Kira-kira sebulan setelah pelatihan usai, bertepatan ada sebuah toko kue yang baru buka dan tentunya sedang membutuhkan karyawan. Syaratnya hanya memasak satu menu dan dinilai oleh owner atau pemiliknya. Jika lolos tes, maka berhak menjadi karyawan. Namanya The Hans Bakery, letaknya tidak jauh dari rumah Zahra.
Sesuai yang tertulis di brosur kami akan datang tanggal dua puluh, lebih tepatnya besok. Jadi, hari ini aku memilih ke tempat Zahra untuk membuang suntuk dari pada di rumah yang rasanya selalu merutuk.
"Wah, Kak Dhira. Silahkan masuk. Kak Zahra ada di kamarnya," ujar Lukman sambil membuka pintu.
Aku tersenyum menatap Lukman, adiknya Zahra yang duduk di kelas sepuluh SMA. Sepertinya dia hendak keluar.
"Assalamualaikum, Dek," sahutku sambil tersenyum.
Lukman menggaruk kepalanya karena lupa mengucapkan salam. Terlihat cengengesan.
"Waalaikumsalam, Kak. Hehe. Maaf lupa salam duluan," jawabnya memohon maaf.
"Mau kemana, nih?" tanyaku berbasa-basi.
"Futsal, Kak. Ya udah aku pergi dulu ya, Kak. Assalamualaikum," pamitnya buru-buru.
Aku menatap kepergiannya, lalu membuka pagar dan masuk ke rumah mereka.
Sudah bukan rahasia lagi jika aku sering masuk ke rumah mereka dengan cara ini. Bahkan sejak dari pesantren, aku sudah sering mampir ke rumah mereka. Tidak heran jika aku mengenal semua keluarganya, bahkan paman, bibi dan semua saudara orang tuanya. Berada di keluarga ini membuat lebih tenang.
"Eh, Nak Dhira!" Aku menghentikan langkah ketika mendengar suara Tante Mia, mamanya Zahra memanggil. Aku mendekat lalu menyalami tangannya dan tersenyum manis.
"Langsung ke kamarnya saja, mungkin dia masih mandi. Omong-omong kalian mau kemana aja nih, pagi-pagi begini?"
"Cuma sekedar jalan-jalan, Tante, sebelum interview kerja besok," jawabku singkat diikuti senyuman.
"Oh, ya. Kali ini melamar di mana, Nak?"
"Di The Hans Bakery, Tante. Walaupun masih baru buka apa salahnya mencoba. Kebetulan syaratnya juga nggak ribet. Semua pelamar hanya di tes membuat satu menu," paparku.
"Semoga kamu diterima, Nak. Tante yakin kamu pasti diterima, secara kue yang pernah kita buat kemarin juga wiuhhh enak banget. Sampai Lukman yang nggak suka kue, langsung doyan," ujar Tante Mia bersemangat.
"Boleh, dong, kapan-kapan kita bikin kue lagi. Apa itu namanya kue yang kita buat dua hari lalu, Tante suka benget, " Tante Mia tampak berpikir.
"Rainbow Cake, Tante," ujarku mengingatkan.
"Nahhh, itu. Tante suka banget," jawab Tante antusias.
Obrolan kami terus berlanjut, sampai-sampai aku tidak sempat ke kamarnya Zahra. Membahas apapun dengan Tante Mia selalu nyambung. Ide Beliau yang mengalir deras bagai air, wawasan dan rasa ingin tahunya memperlancar obrolan kami.
"Kuy, berangkat!" ajak Zahra mengagetkan kami yang sedang asyik dalam obrolan.
Kehadiran Zahra akhirnya menghentikan pembahasan kami. Dia menatap aneh.
"Ada apa, nih? Kenapa?" tanya Zahra heran.
"Dandannya lama banget, Mama sama Dhira udah bahas segala aspek kehidupan, barulah kamu nongol." Tante Mia terlihat kesal, sedangkan aku hanya tersenyum.
"Ya udah, Tan. Kami berangkat dulu." Kami berpamitan. Aku menyalami tangan tante Mia setelah Zahra.
Zahra mengeluarkan mobilnya dari garasi, aku yang masih berdiri langsung membuka pagar setelah mobilnya keluar. Barulah aku naik dan duduk di samping Zahra yang lihai menyetir.
Zahra sangat suka menyetir. Walaupun dia termasuk seorang disabilitas, dia bisa menyetir kendaraan roda empat itu dengan sangat lancar. Mobil yang dia kendarai adalah hadiah dari kemenangannya saat Peparnas di Papua ketika Zahra berhasil meraih medali emas.
Peparnas adalah akronim dari Pekan Paralimpik Nasional. Sebuah event olahraga tingkat nasional yang mewadahi para atlet disabilitas di Indonesia agar mereka dapat menyalurkan bakat dan kemampuannya di bidang olahraga dan mendapat apresiasi atas prestasinya.
Tentu saja sebagai teman, aku merasa bangga karena seorang Zahra yang punya keterbatasan dengan kaki kirinya dipotong selutut, dia berhasil bersinar melalui prestasinya. keberhasilannya ini tentu karena semua anggota keluarganya sangat mendukung aktivitas yang positif. Mereka memotivasi dan mendukungnya all out dengan berbagai fasilitas yang diperlukan. Selain itu, secara ekonomi, Zahra termasuk keturunan orang kaya sehingga semua kebutuhannya mudah terpenuhi.
Banyak orang yang menatap Zahra sebelah mata. Apalagi yang tidak tahu kehidupan Zahra yang sebenarnya. Zahra sangat sederhana dan tidak terlalu suka mengumbar harta orang tua. Meski orang tuanya kaya, Zahra adalah anak yang mandiri.
Zahra juga memiliki jiwa toleransi yang tinggi dan sangat setia kawan. Walaupun orang tuanya sangat jelas dari kalangan mampu, Zahra tak berniat kuliah. Pernah dia mengatakan, karena aku tidak kuliah, dia juga tidak akan kuliah.
Selain karena sikap toleransinya itu, Zahra juga pernah trauma karena sering menjadi objek bully teman-temannya bahkan sejak SD. Dia dikatakan sebagai anak yang cacat. Mendapat ejekan terus-menerus dari teman-temannya membuat tekadnya drop. Semangatnya untuk menimba ilmu langsung lenyap. Untungnya, tidak sampai depresi.
Aku tahu penyebab Zahra menjadi cacat adalah karena kecelakaan. Suatu kebetulan di masa lalu, Zahra adalah seorang anak kecil yang menangis saat aku juga tertimpa kecelakaan bersama Ayah dan Mawar. Sungguh takdir yang tidak terduga karena sekarang kami bersahabat, saling melengkapi dan memahami satu sama lain.
***
Zahra memarkirkan mobilnya di bawah pohon rindang. Kali ini kami sedang di taman kota. Suasana tampak sedikit ramai. Biasanya saat pagi weekend taman kota akan ramai. Banyak orang yang jogging atau sekedar duduk saja.
Tidak berniat melakukan apapun, kami memilih duduk di kursi di bawah pohon. Begitu Zahra duduk, aku bergegas membeli bubur dan beberapa makanan ringan, kebetulan dari pagi kami belum sarapan.
"Kamu iri melihat mereka?"
Aku bertanya seperti itu karena sejak tadi Zahra terus menatap mereka yang melompat dan berlarian dengan riang ke sana kemari.
"Sama sekali tidak, karena aku juga pernah punya kaki," jawab Zahra menoleh kepadaku.
"Mungkin seperti inilah takdir, kita pernah memilikinya, tetapi saat ini, inilah yang terbaik untuk kita," imbuhku bermaksud memotivasi, lebih tepatnya memotivasi diriku sendiri.
"Inilah hikmahnya menjadi seorang yang cacat, bisa menjadi atlet Peparnas. Bahkan sebelumnya aku tidak menduga akan menginjak tanah Papua," tambah Zahra lagi.
Aku selalu salut dan kagum atas semangatnya yang menggelora. Bagaimanapun keadaannya, Zahra sangat beruntung karena memiliki keluarga yang siap siaga memberikan dorongan.
Secara fisik, Zahra memang cacat, tetapi dengan prestasinya mampu membungkam mulut orang yang pernah menghinanya. Sementara aku, bahkan sampai sekarang belum ada prestasi apapun.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya yang membuat kaget.
"Seperti itulah, aku sering merasa tersiksa dengan keadaan ini. Apalagi, orang sering memanggilku dengan 'dasar tuli'. Padahal, aku masih bisa mendengar walaupun pendengaranku kurang," jawabku dengan pasrah.
Saat kecelakaan itu, telinga kiriku mengeluarkan banyak darah mulai dari gendang telinga yang pecah. Inilah penyebab telinga kiriku tidak bisa mendengar apa-apa lagi, telinga kanan juga sudah mulai berkurang. Aku ingin berobat ke dokter, tetapi karena belum ada biaya, seperti inilah aku terkendala mendengar suara yang pelan.
"Aku berharap kamu diterima di 'The Hans Bakery' secara kue buatanmu uuhhh top banget," puji Zahra sambil mengacungkan jempol yang kusambut dengan senyuman lebar.
"Aamiin, makasih doanya. Kapan-kapan aku akan masak kue buatmu lagi," janjiku sambil memandang dan memegang kedua tangannya.
"Uhhh, gak sabar deh," sahut Zahra lebay.
Banyak orang yang menatap aneh pada kami. Kebanyakan orang memakai pakaian tipis dan ketat, sementara kami malah memakai pakaian lebar. Kalau soal pakaian, kami tidak ada bedanya.
Kami pun sama dalam soal penampilan wajah. Paling malas mempercantik diri. Aku memang pernah menjadikan Zahra kelinci percobaan praktek make up dan hasilnya sangat memuaskan. Sahabatku itu menjadi sangat cantik sampai-sampai Tante Mia tidak dapat mengenali putrinya sendiri.
"Hasil riasanmu cantik banget, Nak," puji Beliau kala itu. Aku beruntung karena bisa menyeimbangkan antara pelatihan tata boga dan tata rias. Rasanya, aku akan memanfaatkan ilmu yang telah diperoleh itu untuk mendapatkan penghasilan mengingat aku sering mengalami kesulitan saat mencari kerja.
"Kamu rencananya gimana?" tanyaku kepada Zahra ingin tahu apa yang akan dilakukannya.
"Sepertinya aku mau buka usaha jahit saja. Apalagi Mama udah beli mesin jahitnya," jawab Zahra berhenti makan bubur yang tadi aku beli.
"Tante memang paling gercep dalam hal apapun," pujiku bangga dengan kesiapan orang tua Zahra.
Aku mengucapkan kalimat itu sambil tersenyum. Namun, senyumku secepat kilat memudar dan Zahra menyadari perubahan itu. Kemudian, mengusap punggungku untuk memberikan kekuatan. Zahra sangat tahu dan paham tentang keluargaku.
"Sabar ya, Dhi. Semoga kamu tetap menjadi wanita tangguh apapun itu cobaannya," ujarnya berusaha menghiburku.
Aku mengagguk, walaupun sudah mencoba mempertebal rasa sabar dan berharap semoga kesabaranku tidak cepat terkikis habis.
Kami mengobrol banyak hal. Bersama Zahra aku merasa menjadi manusia yang sesungguhnya. Zahra dengan tulus mengajarkanku banyak hal. dia sahabat yang mengerti dan paham akan keadaanku.
Sehat selalu Zahra, Sahabatku.(*)