Aku sesenggukan dalam pelukan Zahra. Dia dengan sabar terus mengusap punggungku, memberikan ketenangan. Aku belum bercerita apa-apa dan Zahra juga mengerti. Dia paling mengerti keadaan meski aku belum bercerita. Kalau sudah seperti ini, pasti aku sedang tidak baik-baik saja.
Setelah sedikit tenang, aku mulai bercerita tanpa ada yang dikurangi atau ditambah sedikitpun. Aku cerita apa adanya. Mendengar itu, Zahra menjadi lebih geram.
"Ih, kok aku geram banget kalau dengar nama Mawar, ya. Kok bisa dia selicik itu," kata Zahra sambil mengatupkan rahang.
Kali ini aku tidak sependapat dengan Zahra tentang Mawar.
"Mungkin bukan jodohku aja, makanya jadi seperti ini, " jawabku putus asa.
"Dhira! Kamu tuh terlalu pasrah dengan apapun. Walau bukan salahnya Mawar, apalagi ini soal jodoh. Namun, aku tidak setuju kalau kamu masih membelanya dalam kondisi seperti ini. Jelas-jelas dia yang selama ini ganjen sama Bang Adnan," ujar Zahra jengkel.
"Anehnya, Bang Adnan juga plin-plan sekali. Dia yang menjanjikan menikahimu. Eh, pas jumpa orang tua, malah menyebut nama Mawar. Sudah kuduga. Pasti mereka sering komunikasi atau bertemu sebelumnya," ujar Zahra panjang lebar di sertai emosi yang meluap-luap.
Aku tidak berkomentar lagi.
"Tapi kamu gak boleh bersedih, Dhi. Mungkin Allah sedang menyiapkan jodoh terbaik untukmu atau hikmahnya karena kamu belum ada niat untuk menikah," tutur Zahra mencoba menanggapi dengan bijak.
"Lagian nih, ya, seandainya kamu jadi menikah dengan Bang Adnan, aku yang gak yakin kamu sanggup menghadapi mamanya atau tidak," kata Zahra seolah bersyukur aku tidak jadi menikah dengan Bang Adnan.
Kali ini aku setuju dengan pendapat sahabatku. Aku ingat malam itu. Sewaktu pertama kali melihat mamanya Bang Adnan, dari tatapan matanya saja sudah terlihat kalau beliau meremehkanku. Walaupun begitu, hati kecilku masih kecewa dengan semuanya. Selama ini aku terlalu berharap dan terlalu memaksakan kepada Allah untuk meminta agar berjodoh dengannya.
Mungkin Allah cemburu karena aku terlalu lama memperbincangkan nama Bang Adnan hingga lupa akan bagaimana rasanya kecewa jika tidak terkabul. Ternyata inilah jawaban dari isti’harahku.
"Nih, minum dulu. Air matamu sudah terlalu banyak yang tumpah," pinta Zahra sambil menyodorkan minuman kepadaku.
Air di gelas itu hanya kuteguk sedikit, karena benar-benar tidak berselera walaupun kerongkongan terasa sudah kering.
Untuk sementara aku berencana akan menginap di rumah Zahra. Tentu saja, keluarganya tidak keberatan, bahkan Zahra sangat senang. Anehnya aku ini. Meskipun telah dikecewakan, dalam kondisi seperti ini aku masih berharap Bang Adnan menghubungiku. Aku kembali kecewa karena bukan dia yang menelpon. Di layar ponsel tertera nama Kak Aisyah dan langsung saja kuangkat. Ternyata kakak iparku melakukan video call.
Bisa kulihat di layar ponsel wajah cantiknya Kak Aisyah dan Bang Rasyid.
"Assalamualaikum, Dek. Kamu kenapa? Bagaimana kabarnya?"
Kak Aisyah melontarkan pertanyaan beruntun. Dia sungguh peka dengan kondisiku yang tidak baik-baik saja. Aku belum bersuara hingga Zahra yang mengobrol bersama Kak Aisyah dan Bang Rasyid juga bersamanya. Walaupun aku menyembunyikan wajah dengan lipatan tangan, aku masih mendengarkan obrolan mereka.
"Ya Allah, semoga Dhira sabar ya, Dek. Semoga ada balasan dari Allah. Kakak bisa minta tolong peluk Dhira, karena saat ini dia sangat rapuh," pinta Kak Aisyah kepada Zahra.
Aku kembali meneteskan air mata saat mendengar permintaan Kak Aisyah dan Zahra kembali memelukku. Aku juga mendengar Kak Aisyah menangis. Turut merasakan kesedihan yang kualami.
"Kalau Adek mau liburan, datang aja ke sini. Soal ongkos atau yang lain jangan khawatirkan, Abang yang tanggung," ujar Bang Rasyid menawarkan liburan kepadaku.
Aku menggeleng, meski kenyataannya ingin kabur atau menghilang dari dunia ini, aku tidak bisa menghindar.
"Tidak apa, Bang. Insya Allah, Dhira kuat," jawabku singkat.
"Tapi keadaanmu sangat memprihatinkan, Dek," desak Bang Rasyid lagi.
"Demi kebaikanmu, Dek" seolah memaksa agar aku liburan ke kota mereka.
"Ada Zahra, Bang. Jangan khawatir, saya akan jagain Dhira," janji Zahra agar Bang Rasyid tidak khawatir.
Obrolan terputus karena mereka tampak sibuk. Aku kembali diam dan merenung. Dengan tatapan kosong dan tanpa memikirkan apa-apa. Zahra membujuk dengan segala daya upaya.
"Makan dulu, Dhi. Nanti kamu sakit, lho," bujuk Zahra entah sudah yang ke sekian kalinya. Namun, aku tetap menggeleng.
Hingga Tante Mia yang datang dengan membawa nampan berisi nasi dan lauk-pauknya. Aku sedang tidak berselera makan, tapi mustahil juga ditolak. Aku tidak ingin terlihat manja di depan Emaknya Zahra.
"Ayo, makan dulu, Nak," pinta Beliau. Akhirnya aku menyantap sarapan yang Beliau bawa, lalu Beliau pamit karena harus pergi bekerja.
"Dihh, tadi waktu aku yang nawarin gak mau. Pas Mama, malah kegirangan. Beuhh lahapnya," sungut Zahra dan aku pun terkekeh.
"Dhi," panggilnya, aku langsung menatapnya.
Zahra memegang kedua pundakku.
"Jangan bersedih lagi, cukup dua hari dua malam kamu menangis kayak gini. Setelah hari ini, aku harap kamu jangan murung lagi, ya. Sayangi dirimu dan kamu harus buktikan kalau kamu bisa bangkit lebih kuat," ujarnya menyemangati.
Aku mengangguk dan berkata, "Semoga bisa."
"Ya udah makan lah, habis itu siap-siap. Kita mau pergi," kata Zahra.
"Kemana?" tanyaku penasaran, karena sebelumnya tidak ada pembahasan tentang hal itu.
"Makanya cepat makan dan siap-siap," pinta Zahra tanpa menjawab pertanyaanku.
***
"Ra, kok gak bilang, sih kalau kita mau ke pantai," ujarku takjub dengan pilihannya untuk menghiburku.
Tanpa menunggunya, aku bersorak heboh dan berlari mendekat bibir pantai. Zahra mengekor dari belakang sambil tersenyum.
"Gimana? Suka kan, Dhi?" tanyanya antusias.
Aku mengangguk cepat dan menjawab, "Suka banget."
Aku melihat sekeliling, suasana pantai sedikit ramai karena sedang weekend. Aku ingin melupakan semua beban pikiran dan kesedihan. Berlarian bebas seperti anak kecil. Sampai rela membiarkan gamis yang kupakai basah karena berkejaran dengan ombak.
"Berdiri di sana biar aku fotoin," pinta Zahra kepadaku.
Walaupun sebenarnya aku tidak suka berpose, aku tetap mengiyakan sebagai kenang-kenangan. Lalu Zahra meminta bantuan kepada seorang anak gadis untuk memotret kami berdua.
Masya Allah, aku sangat bahagia kali ini sampai dapat melupakan masalah yang menimpaku. Aku tidak memikirkan apapun sekarang. Hanya ingin menikmati liburan berdua bersama Zahra.
"Kuy, berteduh, Kita akan di sini sambil menunggu sunset. Nanti akan lebih bagus lagi," kata Zahra mengiming-imingi.
Kami berjalan mendekati sebuah pondok dan di sana sudah tersedia berbagai camilan. Ternyata, Tante Mia sudah mempersiapkan semuanya.
"Ini semua Tante yang masak?" tanyaku merasa heran.
"Gak semua, yang ini dibeli," kata Zahra sambil menunjuk sebuah kue bolu.
"Padahal aku bisa masak kue, harusnya gak usah dibeli," sesalku.
"Sudahlah, kita nikmati dulu liburannya. Jangan pikirin apapun, oke," ujarnya dengan suara yang sangat ceria.
Aku mengangguk cepat, lalu menyantap dengan lahap segala makanan yang terhidang.
"Dhi, jangan pergi, ya," pinta Zahra tiba-tiba.
Saking kagetnya, aku sampai tersedak mendengar ucapan Zahra.
"Maksudnya apa, Ra? Aku gak akan kemana-mana loh, Ra."
"Iya makanya jangan pergi. Nanti kalau kamu pergi ke Kalimantan, aku gak punya teman lagi," ujar Zahra tampak sedih.
Mendengar penuturan Zahra itu membuatku tertawa.
"Aku gak bakalan pergi, Ra. Walau bagaimanapun, aku akan tetap di sini," jawabku meyakinkan.
"Beneran nih? Takutnya Kamu iyakan ajakan Kak Aisyah," tanya Zahra lagi.
"Gak bakalan, Ra. Aku akan tetap di sini bersamamu," ucapku lagi mencoba meyakinkannya.
"Kalau gitu, makasih banyak ya, Dhi," ujarnya sambil memelukku erat.
"Yaelah lebay kamu, Ra," jawabku sambil menertawakannya.
"Pokoknya jangan pergi kemana-mana, ya!" pintanya lagi seakan memaksa.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Sekarang jangan pikirkan apapun, ya. Kita nikmati liburan ini," pinta Zahra yang kini sudah lega dengan keputusanku.