ada rasa aneh. Entah berapa orang yang memujiku. Ada rasa tidak enak terutama mereka yang pernah menghinaku terang-terangan.
Kini aku sibuk dengan keluarga, sementara Zahra, aku tidak melihatnya lagi. Aku berharap dia tidak meninggalkanku di tengah keramaian.
Sekarang waktunya foto keluarga. Sebenarnya, aku ingin menghindar, tapi Emak sudah menarik tanganku. Aku tidak sejahat itu untuk menolak ajakan Emak, walaupun ucapan beliau masih terngiang sampai sekarang. Kebetulan, gamis yang kupakai memang warnanya tidak jauh beda dengan yang mereka kenakan sehingga aku tidak terlihat asing di tengah keluarga ini.
"Kamu pulang ke rumah lagi, ya, Nak. Emak gak ada teman di rumah karena Mawar akan diboyong suaminya," pinta Emak dengan suara yang sangat manis.
Ucapan emak membuatku kembali menahan perih. Berarti karena Mawar pergi emak ingin aku kembali ke rumah. Seandainya Mawar tetap di rumah pasti emak tidak akan peduli padaku.
Setelah selesai sesi foto, aku memasuki kamar. Saat ini aku sedang duduk, Kamar itu memang tidak ditempati selama aku tidak di rumah.
"Aku sibuk kerja, Mak," ujarku berharap Beliau tidak tersinggung dengan jawabanku.
"Lagian Emak gak sanggup bekerja lagi. Mawar juga gak kerja, Nak. Emak gak tahu dapat uang dari mana, " ucap Emak jujur.
Sekarang aku mengerti arah pembicaraan emak. "Kalau soal uang Emak gak perlu khawatir, nanti aku kirim," jawabku lugas.
Setelah itu, Emak keluar dari kamarku karena banyak tamu yang mencarinya. Kini Mawar bergantian memasuki kamarku.
"Kamu sengaja dandan seperti itu, biar semua orang melihatmu? Mungkin kamu juga sengaja agar Bang Adnan menatapmu," ujarnya penuh penekanan dengan amarah yang hampir meletup-letup.
Aku sudah malas meladeni. Sejak dulu aku sudah terlalu bersabar hingga tanpa sadar dia semakin menginjak dengan kasar.
"Terserah mau bilang apa. Aku udah gak peduli dengan ucapanmu," jawabku datar.
Saat aku hendak berpaling menuju kamar mandi untuk berwudhu dan Salat Ashar, tiba–tiba Mawar mencekal tanganku.
"Tunggu! Aku belum selesai bicara!"
Suaranya meninggi. Aku heran apakah dia tidak takut para tamunya akan mendengar suaranya. Aku menatapnya kembali dan berusaha bersikap normal.
"Jangan cari masalah denganku, aku bukan seperti yang dulu yang bisa kau injak-injak" bisikku tepat di telinganya.
Jarak sedekat ini aku bisa melihat kalau dandanan terlalu menor menurutku atau karena dia biasa dandan, makanya tidak ada hal menarik yang bisa dilihat.
Zahra terdiam dan aku tidak meladeninya lagi. Tiba-tiba Bang Munar dan Bang Adnan masuk ke kamar. Mungkin mereka mendengar saat suara Mawar yang tinggi tadi.
Bang Munar menatapku tajam.
"Apa yang kamu lakukan pada Mawar? Jangan berani macam-macam!" ancam bang Munar. Aku sudah tahu kalau Bang Munar akan terus memojokkanku. Sekarang Bang Munar menarik paksa tanganku.
"Sejak dulu kamu selalu bertingkah untuk nyari perhatian. Orang yang kurang perhatian memang seperti itu. Selama kamu tidak di sini kami aman-aman aja. Entah kenapa malah sekarang makin runyam sejak kamu di rumah!"
Ucapan Bang Munar membuat hatiku kembali sakit. Aku berusaha keras menahan agar tidak menangis. Bang Adnan diam saja sejak tadi. Bisa kulihat Mawar tampak tersenyum bahagia karena Bang Munar selalu berhasil membuatku jatuh sejauh-jauhnya.
Daripada semakin sakit hati berada di rumah ini, lebih baik segera pergi. Aku memang tidak seharusnya berada di sini. Kemudian, aku menyambar tas, lalu keluar kamar. Mungkin aku harus salat Ashar di tempat lain.