Loading...
Logo TinLit
Read Story - Konfigurasi Hati
MENU
About Us  

Jalan desa yang dilewati Mia lengang seperti biasa, hanya sesekali terdengar suara motor melintas atau ayam tetangga yang berkokok. Rumah-rumah berjajar rapi, kebanyakan adalah rumah satu lantai dengan pagar sederhana dan halaman kecil di depannya. Meski bukan kawasan elit, lingkungan ini cukup nyaman dan bersih—bukan desa yang tertinggal, tapi juga tidak padat seperti di kota.

Mia melangkah pelan di jalan beraspal yang agak lembap karena hujan semalam. Ujung sepatu hitamnya sudah basah terkena genangan di sisi jalan, dan bahunya sedikit miring ke kanan, menanggung berat tas yang tak pernah ia kurangi—seolah beban hidupnya memang tak bisa dikurangi.

Sudah lima hari ia pulang sekolah sendirian. Papa dan Mama belum kembali. Katanya cuma dua hari menemani Azam, tapi sekarang sudah hampir seminggu. Jalan kaki makin terasa melelahkan. Sepedanya rusak, Papa belum sempat memperbaiki.

Suara derit rantai sepeda terdengar mendekat dari belakang. Awalnya Mia tak peduli. Tapi ketika sepeda itu memperlambat lajunya dan si pengayuhnya turun kemudian menjajari langkahnya, ia akhirnya menoleh—terpaksa.

“Islamia, ya?”

Zaryn. Anak baru itu.

Cowok berkacamata itu tersenyum ramah. Seragamnya masih rapi, sepedanya bersih, dan wajahnya terlihat ceria. Mungkin terlalu ceria bagi Mia yang sedang ingin marah ke siapa saja. Mia merasa tidak siap untuk berbagi energi dengan orang lain hari ini—bahkan hanya untuk menyahut sapaan barusan.

Kepalanya masih dipenuhi tugas, jadwal ulangan, dan kekhawatiran tentang kedua orang tuanya yang belum juga pulang. Lalu sekarang, muncul wajah baru yang ikut menambah kerunyaman isi kepalanya. Mia mengumpat dalam hati—Sial.

“Iya,” jawab Mia pendek.

“Ternyata rumah kita deketan, ya.”

Mia hanya mengangguk. Tidak menjawab. Dalam hati, ia berharap Zaryn berhenti bicara. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons keramahan orang yang sudah dia anggap sebagai musuh.

“Kamu setiap hari jalan kaki?” tanya Zaryn, mencoba mencari celah percakapan.

“Enggak,” ketus Mia.

Zaryn tidak menyerah. “Aku naik sepeda biasanya. Lewat gang belakang, tapi lagi ada hajatan.”

Langkah Mia tetap lurus. Matanya menatap ke depan. Tapi Zaryn tetap di sebelahnya, menuntun sepedanya seperti tidak sadar ia sedang ditolak halus.

“Rumahmu yang pagar hitam itu, ya? Aku baru pindah minggu lal-”

“Mau kamu apa, sih?” potong Mia tiba-tiba. Alis matanya terangkat sedikit. Suaranya datar, tapi jelas tak nyaman.

Zaryn terdiam sejenak. “Cuma menyapa. Kita sekelas, kan.”

Mia mendesah. “Aku nggak butuh temen baru.” Lalu ia mempercepat langkahnya, meninggalkan Zaryn yang masih berdiri di tempat. Sedikit terkejut dengan sikap Mia.

Yang membuat Mia lebih kesal lagi sebenarnya bukan karena Zaryn terlalu ramah, tapi karena si anak baru itu langsung masuk daftar kandidat peserta Olimpiade Sains Fisika. Namanya sudah ada di grup bimbingan khusus, bahkan sebelum Mia sempat pulang membawa kabar kalau ia berhasil jadi kandidat peserta Olimpiade tahun ini.

Rasanya seperti seseorang datang dan merebut kursi yang selama ini hanya miliknya. Dunia belajar yang biasanya jadi tempat paling aman, kini terasa terancam. Kalau sampai Mama dan Papanya tahu, entah berapa panjang wejangan yang akan diterimanya nanti.

Sesampainya di rumah, Mia membuka pintu dan membantingnya sedikit. “Arghh!! Sialan!” umpatnya sembari melemparkan tas punggungnya ke atas sofa.

Meskipun Zaryn tak pernah benar-benar melakukan kesalahan, kehadirannya membuat Mia seperti kehilangan kendali atas peringkat yang selama ini ia pertahankan. Keberadaannya terasa seperti hama kecil yang diam-diam menggerogoti tanaman yang selama ini ia rawat dengan penuh cinta.

***

Jam terakhir selesai, Pak Rudi mengumpulkan dua belas siswa yang terpilih sebagai kandidat peserta olimpiade ke laboratorium fisika yang ada di sebelah perpustakaan. Ruangan itu tidak terlalu luas, namun cukup untuk menampung mereka yang terpilih untuk bimbingan intensif Olimpiade sore ini.

Ruangan itu sudah di tata rapi seperti kelas pada umumnya. Di tengah ruangan yang sebelumnya terisi lemari etalase tempat menyimpan alat praktikum, di geser ke sudut dekat rak buku kecil. Empat baris bangku lengkap dengan meja ditata berjajar ke samping dan tiga baris ke belakang.

Mia duduk di deretan depan. Ia ingin fokus seperti biasa. Tapi keberadaan seseorang di bangku sebelah kanannya terus mengusik konsentrasinya.

Zaryn.

Mia semakin merasa terusik ketika Zaryn dengan cepat menjawab soal pertanyaan yang di lemparkan Pak Rudi.

“Sebuah pegas dengan konstanta pegas sebesar 200 N/m disimpangkan dengan energi potensial sebesar 4,0 J. Berapa besarnya pertambahan panjang pegas tersebut?” ujar Pak Rudi membacakan pertanyaan kedua.

“20 Joule,” jawab Zaryn.

Lagi, dan lagi dia mendahului Mia. Kali ini lebih singkat. Hanya perlu waktu satu menit.

“Iya, betul. Pertanyaan selanjutnya, Jika energi elektron atom hidrogen pada tingkat dasar – 13,6 eV, maka energi yang diserap atom hidrogen agar elektronnya tereksitasi dari tingkat dalam ke lintasan kulit M adalah?”

Butuh lebih dari lima menit untuk Mia dan Zaryn menyelesaikan soal tersebut. Kali ini keduanya menjawab hampir bersamaan. Mia menjawab 10,09 elektron volt, sementara Zaryn menjawab 12,09 eV.

Pak Rudi melihat kertas jawaban sekilas, “Seratus buat Zaryn,” tandasnya.

“Ayo semangat Mia!” tutur Pak Rudi melihat raut wajah Mia yang terlihat kusut.

Mendengar kalimat itu malah semakin menambah rasa kesal yang sudah sejak tadi dirasakan Mia. Semangat? Kata itu terdengar seperti ejekan bagi Mia.

“Soal sebelumnya hanya pemanasan, ini beberapa soal lagi biar kalian makin semangat.”

Pak Rudi membagikan lembar soal ke masing-masing siswa. Di pojok kanan atas kertas itu tertulis: Soal Seleksi Olimpiade Sains Nasional – Fisika Tingkat Kabupaten tahun 2024. Soal tahun lalu.

Begitu Mia membaca deretan angka dan simbol yang familier, ia tahu ini bukan sembarang latihan. Soal-soalnya mencakup semua bab yang ada di materi kelas 10 hingga 12. Soal yang layak bikin kepala siapa pun pening.

Ruangan itu seketika berubah hening. Suara kertas dibalik, detak jam, dan desis AC tua menjadi latar dari ketegangan yang mencengkeram udara.

Mia mencoba mengatur napas dan menenangkan pikirannya, mengingat ia bukan satu-satunya yang berasal dari kelas sepuluh. Selain dirinya dan Zaryn yang masuk cabang fisika, ada Agis dan Sulhan—matematika, kemudian ada Tara dan Tyo untuk bidang biologi.

Sementara enam lainnya berasal dari kelas sebelas. Senior. Orang-orang yang sudah lebih dulu dianggap jago.

Dari sudut matanya, Mia melihat Zaryn mencoret lembar jawab dengan lancar. Raut wajahnya tenang, dan jemarinya ringan mengisi ruang kosong dengan angka-angka dan logika yang nyaris tak terdengar.

Mia mendesah dalam hati. Rasanya seperti ikut lomba lari, tapi start-nya sudah ketinggalan. Biasanya, ia adalah yang paling sigap. Tapi sekarang, ia masih membaca soal pertama, sementara Zaryn seolah sedang mengulang pelajaran yang sudah ia kuasai sejak lama.

Tangannya akhirnya bergerak, menulis rumus dasar elastisitas, menghitung panjang pegas dari energi potensial yang diberikan. Mia tidak mau tertinggal lebih jauh.

Pak Rudi berjalan mengitari ruangan. Sesekali berhenti di belakang kursi siswa, memberi catatan ulasan singkat.

Waktu satu jam berakhir. Pak Rudi meminta lembar soal dikumpulkan dan memberikan beberapa komentar sebelum menutup bimbingan hari itu.

“Awal yang bagus, semua! Semangat terus! Saya ingin lihat semangat kalian di minggu-minggu ke depan. Ingat, yang dikirim mewakili sekolah cuma satu orang per bidang. Jadi gunakan bimbingan ini sebaik-baiknya.”

Para siswa bimbingan intensif mulai berkemas. Mia memasukkan pulpennya dengan kasar ke dalam tas. Ia keluar ruangan lebih cepat dari yang lain. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara di belakangnya.

“Mia!"

Ia menoleh setengah malas. “Apa?”

Zaryn mengangkat map soal latihan yang diberikan Pak Rudi di akhir sesi untuk pekerjaan rumah. "Tentang bab fluida... kalau boleh, aku mau lihat ringkasan kisi-kisi yang udah kamu buat. Aku belum sempat pinjam buku paket yang Pak Rudi rekomendasikan.”

Mia menatapnya dengan dahi berkerut. “Ringkasan?” Nada suaranya dingin. “Kamu belum sempat pinjam buku, terus langsung mau ringkasan orang lain?” sarkasnya.

Zaryn mengangkat tangan, seolah mencoba menenangkan. “Maksudku bukan—”

“Ya, aku tahu maksudmu,” sergah Mia cepat. “Kamu datang-datang minta lihat ringkasan kayak semua usahaku bisa kamu salin begitu aja. Aku belajar sampai tengah malam buat bikin itu, dan kamu pikir cukup bilang ‘belum sempat pinjam buku’?”

Zaryn terlihat agak bingung, mungkin tidak menyangka respons Mia sekeras itu. “Mia, aku cuma minta bantuan. Bukan maksud nyontek atau manfaatin kamu.”

Mia menyilangkan tangan, wajahnya kaku. “Aku belajar keras buat nyusun kisi-kisi itu, bukan buat dibagiin ke orang yang bahkan enggak berusaha buat cari buku sendiri.” Mia menjeda sebentar untuk mengatur napasnya yang tiba-tiba sesak karena ledakan emosi.

“Kalau kamu mau bersaing, jangan pake cara kotor kayak gini,” katanya sebelum berlalu pergi.

Di dalam kepalanya penuh sesak oleh suara-suara gaduh yang tidak bisa dijelaskan. Yang jelas semua itu berasal dari amarah dan jengkel yang akhirnya meledak. Ia tak peduli jika orang lain menganggapnya terlalu keras. Baginya, usaha tak boleh diminta—itu harus dicari dan diperjuangkan sendiri.

Zaryn menundukkan kepala sambil menghela napas berat. Ternyata Mia sekeras itu. Ah, mungkin dirinya yang terlalu sok akrab, pikirnya.

Zaryn berdiri cukup lama di koridor yang mulai sepi. Jemarinya menggenggam map soal, tapi pikirannya justru terhenti di ucapan Mia barusan. Ada luka yang terasa—bukan karena ditolak, tapi karena disalahartikan. Namun ia tak bisa menyalahkan Mia. Ia melihat sendiri bagaimana raut lelah dan tekanan yang menyelimuti gadis itu sejak hari pertama.

Zaryn melangkah pelan meninggalkan laboratorium, menuntun sepedanya seperti tadi pagi. Tapi kali ini, pikirannya tidak ringan seperti biasanya. Ada sesuatu yang membuat langkahnya mulai terasa berat.

Sementara itu, di rumah, Mia duduk di meja belajarnya dalam diam. Buku-buku terbuka, lampu belajar menyala, tapi tak satu pun baris rumus yang berhasil menenangkan pikirannya. Ia memutar ulang kejadian hari ini—mulai dari pagi sampai detik terakhir di depan lab. Ada rasa lega karena sudah meluapkan emosi, tapi juga ganjalan yang tak bisa dijelaskan. Apakah ia terlalu kasar tadi?

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Azro.

 “Kata si Tara kamu marah banget sama Zaryn di lab tadi? Kenapa?”

Mia tak langsung membalas. Ia menatap langit-langit kamarnya. Beberapa bintang yang terpasang disana mulai terkelupas. Mia mengetikan balasan :

 “Enggak apa-apa. Cuma lagi capek aja.”

Setelah mengirim itu, Mia membuka kembali map kisi-kisi yang ia buat. Menyelaminya hingga rasa kantuknya datang.

Seperti dua lintasan paralel, Mia dan Zaryn tak pernah bersinggungan, tapi keberadaan satu sama lain cukup untuk menciptakan tekanan—diam-diam saling bersiap, meski tak ada yang benar-benar memulai perlombaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Beach love story telling
3033      1485     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Ghea
476      314     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
3412      1720     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Venus & Mars
6078      1570     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
Alfazair Dan Alkana
284      231     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
Dia yang Terlewatkan
396      272     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Kalopsia
746      549     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
Reminisensi Senja Milik Aziza
917      490     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
Warisan Tak Ternilai
580      237     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?