Loading...
Logo TinLit
Read Story - Konfigurasi Hati
MENU
About Us  

Sekitar pukul enam lebih lima puluh lima pagi, mobil Ayah Zaryn memasuki pelataran tempat parkir MANSA. Gerbang utamanya tampak sederhana, bertuliskan Madrasah Aliyah Negeri Satu dengan cat hijau lumut yang sedikit memudar. Sejumlah siswa berseragam batik tampak berjalan menuju mushala di sisi luar bangunan utama.

“Di sini, dari pukul enam lima puluh sampai tujuh dua lima, semua siswa salat dhuha berjamaah dulu di mushola. Baru setelah itu, mereka kumpul di lapangan untuk apel pagi,” jelas Ayah menepuk bahu Zaryn singkat sambil melangkah di sampingnya menuju ruang kepala sekolah yang berada di seberang lapangan basket, tak jauh dari jalan menuju mushola.

Zaryn mengangguk pelan, memperhatikan barisan siswa berseragam rapi yang mulai bergegas ke arah mushola. Wajah-wajah baru.

“Suasananya enggak jauh beda sama di Ihsanul Fikri, kan?” sambung Ayah, tersenyum tipis. “Insya Allah kamu enggak akan terlalu kaget disini.”

Zaryn menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya kasar. Mungkin benar, sistemnya serupa. Tapi tidak dengan rasanya. Di tempat lama, ia datang dengan harapan. Di tempat ini, ia datang dengan luka. Tapi juga dengan secercah kemungkinan baru.

Beberapa guru tampak berdiri di dekat pintu kelas, mengomando murid-murid untuk segera bergegas ke Mushola. Para siswa memakai peci hitam, sementara para siswi mengenakan kerudung putih yang dipadukan dengan seragam batik berwarna hijau bermotif parang dan kawung—ciri khas batik Yogyakarta dengan bawahan rok berwarna putih. Motifnya tidak terlalu ramai, tapi cukup elegan untuk memberi kesan rapi dan tenang.

Mereka tiba di depan ruang kepala sekolah, sebuah ruangan bercat putih bersih dengan pot tanaman sirih gading menggantung di sisi jendela. Ayah mengetuk pelan, lalu pintu dibuka dari dalam. Seorang perempuan paruh baya dengan jilbab biru laut dengan wajah teduh berdiri menyambut.

“Assalamu’alaikum silakan masuk, Pak Hadi, Zaryn,” sapanya ramah.

“Wa’alaikumussalam. Ini putra saya, Bu Yulia,” kata Ayah memperkenalkan.

Bu Yulia mengangguk sambil melempar senyum kecil pada Zaryn.

“Selamat datang di MANSA, Zaryn. Semoga betah disini, ya, ” ujarnya sambil tersenyum.

Di luar, suara imam mulai mengumandangkan niat sholat. Para siswa mulai berbaris rapi memenuhi sisi dalam dan luar Mushola. Hari itu, Zaryn tidak ikut sholat berjamaah. Tapi ia melihat dari jendela, memperhatikan gerakan takbir yang serempak, barisan yang lurus, dan kekhusyukan yang mengendap tenang. Tak ada yang tahu ia baru saja pindah. Tak ada yang membicarakan masa lalu.

Setelah basa-basi panjang, akhirnya Bu Yulia membawa Zaryn ke kelas 10 IPA 1. Untuk mencapai kelas tersebut, ia harus melewati koridor kelas sebelas yang sudah lengang, hanya ada beberapa siswa yang masih diluar—mereka yang piket ambil buku paket di perpustakaan.

Sekitar dua menit, akhirnya mereka sampai di depan pintu kelas yang akan Zaryn tempati. Pemandangan dari balik kaca jendela dekat pintu masuk mencuri perhatian cowok berambut ikal tersebut. Gelas minuman bekas berisi tanaman kecambah yang baru tumbuh berjajar di kusen jendela, menghalangi sinar matahari yang menyelusup ke dalam kelas.

Bu Yulia mengetuk pintu. “Permisi, Bu Kartika. Maaf menginterupsi sebentar,” ujar beliau dengan suara tegas setelah pintu terbuka.

Hampir semua kepala yang ada di ruangan kelas itu menoleh serempak. Zaryn agak kikuk menyadari tatapan mereka, tapi buru-buru menutupinya dengan mengulas senyum kecil.

Ada jeda hening sesaat sebelum Bu Kartika, seorang guru perempuan bertubuh mungil dengan lipstik merah menyala itu menoleh dan tersenyum hangat ke arah Bu Yulia dan Zaryn.

“Silakan, Bu,” sahut Bu Kartika.

Bu Yulia melangkah masuk dengan Zaryn yang mengikuti di belakangnya.

 “Selamat pagi, perkenalkan ini Zaryn Al Ghazali. Dia ini pindahan dari SMAIT Jakarta. Kalian mungkin sudah dengar sedikit tentang Zaryn—tahun lalu dia memenangkan lomba esai nasional dan debat Bahasa Arab tingkat SMP. Kami harap kalian bisa membantu Zaryn beradaptasi.”

Zaryn sedikit terkejut dengan cara perkenalan yang dilontarkan Bu Yulia. Ia tidak menyangka bahwa prestasi lamanya akan diumbar begitu saja di depan kelas. Lomba esai nasional dan debat Bahasa Arab—dua hal yang baginya kini terasa seperti masa lalu yang jauh. Ia menelan ludah perlahan. Perasaannya gelisah tiba-tiba.

Ia khawatir para siswa akan menganggapnya sebagai tukang pamer, atau orang ambisius yang datang untuk mencuri perhatian. Padahal, justru sebaliknya—Zaryn ingin menjadi biasa saja. Ia tidak ingin menjadi sorotan.

Senyum yang tadi ia pertahankan kini mulai terasa kaku. Di balik wajah tenangnya, Zaryn berusaha meredam gejolak di dalam dirinya. Ada rasa takut yang sulit dijelaskan—takut ditolak, takut dihakimi, bukan dari siapa dirinya sekarang. Ia tahu tidak semua orang suka dengan siswa ‘hebat’ yang baru datang.

Zaryn melirik ke arah deretan wajah di bangku-bangku depan. Beberapa tampak acuh, tapi ada pula yang menatap dengan rasa ingin tahu. Tatapan itu membuat punggungnya terasa panas dingin. Ia membetulkan letak kacamatanya secara refleks, mencoba mengalihkan gugupnya.

Begitu Bu Yulia meninggalkan ruangan dan Bu Kartika mempersilakannya masuk, Zaryn melangkah pelan ke dalam kelas. Matanya langsung menyapu ruangan itu—10 IPA 1. Suasana di dalam kelas terlihat rapi.

Cahaya matahari yang menyusup melalui celah jendela disaring oleh barisan gelas plastik bekas minuman yang kini beralih fungsi menjadi pot-pot mungil berisi kecambah kacang hijau. Tunas-tunas itu tumbuh tegak, sebagian baru berdaun dua, sebagian lagi sudah mulai menjulur mengikuti arah datangnya cahaya matahari.

Di sisi kiri dekat papan tulis, tergantung sebuah poster buatan tangan dengan coretan spidol warna-warni bertuliskan: “Photosynthesis: Where Magic Meets Light.” Beberapa diagram fotosintesis menghiasi kertas karton itu, lengkap dengan keterangan CO₂ + H₂O + cahaya → O₂ + C₆H₁₂O₆. Di bawahnya, tertempel grafik uji faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis—mirip dengan hasil praktikum yang pernah Zaryn buat ketika masih di SMAIT.

Namun yang paling menarik perhatian Zaryn adalah lukisan besar di dinding belakang kelas. Sebuah gambar sederhana namun ekspresif menggambarkan perubahan leher jerapah yang memanjang bertahap dari generasi ke generasi, diselingi kutipan yang ditulis kecil dari Charles Darwin di pojok bawah.

“It is not the strongest of the species that survives, but the one most responsive to change.”

Bukan yang terkuat atau tercerdas yang bisa bertahan, melainkan yang paling mampu beradaptasi. Kalimat itu terasa seperti pengingat bagi Zaryn—tentang tempat baru, suasana baru, dan dirinya yang harus belajar menyesuaikan diri.

Di rak samping lemari, terdapat model DNA dari sedotan warna-warni yang dililit seperti spiral.

Kelas ini tampak hidup—bukan hanya ruang untuk duduk diam mendengar penjelasan dari Guru.

Zaryn diam sejenak. Ia tahu, ini bukan kelas biasa. Kelas ini dipenuhi orang-orang yang aktif, ingin tahu, dan haus belajar. Sepertinya. Dan itu sedikit banyak membuatnya gugup.

Lalu tatapannya tak sengaja bertemu dengan seorang siswi di barisan tengah. Mata gadis itu menatapnya tajam, tidak sekadar memperhatikan—tapi menganalisis. Zaryn langsung mengalihkan pandangan.

***

Waktu istirahat tiba. Bel istirahat berdentang nyaring, memecah keheningan kelas yang baru saja selesai menyimak pelajaran Biologi pertama di semester ini.

Beberapa siswa langsung berdiri dari bangku mereka untuk keluar untuk jajan di kantin, ada yang sibuk membuka bekal, dan sebagian lagi hanya mengobrol santai di dalam kelas.

Zaryn masih duduk di bangkunya yang berada di sisi dekat jendela, membolak-balik halaman buku catatan barunya, meskipun sebenarnya ia tidak benar-benar membaca. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya, menjaga agar tubuhnya tidak terlalu tegang. Tapi sebelum sempat tenggelam dalam lamunannya lebih dalam, dua siswi mendekat dengan langkah cepat dan senyum lebar.

“Hei, kamu Zaryn, ya?” sapa salah satu dari mereka—gadis dengan kerudung putih yang dijepit jepitan berbentuk love di pelipis kiri.

Zaryn menoleh cepat. Ia sedikit terkejut, tapi buru-buru mengangguk dan tersenyum kecil. Matanya sempat melirik ke sekeliling, memastikan memang dia yang dipanggil.

“Aku Tara! Dan ini Astiya, sahabatku sejak kelas delapan!”

Astiya melambai penuh semangat, senyum semringah menghiasi wajahnya. “Eh, kamu suka apa? Anime? Basket? Nulis puisi?” tanyanya tanpa jeda.

“Atau jangan-jangan... suka aku?” canda Astiya semabri menaruh kedua tangan di pipi dengan gaya manja.

Zaryn mengedip pelan, lalu terkekeh. Ia belum sempat menjawab ketika Tara mencolek bahu Astiya. “Hiii genit banget! Entar Zaryn ilfeel.”

Tawa Zaryn pecah, disusul tawa dua cewek itu. Suasana mendadak ramai dan hangat, membuatnya mulai merasa lebih diterima.

“Wah, rame banget,” sela sebuah suara lain yang baru datang.

Zaryn menoleh lagi. Ayas, teman sebangkunya, muncul dengan napas sedikit ngos-ngosan. Ia menaruh kotak minuman dan plastik jajanan ke atas meja. Rambut hitamnya lepek karena keringat, mata bulatnya menyipit menilai Tara dan Astiya.

“Baru juga sehari sekolah, udah ada yang sok akrab, nih,” komentar Ayas sambil menatap Tara dan Astiya bergantian.

Tara menyipitkan mata dan menyanggah, “Kita cuma nyapa anak baru, Yas. Masa nyapa aja enggak boleh?”

“Nyapa sih nyapa... tapi nadanya itu, loh, centil,” balas Ayas santai, lalu melirik Zaryn. “Lo udah tau nama gue belum? Gue yang duduk disebelah Lo tadi,” jelasnya dengan logat medok jawa.

Zaryn menggeser posisi duduknya, lalu mengusap tengkuknya pelan sambil tersenyum canggung. “Saya tahu, kok. Ayas, kan? Tadi saya lihat nama kamu di buku,” jawabnya.

Ayas mengerjap. “Hah? Saya? Waduh, lo beneran anak Jakarta?”

Zaryn menahan tawa, mengangguk sambil menyender sedikit. “Iya, saya anak Jakarta. Tapi enggak semua orang pake ‘lo-gue’, kok.”

Tara tertawa kecil, dan Astiya menutup mulut dengan punggung tangan sambil cengengesan.

“Ooh... gitu, ya,” gumam Ayas, tangannya mengusap tengkuk, sedikit canggung.

Astiya kemudian menarik lengan Tara. Sebelum pergi, ia tersenyum pada Zaryn. “Nanti ngobrol lagi, ya!”

Setelah mereka pergi, Ayas menoleh lagi ke Zaryn dengan senyum tipis. “Jangan baper, ya. Emang gitu gaya mereka. Tapi kalau lo tahan... kita bisa jadi soulmate.”

Zaryn tertawa kecil, bahunya sedikit mengendur. “Saya... eh, aku coba tahan, deh,” ucapnya dengan senyum lebar.

Ayas terkekeh, kelihatan puas. “Nah, senyum gitu!”

Zaryn menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya lebih santai sekarang. Ia bukan tipe yang sulit berteman—malah biasanya cukup cepat akrab. Tapi hari ini, ia memang sedang menyesuaikan ritme. Dan tampaknya, permulaan ini tak seburuk yang ia kira.

Sementara Ayas sibuk mengunyah keripik pedas sambil sesekali menatap ke papan tulis yang masih penuh coretan Biologi. Zaryn melirik pelan ke arah meja kedua barisan tengah, tempat seorang siswi duduk diam dengan buku paket terbuka di hadapannya.

Cewek itu... dari tadi tidak bergeming. Bahkan ketika bel istirahat berbunyi, ia tidak beranjak sedikit pun dari kursinya. Bukannya membuka bekal atau ikut ke kantin, dia malah sibuk membolak-balik halaman buku paket sambil mencatat. Kadang, terdengar suara kecil dari ponselnya—video bimbingan belajar online, sepertinya.

“Eh,” gumam Zaryn pelan sambil sedikit mencondongkan tubuh ke arah Ayas, “Itu yang duduk depan sana, siapa, ya?”

Ayas melirik ke arah yang ditunjuk, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Oh, itu Islamia. Tapi semua orang manggil dia Mia aja.”

“Dia kayak... rajin banget, ya?”

Ayas mengangkat alis, setengah geli. “Itu bukan rajin, itu ambisius. Tiap istirahat, dia pasti belajar. Kadang sampe pas makan siang juga. Katanya sih pengen ranking satu terus. Kayak hidupnya digantungin di angka rapor.”

Zaryn mengangguk pelan, masih memperhatikan Mia yang tak menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan. Cewek itu tampak fokus menyalin materi, lalu jeda sebentar untuk melihat layar ponselnya—dan kembali mencatat. Polanya nyaris seperti robot.

“Tapi, dia kelihatan tenang,” ujar Zaryn lirih.

“Tenang?” Ayas terkekeh. “Nanti aja lo lihat pas nilai ulangan keluar. Kalo nilainya cuma 90, bisa-bisa dia nulis esai tiga halaman tentang ‘kenapa aku gagal jadi manusia’. Gue pernah lihat dia diem sepanjang hari cuma gara-gara salah satu jawabannya dikoreksi salah.”

Zaryn membulatkan mata, lalu ikut tertawa kecil. “Wow. Ekstrem juga, ya.”

“Tapi dia baik, kok. Nggak nyolot, nggak songong. Tapi... ya gitu, dunianya tuh belajar, belajar dan belajar."

Ayas memberi kode agar Zaryn mendekat, kemudian berbisik, “Kamu naksir sama dia?”

“Hah? Eng... enggak kok, cuman nanya aja.”

“Bagus, deh. Karena sepertinya kamu sama dia bakal jadi saingan ranking.”

Saingan? Oh, tidak. Zaryn menghela napas berat. Dia hanya ingin beradaptasi dengan mudah dan nyaman dari segala masalah.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
JEANI YOONA?
412      295     0     
Romance
Seorang pria bernama Nicholas Samada. Dia selalu menjadi korban bully teman-temannya di kampus. Ia memang memiliki tampang polos dan bloon. Jeani seorang perempuan yang terjebak di dalam nostalgia. Ia sangat merindukan seorang mantan kekasihnya yang tewas di bunuh. Ia susah move on dari mantan kekasihnya hingga ia selalu meminum sebuah obat penenang, karena sangat depresi. Nicholas tergabung d...
After School
3314      1362     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Langit Tak Selalu Biru
81      68     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
TAKSA
406      316     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Secrets
4276      1369     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Luka Adia
827      503     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
586      330     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Katamu
3059      1163     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1357      893     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
536      414     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...