Mawar telah resmi menjadi seorang mahasiswa sebulan lalu, sementara aku masih pusing mencari lowongan kerja yang sekiranya cocok untukku. Aku memilih mencari kerja daripada terus-terusan di rumah karena yang ada malah bikin emosi setiap kali melihat Bang Munar dan Kak Nisa.
Dengan memanfaatkan smartphone, aku mencari lowongan yang sekiranya sesuai dengan syarat yang kumiliki. Kebanyakan syarat yang sering kulihat adalah berpenampilan menarik. Padahal, kerjanya hanya jaga grosir. Pernah juga mencoba bertanya langsung di sebuah warung bakso pusat kota, tapi setelah melihat penampilanku, mereka menolak mentah-mentah.
"Maaf, Dek. Sudah ada pelamar yang lebih cepat dari kamu."
Itulah alasan mereka.
Tidak berhenti sampai di situ. Aku juga mendatangi sebuah warnet dekat SMA sesuai saran Zahra-sahabatku. Aku memang diterima di sana hanya bertahan selama sebulan, karena pemiliknya yang sering mengejek dan menertawakan penampilanku, mau tidak mau aku memilih berhenti. Bagaimanapun juga, rasa nyaman dan tenang adalah kunci dalam lingkungan kerja. Tidak masalah berapa gajinya. Untuk apa gaji besar kalau batin selalu gusar.
Zahra juga tidak tinggal diam. Terus membantuku mencari pekerjaan yang cocok sampai mendapat pekerjaan di sebuah fotokopi di depan kampusnya Mawar. Namanya Azzam Fotocopy. Aku kira Mawar akan senang kalau kakaknya kerja di sana, ternyata sebaliknya. Marah-marah saat bertemu di rumah.
"Kenapa harus kerja di sana?" Suaranya meninggi, bahkan tidak ada embel-embel 'kak' seperti yang biasanya dia ucapkan.
"Kebetulan di sana sedang membutuhkan karyawan," jawabku singkat, "dan aku sedang menbutuhkan pekerjaan."
"Awas kalau buka suara aku ini adikmu. Nanti berpura-pura saja gak kenal denganku," pintanya dengan nada ketus.
Setelah mengucapkan itu, Mawar langsung masuk kamarnya sambil membanting pintu, begitu keras sampai aku terlonjak kaget. Aku tidak menyangka akan jadi seperti ini.
"Mungkin kamu sengaja nyari kerja di sana, supaya mempermalukan Mawar," hasut Kak Nisa sinis.
Entah dari mana Kak Nisa tiba-tiba muncul. Seperti jelangkung. Datang tanpa diundang, pulang tidak bilang-bilang. Daripada makin emosi, aku juga memilih masuk kamar dengan beribu pertanyaan, apa yang salah kalau aku kerja di sana?
Suatu siang saat Azzam Fotocopy sangat ramai dengan banyaknya mahasiswa semester akhir yang sibuk menjilid skripsi, mahasiswa junior yang sedang mem-print makalah, aku kelabakan karena karyawan satu-satunya. Bingung mana yang harus didahulukan, karena semuanya sangat mendesak. Akhirnya si pemilik menegurku.
"Kau ini budek apa gimana? Dari tadi nggak denger, ya? tuh orang-orang manggil kenapa tidak disahut!"
Aku terdiam, antara merasa bersalah, malu, dan marah menjadi satu. Dipermalukan seperti ini di depan orang banyak. Sekilas aku juga melihat Mawar yang tersenyum, bahkan ikut tertawa bersama teman-temannya.
Mirisnya nasibku.
***
"Kak, pakai uangmu, dong. Mau ngerjain tugas?" pinta Mawar terang-terangan di hadapan semua orang.
Percaya atau tidak, aku yakin dia sengaja meminta saat semua keluarga berkumpul, yang pada akhirnya mereka semua akan memihak kepada Mawar.
"Belum ada duit karena gak kerja lagi," jawabku lesu.
"Gak boleh pelit loh, Nak. Toh untuk tugas kampus Adikmu juga," ujar Emak lembut.
Kalau sudah seperti itu, aku bisa apa? Terpaksa uang tabunganku harus melayang ke tangan Mawar. Apakah dia tidak merasa bersalah telah menertawakanku seminggu lalu? Sekarang begitu santainya mengemis padaku? Ahh, sial! Kenapa makin lama sifatnya makin melonjak begini. Apalagi, sejak kuliah standar hidupnya semakin tinggi.
"Masa gak mau bantu Adik sendiri, sih?" Kembali Kak Nisa menghasut.
Lagi dan lagi Kak Nisa ikut campur. Aku mencoba kembali mempertebal rasa sabar, meski semakin lama rasanya semakin menipis.
Hingga dua minggu berjalan, aku hanya di rumah saja, membuat uang hasil kerjaku habis tak tersisa. Aku tak tinggal diam dan memilih mengisi waktu dengan berkebun di belakang rumah. Tentu wajahku juga semakin kusam karena berjemur di bawah terik matahari.
***
Dengan mata nanar aku menatap sayuran yang sudah dipetik habis. Sayuran yang kutanam dan kutunggu hampir lima bulan ini tidak ada yang kupanen sedikitpun, karena Kak Nisa yang memanennya, lalu menjualnya sendiri ke pasar.
Air mata berlinang mengingat betapa kerja kerasnya aku berkebun. Aku hanya bisa berdiam diri. Kalaupun protes, maka suara Bang Munar akan lebih tinggi.
Aku semakin putus asa. Entah apa yang harus dilakukan supaya hasilnya terlihat jelas dan nyata. Hampir setahun belum menemukan apa-apa, sementara Mawar semakin gencar meminta uang kepadaku di tengah ketiadaan yang harus diberikan.
Zahra kembali menawarkan pekerjaan kepadaku, tapi syaratnya tidak bisa kupenuhi. Selalu syarat utamanya memang harus good looking. Aku tahu semakin karyawan itu indah dipandang, tentu akan menarik minat pembeli. Begitulah faktanya di sini.
[Ra, ini ada pelatihan kamu gak mau ikut? Mumpung gratis]
Demikian pesan WhatsApp dari Zahra.
Zahra juga mengirimkan jenis-jenis pelatihan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota bagi mereka yang memiliki bakat dan semangat untuk mencoba. Pelatihan keterampilan itu diantaranya, tata boga, tata rias, membatik, bordir, dan menjahit. Aku pikir, selagi gratis apa salahnya dicoba dulu.
***
Aku dan Zahra sudah berada di sini, sebuah aula yang menjadi tempat untuk pelatihan yang akan dilaksanakan. Ternyata, kami datang terlambat karena begitu sampai di tempat, sudah banyak orang yang memenuhi kursi yang disediakan, dan kami pun duduk di kursi paling belakang.
"Cara daftarnya gimana, nih?" tanya Zahra.
Suara Zahra seolah mewakili pertanyaanku. Entah pada siapa kami bertanya karena orang di samping kanan kiri terlihat angkuh. Huh, berhadapan dengan orang yang seperti itu membuatku pusing. Aku pikir lebih baik diam saja.
Zahra tidak putus asa. Dia berjalan ke depan, tampak kesusahan karena tongkat sebagai alat bantunya untuk berjalan. Ya, Zahra seorang disabilitas.
"Kamu di sini saja, biar aku yang nanya ke depan, " ujarnya menawarkan diri. Harusnya aku yang ingin maju, tapi dia sudah bangkit duluan.
Aku mengangguk, lalu menatap Zahra yang berjalan perlahan menuju seorang bapak, dia merupakan penanggung jawab kegiatan pelatihan ini.
Tidak lama kemudian, Zahra muncul dengan membawa selembar kertas dan duduk kembali.
"Katanya kita bisa daftar dua kegiatan karena memang jadwalnya juga tidak bertabrakan," jelas Zahra dan aku pun mengangguk paham.
"Sepertinya aku ambil tata boga dan tata rias saja, deh." Aku juga melihat jadwalnya selang-seling.
"Kalau aku ambil menjahit saja, takut nggak sempat kalau ambil dua," imbuh Zahra.
Suasana aula diwarnai kasak-kusuk karena banyaknya peserta yang membuat situasi semakin ricuh sehingga penanggung jawab terlihat kerepotan ketika mengamankan. Apalagi tidak ada microphone, pastinya aku tidak mendengar apa yang sedang dijelaskan di depan sana.
"Penanggungjawab bilang, pelatihannya mulai besok," ucap Zahra padaku. Aku mengucapkan terima kasih karena dia bersedia menjadi penghantar pesan saat aku tidak dengar.
***
"Kak, aku minta uang, dong!" Aku menghentikan langkah saat memasuki kamar, lalu menatap Mawar yang dengan mudahnya melakukan hal itu. Tentu saja aku kesal. Walaupun aku pernah berniat untuk ikhlas membantunya, tetapi, semakin lama dia semakin menjadi-jadi.
"Aku nggak ada uang," jawabku lembut, berharap Zahra mengerti.
"Tapi, kamu kerja, masa gak ada uang?" Zahra bersungut-sungut, seharusnya aku yang kesal kepadanya.
"Aku gak kerja, tapi pelatihan. Itu kayak belajar, kursus," jawabku lagi masih mencoba bersabar.
Saat ingin membalikkan tubuh, Mawar justru menarik tanganku.
"Kak, please. Aku mau beli baju kampus, masa bajuku itu-itu aja."
Dia mulai memohon seperti biasanya agar aku luluh. Sejak dulu Mawar tahu kelemahanku.
Aku tetap apa adanya menjawab bahwa saat ini benar-benar tidak punya uang. Untuk berangkat ke pelatihan tata boga saja harus naik angkot, ongkosku besok bagaimana?
"Ya sudah kalau nggak ada," ujarnya sambil menerobos masuk ke kamar usai aku membuka pintu.
Tidak bisa kuhentikan, dia langsung membuka lemari pakaianku tanpa izin.
Tangannya memegang sebuah baju gamis hadiah dari Zahra sebagai kado ulang tahunku lima bulan lalu, bahkan belum pernah kupakai.
Matanya berbinar karena gamis itu memang tampak mewah dan elegan. Apalagi harganya juga selangit.
"Aku pinjam, ya!" Tanpa bersuara lagi, dia langsung membawa baju itu keluar dari kamarku.
Sangat berat memberikannya, tetapi dia mengatakan cuma meminjam. Semoga dikembalikan lagi.
Aku memilih duduk karena terlalu lemas dan capek. Setelah seharian belajar membuatku ingin mengistirahatkan tubuh, tapi aku harus menyiapkan makan malam juga. Begitulah setiap hari tidak akan ada yang mau memasak walaupun mereka semua di rumah. Bukan cuma memasak, bahkan piring tadi pagi pun belum ada yang mencuci.
Saat melewati ruang tamu, aku melihat Emak, Kak Nisa dan Mawar. Mereka membicarakan banyak hal. Setiap berkumpul ada saja bahan yang dibahas. Tentu aku tidak mendengar apa-apa, hanya tawa yang kudengar. Walaupun samar, aku sempat mendengar suara Mawar.
"Gamisnya bagus kan, Kak? Lihat nih, ini model baru, loh."
"Kakak iri, deh," jawab Kak Nisa.
Aku tahu gamis yang Mawar maksud adalah yang diambil dari lemariku. Ingin aku bersuara, tapi urung karena mereka tidak akan peduli.
Pernah aku berpikir kenapa mereka memperlakukanku seperti ini. Aku sadar perbedaanku dengan Mawar sangatlah mencolok, bahkan aku pernah dengar ada yang mengatakan kalau aku lebih cocok jadi pembantu, sementara Mawar bagaikan ratu. Dari situ aku menyadari betapa sangat jauhnya perbedaan kami.
Daripada memikirkan ulah mereka yang sewenang-wenang, aku memilih fokus memasak apa saja yang bisa di makan malam ini.