Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ikhlas Berbuah Cinta
MENU
About Us  

Saat ini aku sedang di mobil menuju toko kue di pusat. Pak Rafli mengumumkan bahwa penanggung jawab toko harus ikut rapat. Aku meminta tolong kepada Dion untuk mengantarkanku ke sana. Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal penting yang akan harus dibahas. Aku sangat was-was, apakah akan mendapatkan teguran karena belakangan ini sering libur? Atau ada komplain dari pelanggan? Mungkin Dion menyadari keresahanku dan dia membuka obrolan.

"Jangan tegang kali lah, Kak. Kerja Kak Dhira bagus, kok selama ini." Ucapan Dion membuatku sedikit tenang.

"Mungkin ada rapat karena mau buka cabang lagi," tebak Dion begitu yakin.

"Kita doakan saja semoga ada info yang baik."

Hanya dua puluh menit perjalanan, mobil sudah sampai di pusat The Hans. Bukan cuma pusat Toko Bakery. Bahkan, ada sebuah kantor tepat di sampingnya. Kantor itu juga biasanya digunakan untuk interview karyawan baru, rapat, dan membahas banyak hal. Termasuk karyawan The Hans Swalayan, jika ingin rapat tentu di kantor itu. Lumayan luas bangunannya, bahkan bisa menampung semua karyawan The Hans di sana. 

Di teras kantor pimpinan, aku melihat ada sekitar sepuluh orang, yaitu lima dari penanggung jawab bakery, tiga orang penanggung jawab swalayan dan dua orang penanggung jawab butik. Aku menghampiri mereka dan ikut bergabung. Sudah berusaha menyapa dengan senyuman, tapi tidak ada yang merespon. 

Buatku tidak masalah karena sejak dahulu memang selalu seperti itu. Kebanyakan dari mereka berlagak lebih bisa dan merasa jabatannya paling tinggi. Pernah juga mereka meremehkanku. Kenapa bisa jadi penanggung jawab di toko cabang? padahal banyak yang lebih cantik dan profesional. Dari situ aku menilai bahwa mereka berpatokan pada keindahan fisik.

Saat ada aba-aba untuk memasuki kantor, kami langsung masuk. Ternyata, di sana sudah ada pak Rafli beserta Bu Diah--istrinya, Bang Randi, Kak Renata, dan seorang lagi mungkin anak ketiganya Pak Rafli yang tidak kutahu namanya karena memang jarang kelihatan. Selanjutnya kami yang sebelas orang duduk di kursi yang telah disediakan. 

Seperti biasa ketika akan rapat satu persatu dari kami akan menjelaskan proses kegiatan toko, baik mengenai perkembangan, saran-saran, dan beberapa masukan. Saat tiba giliran, aku mencoba menyampaikan beberapa ide yang terpendam selama ini.

"Dari saya pribadi menyarankan, agar kita memberikan kupon pada setiap pembeli yang melebihi jumlah tertentu (akan didiskusikan lagi) tujuannya supaya mereka tetap betah berlangganan. Nanti pada saat memperingati ulang tahun The Hans, kita bisa menyediakan paket jika mereka berhasil mengumpulkan kupon. Selain itu, saya juga memberikan saran kalau setiap sebulan sekali kita berkunjung ke panti asuhan untuk membantu mereka dan menyambung silaturahmi agar tetap terjaga. Kita bisa berbagi sambil menabung untuk dunia dan akhirat. Demikian sedikit usulan saya, Pak. Terima kasih." Aku kembali duduk sambil menghela napas.

"Bukankah itu terlalu berlebihan, ya?" ujar Kak Prita seperti kurang suka. Dia dikenal yang paling julid.

"Nah, idenya bagus tuh. Aku setuju," ujar putra bungsu Pak Rafli. Kalau tidak salah namanya Bang Rizal. Aku mengetahuinya saat dia memperkenalkan diri tadi.

"Bapak juga merasa itu ide bagus. Nanti kita jadwalkan ke panti asuhan mana dan kapan waktunya yang tepat," sambut Pak Rafli antusias. 

Aku tersenyum manis dengan respon Beliau dan putranya. Lain halnya dengan Kak Prita yang langsung terdiam.

"Rena juga merasa itu ide bagus, Pak. Kita juga perlu berbagi buat mereka yang membutuhkan," tambah kak Rena.

Aku makin tersenyum ketika mereka menyukai ideku.

"Bagaimana menurutmu, Randi?" tanya pak Rafli kepada putra pertamanya yang terlihat tidak tertarik pada pembahasan ini.

"Bagaimana baiknya aja, Pa," ujarnya datar. 

Dari situ aku menyimpulkan bahwa mereka bertiga sangat berbeda dari sifatnya. Kak Rena dan Bang Rizal terlihat ramah dan terbuka. Sementara Bang Randi tipe orang yang cuek dan dingin.

Tidak ingin memperpanjang pembahasan, Pak Rafli langsung membuka rapat dan kami semua menyimak apa yang Beliau sampaikan.

"Insya Allah dalam waktu dekat The Hans akan membuka kafe, dan untuk persiapan kafe-nya, sedikit lagi akan rampung. Oleh karena itu, saya akan memilih salah satu dari kalian yang sebelas orang ini untuk membantu mengelola kafe tersebut." Ucapan Pak Rafli membuat semua peserta rapat berbisik heboh. Sejak dulu banyak karyawan yang menyayangkan kenapa belum membuka kafe, kata mereka bekerja di kafe lebih seru. Aku tidak mempermasalahkan di mana saja bekerja yang penting tidak jauh dari masak-masak. 

"Jadi, Bapak sudah mantap untuk memilih Nak Dhira yang menjadi penanggung jawab kafe yang akan dibuka bulan depan."

Aku terkejut, tidak menyangka mendapat amanah untuk posisi itu. Padahal baru saja diberikan kepercayaan menanggungjawab cabang bakery, kini diberikan kepercayaan penanggungjawab kafe.

Sempat kudengar bisik-bisik yang melontarkan ketidaksukaan. Aku masih belum bersuara.

"Berarti Rizal yang mengelola kafe ya, Pa," pinta Bang Rizal kepada pak Rafli.

"Diam dan dengarkan dulu!" sahut Pak Rafli.

"Rizal ingin bekerja dengan Dhira, karena sangat yakin pasti idenya brilian." 

Ucapan Bang Rizal membuatku tersipu. Bagaimana tidak, apalagi dipuji oleh seorang pria seperti Bang Rizal. Bahkan, karyawan yang lain pun banyak yang diam-diam mengagumi putra bungsu bos itu. Kami berpendapat bahwa Bang Rizal itu sangat manis apalagi saat memasang senyum. Pak Rafli menatap tajam kearah bang Rizal, membuatnya diam.

"Papa bilang diam, Rizal." Suara pak Rafli yang terdengar tegas membuat Rizal terdiam juga.

"Randi, Papa minta kamu yang mengelola kafe"

Mendengar itu, Bang Rizal terlihat kesal. Dia menatap sang papanya yang dirasa tidak adil.

"Pa, bisa gak sih, Rizal aja yang mengelola kafenya!" protesnya. 

Namun, keputusan Pak Rafli tidak bisa diganggu gugat lagi karena beliau punya hak veto. 

"Kelarin kuliah atau mengelola Bakery?" tanya Pak Rafli kepada putra bungsunya. 

Ancaman Pak Rafli itu membuatnya terdiam. Rupanya, Bang Rizal belum menyelesaikan kuliahnya. 

"Jadi, yang mengelola kafe adalah Randi. Kamu bisa bekerja sama dengan Nak Dhira." 

Ucapan Pak Rafli tidak membuat Bang Randi bergeming. Dia tidak protes ataupun membantah seperti yang dilakukan oleh Rizal. 

"Bapak harap kerja samanya terutama untuk pengelola dan penanggung jawab kafe, karena akan mulai buka bulan depan. Bapak ingin Nak Dhira merancang dan menyusun rencananya, termasuk bagaimana mencari karyawan hingga proses seleksi nanti," kata Pak Rafli panjang lebar. 

Rapat pun berakhir dan aku bisa bernapas lega. Saat hendak keluar ruangan rapat, aku mendengar seorang memanggilku. Dia adalah Kak Rena.

"Bisa bicara sebentar, Dek?" tanya wanita itu. 

"Boleh, Kak," jawabku singkat.

Sepertinya ada hal penting yang hendak beliau sampaikan.

Kami duduk di kursi teras kantor, sementara aku masih bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang akan Kak Rena sampaikan.

"Kakak cuma mau bilang mohon dimaklumi sifat Bang Randi, ya. Dia memang seperti itu. Harus banyak sabar menghadapinya. Apalagi harus mengelola kafe nanti. Sebenarnya aku gak yakin dia bisa diajak kerja sama," ujar Kak Rena tampak putus asa. Aku tersenyum menanggapinya.

"Insya Allah, Dhira akan berusaha maklum, Kak, dan akan melakukan berbagai cara agar Bang Randi bisa diajak kerja sama," jawabku tetap optimis. 

"Selain untuk mengelola kafe, dia juga seorang dosen. Jadi, mungkin nantinya akan sibuk banget. Dhira bisa meng-handle kafe, kan? Nanti dia tetap akan mengurusnya." Demikian penjelasan Kak Rena tentang Bang Randi. 

"Insya Allah Dhira akan berusaha semaksimal mungkin, Kak," ucapku menunjukkan kesanggupan. 

"Terima kasih ya, Dek. Kakak percaya sama kamu," imbuh Kak Renata. 

"Oh, ya. Saya pamit dulu. Itu suami kakak sudah datang menjemput," tunjuk Kak Rena ketika melihat seseorang di parkiran. Aku baru melihat suaminya, mungkin karena Beliau sibuk, makanya baru bisa mampir.

****

Hampir sebulan sejak aku pergi dari rumah, bahkan sampai sekarang, tidak ada seorang pun dari mereka yang menanyakan kabar dan keberadaanku, kecuali Bang Rasyid dan Kak Aisyah. Bang Rasyid dan kakak ipar sering mengirimkan chat atau menelpon meski hanya untuk menanyakan kabar.

Mengingat itu sempat membuatku tambah sedih dan selalu menitikkan air mata. Mungkin dalam waktu dekat Mawar dan Bang Adnan akan menikah. Aku sudah berusaha ikhlas dan menerima apa yang terjadi, meskipun kadang masih sering galau. Apalagi kalau ingat ucapan Bang Munar dan Emak yang membuatku hilang semangat. Namun, teringat masih ada orang-orang baik di sekelilingku, semangat itu kembali terbit layaknya matahari pagi.

 Nyatanya hidup memang seperti itu, ada keluarga yang mendukung, tetapi orang lain disekitar tidak menyukai kita. Sebaliknya, keluarga sendiri tidak menyemangati, tetapi masih ada orang-orang baik meski tidak memiliki hubungan darah. 

Allah memang adil, tidak akan membiarkan hamba-Nya seorang diri di keramaian, tidak ingin pula hamba-Nya larut dalam kesepian. Harus kusyukuri bahwa memiliki seorang sahabat baik seperti Zahra. Demikian di The Hans. Ditambah kepercayaan yang diberikan oleh Pak Rafli kepadaku adalah karunia dari Allah. Aku harus bisa bangkit. Aku tidak sendiri, banyak orang yang tulus mendukung dan menyemangati.

Aku mencoba fokus dengan kegiatan saat ini, duduk di depan komputer mengetik sesuatu. Aku sedang mengedit sebuah poster untuk penerimaan karyawan di The Hans Kafe. Mungkin minggu depan sudah diseleksi. 

Sesuai arahan dari pak Rafli, syaratnya tidak terlalu sulit. Sistemnya akan sama seperti saat penerimaan karyawan di Bakery, tetapi aku menyarankan agar tetap melakukan wawancara, karena kalau hanya dari tes memasak, tidak akan tahu apakah dia serius kerja atau hanya untuk coba-coba. Biasanya ada beberapa karyawan yang seperti itu. Dia memang bisa memasak suatu menu setelah diterima malah kerjanya awut-awutan, karena memang tujuannya hanya untuk coba-coba. Untunglah Pak Rafli setuju kalau ada sesi wawancara

Untuk perdana, karyawan yang dibutuhkan hanya 15 orang dulu, mulai dari koki empat orang, sisanya waiters dan kasir aku yang pegang. Setelah berhasil mengedit aku mengembuskan napas lega. Berguna juga ilmu editing yang aku pelajari secara otodidak selama ini.

"Ra, coba lihat apa masih ada kira-kira yang kurang?" Aku minta tolong Zahra untuk memeriksa hasil editanku. Kebetulan dia sedang mendekatiku. Zahra menatap layar komputer. Ya, sekarang aku sedang memakai komputer di kamar Zahra.

"Sepertinya sudah oke. Cuman itu untuk warnanya jangan terlalu cerah. Dan font info lokernya diperbesar. Kurang alamatnya yang belum ada. Nanti orang gak tahu di mana alamat kafe-nya, dan satu lagi lokasi tes sama wawancara gak dibuat?"

Aku mendesah mendengar pendapat Zahra. Ternyata masih banyak yang lupa. 

"Astaga. Oke, aku perbaiki. Makasih ya, Ra." 

"Oh, ya. Memang yang dibutuhkan segitu? Apa nanti gak kurang? Kalau bisa kamu mesti cek dulu kafenya apakah luas atau kecil biar bisa menggambarkan kira-kira berapa karyawan yang dibutuhkan," usul Zahra.

Aku terdiam sejenak. Benar juga perkataan Zahra. Aku belum mengecek kafenya.  Apalagi kata Pak Rafli kafe-nya juga bertingkat.

"Aku ada saran, siapa tahu kamu tertarik dan bisa menyampaikannya pada Pak Rafli," kata Zahra tiba-tiba. 

Aku semakin bersemangat mendengarkan beberapa saran Zahra. Sepertinya sangat menarik. Apalagi mungkin belum ada yang menggunakan seperti yang Zahra sarankan. Aku mencoba fokus dengan apa yang dia sampaikan sambil terus berusaha membuang jauh-jauh pikiran dan masalah hidup. Kemudian aku tersenyum, Zahra memang selalu punya ide yang cemerlang.

"Baiklah, besok aku harus mengecek lokasi kafenya," jawabku kemudian sambil tersenyum.

*

Pukul 08:30 pagi. Aku siap-siap untuk berangkat. Bukan ke Bakery, melainkan ke kantor The Hans di Jalan Sudirman. Biasanya jam segini Pak Rafli sudah di sana, atau paling tidak aku ingin mengajak Bang Randi untuk melihat kafenya.

"Perlu kuantar, Dhi?" tawar Zahra. Dia tampak baru bangun.

"Tidak usah, Ra. Sarapan sana, gak bagus tidur lagi jam segini," ujarku. Akibat ngedrakor semalam, dia jadi terlambat bangun. Namun, nyatanya setiap hari selalu seperti itu.

"Beneran gak perlu diantar?" tanya Zahra yang masih terlihat berat untuk membuka mata. 

"Iya, aku udah mesan ojek, kok," jawabku singkat.

"Baguslah, kalau gitu aku mau lanjut tidur," katanya sambil menarik selimut. 

Tidak membutuhkan waktu lama, Zahra sudah kembali tertidur. Aku hanya menepuk dahi.

Aku bergegas keluar kamar Zahra, menuju ruang tamu. Di sana kulihat Tante Mia dan Om Radit sedang bersiap untuk berangkat kerja.

"Tante, Dhira pamit," ucapku sambil mengulurkan tangan menyalami Tante Mia, lalu om Radit.

"Zahra gak nganterin kamu?" tanya Tante Mia lembut.

"Gak usah Tante, lagian Zahra masih tidur."

"Kalau begitu, Dhira pamit, Tante, Om, Assalamualaikum." 

Aku berlari secepat kilat, ojek yang kupesan sudah nangkring di depan rumah mewah ini.

Sekarang aku tidak pernah merasa canggung lagi, bahkan aku sudah menganggap keluarga Zahra sebagai keluarga sendiri seperti yang mereka sering katakan. Bahkan Tante Mia memaksa agar aku tidak perlu ngekost, tinggal di rumah mereka saja. Namun, aku merasa kurang enak, mereka sudah terlalu banyak membantu.

Setelah naik ojek yang kupesan, perlahan kendaraan roda dua itu membelah jalanan yang mulai padat. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya sampai di depan kantor The Hans. Setelah membayar ongkos, aku buru-buru memasuki kantor. Tampak di sana Pak Rafli sedang berbicara serius dengan Bang Rizal.

 Takut mengganggu perbincangan mereka, aku memilih menunggu di luar. Tanpa sengaja aku bisa mendengarkan kalau Bang Rizal sedang merengek kepada papanya agar dia yang mengelola kafe, tetapi rengekannya tidak membuat Pak Rafli berubah pikiran. 

"Eh, Nak Dhira ada apa, ya? Ayok masuk, aja," katanya saat Beliau menyadari keberadaanku. Aku tersenyum kikuk, lalu mendekati sofa dan duduk berseberangan dengan Pak Rafli, sementara di sisi kananku ada bang Rizal yang terlihat masih dongkol.

"Maaf mengganggu waktunya, Pak."

"Pasti ada informasi penting, kan? Ada apa, Nak?" tanya beliau lembut, sehingga aku tidak ragu untuk memulai diskusi.

 Sejak pertama bergabung di The Hans, aku paling tersanjung mendengar suara lembut Pak Rafli. Bahkan, sampai sekarang Beliau tidak pernah berbicara kasar. Aku sangat menghormati dan akan melakukan cara apapun agar bisnis yang Beliau rintis sukses. 

"Begini Pak, Dhira ingin mendiskusikan mengenai kafe," ucapku. 

Terjadilah diskusi di antara kami, bahkan beliau dengan sabar mendengarkan saran-saran yang kuberikan. Bang Rizal juga fokus mendengarkan.

"Saran saya, bagaimana kalau kita buat sistem memesan menu melalui scan barcode, jadi di website semua menu kita tampilkan. Ini akan mempermudah orang-orang untuk melihat menu dan memesan secara online. Nanti ada satu orang yang mencatat apa saja menunya, lalu menyerahkannya ke bagian dapur," kataku mencoba menyampaikan ide seperti saran Zahra semalam. 

"Selain itu, kasir juga tinggal melihat meja nomor berapa yang memesan dan menghitung totalnya. Kalau kita menggunakan cara seperti ini, kita tidak membutuhkan banyak karyawan, Pak. Mungkin menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi kafenya nanti, karena saya belum melihat kafenya jadi belum bisa menyarankan berapa karyawan yang dibutuhkan," paparku panjang lebar. 

"Bapak suka dengan ide itu, sepertinya menarik," ujar Pak Rafli menanggapi dengan antusias. 

"Benar, Pa. Apalagi kalau memesan dengan buku menu malah biasanya pelayan kewalahan. Ada nih beberapa pelanggan yang mesan menu, bahkan sampai setahun, kan kasihan yang mencatat," suara kak Rena memecahkan keheningan. Aku sedikit kaget karena tidak tahu sejak kapan dia ikut bergabung.

"Bagus juga tuh, Pa. Apalagi sekarang hampir semua orang pegang ponsel. Kita juga bisa menyiapkan fasilitas WiFi biar gak ada alasan gak bisa mesan lewat scan barcode. Mungkin lebih bagus tetap menyediakan katalog menu dalam bentuk buku," imbuh Bang Rizal dan hal ini membuat Pak Rafli menatapnya penuh selidik.

"Jangan kamu kira dengan memberikan ide itu dapat menggoyahkan pilihan Papa. Kamu cukup fokus mengurus Bakery, tidak perlu berpikir macam-macam." 

Bang Rizal makin tampak kesal melihat Papanya yang tidak terpengaruh sedikit pun.

"Kalau begitu kamu bisa mengecek kafenya dengan Randi, tapi saya gak tahu apakah dia ada jadwal ngajar hari ini atau tidak," saran Pak Rafli. 

"Bang Randi ada jadwal ngajar, Pa. Rena juga sibuk di butik. Jadi, siapa yang akan menemani Dhira?" tanya Kak Rena.

"Ya udah, Rizal aja, gimana?" tawar Bang Rizal kemudian. 

Akhirnya Pak Rafli menerima usulan Bang Rizal dan jadilah aku pergi bersamanya untuk melihat kafe itu. 

*

Mobil yang membawa kami berhenti di depan sebuah bangunan yang hampir rampung. Aku berdecak kagum melihat bangunan calon kafe itu. Belum selesai saja sudah terlihat semegah itu, apalagi kalau sudah berdiri nanti?

Tempatnya memang strategis, di alun-alun kota yang saling berhadapan dengan banyak kafe. Bahkan kafe The Hans memiliki gapura yang bertuliskan Welcome to The Hans kafe. Aku perlahan memasuki kafe itu. Pandangan pertama yang kulihat adalah area parkir yang luas dan ada pembedaan untuk area parkir roda empat dan roda dua. 

Di dalam ruangan itu aku lihat ada sebuah ruang kecil bertuliskan kasir, lalu di samping kirinya ada tempat main anak-anak. Tampak sekitar lima payung di sisi kanan kiri. Setelah melewati payung-payung itu, akan disambut dengan bunga di sepanjang jalan, lalu di samping kiri kanan terdapat sebuah area yang mungkin bisa menampung sekitar sepuluh meja lagi. 

Walaupun belum ada meja dan kursi, tetapi aku sudah bisa membayangkan posisi kursinya nanti. Aku juga memperhatikan beberapa pekerja yang sibuk mengecat dan membetulkan hiasan-hiasan dinding kafe. Kemudian datang seorang paruh baya menghampiriku. Sepertinya beliau adalah koordinator penanggungjawab pembangunan kafe ini.

"Dengan Nak Dhira?" tanyanya hati-hati. 

"Benar Pak, saya Dhira," jawabku dengan tersenyum.

"Saya Dito, penanggungjawab pembangunan ini. Tadi Pak Rafli mengatakan kalau Nak Dhira akan ke sini," ujarnya ramah. Aku tersenyum mengangguk. Benar pula tebakanku.

"Walaupun di sini belum ada meja dan kursinya, mungkin Nak Dhira sudah bisa melihat sejak dari depan. Saya sengaja memberikan nama agar tidak bingung nanti. Berdasarkan kursi dan meja yang dipesan, mungkin disini bisa sepuluh meja. Dan nantinya ada dua meja panjang di pojok sana," Pak Dito terus menjelaskan. Bang Rizal yang berdiri di sampingku sangat aktif dan sesekali ikut menanggapi.

"Ini nanti untuk panggung live music, itu untuk kamar mandi, mushala, dapur dan satu ruang untuk Nak Randi"

"Ada ruangan untuk Bang Randi?" tanya Bang Rizal tampak heran. 

"Itu saya buat atas permintaan beliau," jelas pak Dito 

"Keren sekali dia, punya ruangan segala. Coba saja aku yang mengelola kafe ini, tidak perlu repot-repot minta ruangan," desis Bang Rizal.

"Oh, ya. Kalian juga bisa melihat-lihat ke lantai dua. Mari saya tunjukkan." Pak Dito menawarkan untuk menyambangi tempat yang dituju.

"Boleh, Pak. Terima kasih," ucapku sambil mengangguk. 

Aku dan Bang Rizal menaiki tangga yang berada di samping meja panjang sesuai penjelasan Pak Dito tadi. Tangga menuju lantai dua terlihat lumayan tinggi. Sepanjang dinding tangga mungkin akan dibuat hiasan atau semacamnya. Akhirnya, sampai juga kami di lantai dua. Tampak beberapa pekerja di sana yang sedang sibuk mengecat dinding.

Ternyata pemandangan dari lantai dua lebih mengagumkan karena berhadapan langsung dengan arah barat, tempat matahari tenggelam. Otomatis bisa menyaksikan suasana senja saat matahari tenggelam dan keindahan lampu-lampu kota ketika malam tiba. Di balkon lantai dua juga akan dibuat meja. Ruangan itu menurutku lebih cocok untuk kaum muda-mudi.

"Coba saja Papa mengizinkan aku yang mengelola kafe ini," rutuk Bang Rizal semakin kesal.

"Kenapa ngotot mengelola kafe ini, Bang?" tanyaku penasaran.

"Kafe itu identik dengan kaum muda-mudi, jadi fashionable, gitu," jawabnya memberikan alasannya. 

Aku berusaha menahan tawa karena ternyata Bang Rizal tidak mau ketinggalan fashion juga. Bisa kusimpulkan dia juga orang yang update dengan sosial media.

"Di bakery mana bisa," ujarnya makin merajuk.

"Sama saja, lagian Bang Rizal juga bisa mampir ke sini," ujarku mencoba menenangkannya.

"Pokoknya, aku masih tidak terima dengan keputusan Papa," ujarnya mendengus sebal.

"Mending kita turun Bang, saya takut nanti Bang Rizal akan melompat dari sini, kan gak lucu," kataku mencoba bercanda sambil menutup mulut menahan tawa. 

 Kami bergegas turun. Tanpa diduga, saat di lantai satu kami berpapasan dengan Bang Randi dan seperti biasa tidak pernah ada ekspresi di wajahnya.

"Loh, ngapain ke sini, bukannya ngajar, Bang?" tanya Rizal merasa heran. 

"Sudah selesai," jawabnya cuek. 

Aku merasa heran sama saudara sendiri cuek banget, gimana nanti saat bekerja. Apakah cueknya akan berubah. Selain mengurus persiapan kafe sepertinya aku juga juga harus mencari cara bagaimana agar bisa lebih dekat dengan Bang Randi.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kembali ke diri kakak yang dulu
864      636     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Rumah Tanpa Dede
134      83     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
To the Bone S2
392      285     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1529      709     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Bunga Hortensia
1612      70     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Cinderella And The Bad Prince
1266      838     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Ameteur
82      75     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Tanda Tangan Takdir
158      134     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
When Flowers Learn to Smile Again
838      623     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...