Sebuah mobil avanza hitam berhenti tepat di depan Bianna yang tengah menunggu sendirian di tepi jalan. Begitu kaca pengemudi diturunkan dan menampakkan Selena yang tengah tersenyum ke arahnya, Bianna pun segera masuk ke dalam mobil.
“Sudah selesai kegiatannya sayang?” Tanya Selena lembut, spontan membuat Bianna tersentak kaget.
" Tumben ," Bianna membatin seraya tersenyum tipis. Gadis itu pun mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan ibunya. Selama mobil berjalan, Selena tak juga melepaskan senyumnya. Hal itu jelas membuat Bianna bingung setengah mati, dan kini lidahnya gatal karena ingin bertanya.
Bianna membuang pandangannya ke jalan raya, lalu berdeham.
“Ma, hari ini lagi seneng ya?” Bianna mengucapkan kalimat tersebut dengan sangat pelan. Namun, ketenangan yang mengudara membuat Selena dapat menangkap pertanyaan yang dilontarkan Bianna.
"Iya," balas Selena singkat tanpa mengalihkan pandangan yang tengah fokus menyetir.
"Ooh, karena Bailey ma?" Celetuk Bianna ragu.
"Bukan, tapi karena anak mama yang paling cantik yang duduk di samping mama sekarang," kata Selena sambil menoleh ke arah Bianna.
Bianna yang awalnya melihat pemandangan kios-kios yang penuh kerlap-kerlip di sepanjang jalan, refleks menoleh dengan hati yang berdebar.
"K-karena aku? Kenapa?" Tanya Bianna tergagap dan tiba-tiba degup jantungnya berdetak tidak normal.
Selena berhenti sejenak, lalu dia memelankan laju mobilnya karena terdapat lampu merah di depan sana. Ketika mobil berhenti di depan trotoar, Selena memusatkan seluruh atensi ke arah anaknya.
"Kamu ikut kelompok belajar kan, di sekolah? Mama mendukung banget kalau kamu akhirnya bisa menemukan cara yang tepat untuk belajar. Bukan dengan menghabiskan waktu nggak jelas buat menggambar dan melukis di kamar," ucap Selena dengan nada sarkas.
Jleb. Seumpama busur yang ditembakkan tepat ke arah jantung. Rasa sakit tak berdarah itu langsung menyebar dan membuat telaga mata Bianna memanas. Dia segera memalingkan wajahnya, ketika air matanya luruh begitu saja.
Bianna paling benci saat orang lain melihatnya menangis. Oleh karena itu, dia selalu memastikkan untuk menangis pada saat yang tepat, ketika tidak ada satupun yang memperhatikannya. Namun sebenarnya, Bianna ingin kedua orang tuanya tahu, bahwa perasaannya sering kali terluka tanpa mereka perlu melihatnya menangis terlebih dahulu.
Bianna diam-diam mengepalkan tangannya. Kalau saja dia sedang tidak berada di mobil, pasti gadis itu sudah meninju apapun yang berada di sekelilingnya sampai tangannya terluka.
Bianna membiarkan air matanya membasahi kedua pipinya. Lalu, dia menoleh ke arah Selena.
“Mama kok, tau kalau aku ikut kelompok belajar di sekolah?” Tanya Bianna dengan suara getir.
"Soalnya mama sempet liat temen-temen kamu tadi. Semuanya keliatan seperti anak yang pinter dan berprestasi. Bukankah begitu?"
Bianna rasanya ingin tertawa-bahak setelah mendengar jawaban Selena yang tidak masuk akal.
" Mama tau nggak? Tadi tuh aku nggak belajar sama mereka. Aku sama temen-temen yang keliatannya pintar dan berprestasi itu lagi habisin waktu nggak jelas buat hal yang paling mama benci," seandainya Bianna bisa mengatakan semua itu. Tetapi Bianna memilih untuk menelan kembali kata-katanya karena dia tidak ingin berdebat dengan Selena.
Pertanyaan Selena pun dibiarkan menggantung begitu saja tanpa jawaban. Tak terasa, perjalanan yang menegangkan berlalu begitu cepat dan mobil kini telah memasuki pekarangan rumah. Seperti biasa, plang Diamonds In white Zone yang kini kehilangan cahayanya mencuri perhatian Bianna. Sebelum masuk ke dalam rumah, Bianna sempat memperhatikan cukup lama ke arah toko tersebut. Entah kenapa, rasa penasaran yang beberapa waktu lalu sempat membawanya mengunjungi tempat itu, tiba-tiba muncul kembali.
"Ck, lain kali aku akan ke sana lagi tanpa membawa Judy," kata Bianna, lalu masuk ke dalam rumah. Bianna baru saja menaruh tasnya ke atas sofa, ketika Selena tiba-tiba berteriak memanggil nama Bianna dari suatu tempat.
Bianna seketika terlonjak dan segera mencari keberadaan Selena. Namun, betapa terkejutnya Bianna saat dia menyadari bahwa pekikan itu berasal dari dalam kamarnya. Langkah Bianna tba-tiba terasa sangat berat. Dia menunduk sangat dalam, dengan tangan yang saling meremas ketakutan.
Gadis itu berhenti tepat di ambang pintu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat ibunya yang tengah mengacak-acak kertas gambarannya dengan wajah yang memerah akibat emosi.
Bianna menahan sekuat tenaga agar dia tidak berteriak meminta ibunya untuk berhenti. Sampai tiba-tiba, beberapa benda tumpul menghantam wajahnya dengan keras. Bianna meringis dalam diam, dengan kepala yang masih tertunduk dalam. Gadis itu menyaksikan bagaimana pensil warna yang baru saja dibelinya kemarin terbelah menjadi dua ketika menghantam lantai, dan sempat mengenai Judy.
Anjing itu menggonggong dengan liar, mengundang Bailey dan Noren untuk menyaksikan kekacauan yang terjadi. Bianna masih diam seribu bahasa, sementara itu, Selena mengangkat sebuah poster penuh warna yang tergeletak di dekat kakinya.
"Mama gak pernah ngizinin kamu ngabisin uang buat hal-hal kayak begini! Bukannya belajar kayak Bailey, malah main terus. Mau jadi apa kamu nanti kalau udah besar?!" Bentak Selena murka sambil merobek poster di tangannya tanpa ampun.
Bianna tidak sempat berlari untuk mencegah Selena. Kakinya seolah tertancap ke inti bumi dan lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Seumur hidup, meski berkali-kali mencoba untuk tidak melakukannya, tetapi kali ini Bianna merasakan emosi menguasai dirinya. Untuk kesekian kalinya,
"Bianna benci mama,"
☆☆☆☆☆
Sambil terisak, Bianna nekat berlari meninggalkan rumah. Walaupun dia sendiri tidak tahu kemana kakinya akan membawanya pergi, tapi yang diinginkan Bianna hanyalah menjauh dari rumah.
Namun sayangnya, tubuh Bianna kehilangan keseimbangan karena berlari terlalu cepat. Gadis itu pun akhirnya tersungkur tepat di depan toko Diamonds In White Zone. Dia meninju aspal berkali-kali untuk mengeluarkan emosi yang tertahan di dadanya sejak di rumah.
“Guk guk,” kepalan tangan Bianna langsung tertahan begitu mendengar suara Judy di dekatnya. Gadis itu pun meraih anjing kesayangannya dan memeluknya dengan erat.
"Judy nakal, kenapa kamu harus liat aku nangis hah?" Ketus Bianna seraya mengelus bagian telinga Judy yang tadi sempat terkena lemparan barang-barang di rumah. Anjing itu pun duduk sambil menatap sang majikan dengan mata yang penuh gemerlap. Bianna yang melihat itu tak bisa tidak luluh. Dia membiarkan anjingnya yang tampak ketakutan berada di pangkuannya.
"Baiklah Judy, hari ini kita akan tidur dimana?" Tanya Bianna dengan suara serak akibat menangis terlalu lama. Judy melenguh pelan, kemudian berjalan ke arah pintu Diamonds in white zone. Bianna menelengkan kepalanya pertanda tidak mengerti. Tetapi, seolah menangkap ekspresi yang Bianna tunjukkan, Judy lantas menggonggong dan menloncat-loncat di depan pintu toko tersebut.
Dengan panik, Bianna langsung berdiri dan menangkap tubuh Judy, lalu membawa anjing itu agar menjauh dari area toko.
"Apa yang kamu lakukan Judy? Kita nggak mungkin bisa menumpang tidur di sana," kata Bianna tegas seraya menatap tajam kedua mata Judy. Judy pun menjulurkan lidahnya seolah tidak bersalah, membuat Bianna otomatis mencebik melihat tingkah anjingnya itu. Setelah itu, Bianna tiba-tiba beralih melirik toko tersebut.
"Apakah pemiliknya nggak ada di dalam? Tidakkah dia terganggu dan ingin keluar untuk memeriksa anjing siapa yang membuat keributan tengah malam begini?" Tanya Bianna pada dirinya sendiri.
Entah bagaimana, semakin lama Bianna memperhatikkan plang toko yang kehilangan cahanya itu, rasa penasaran semakin mendorongnya untuk mendekat. Perasaan Bianna tiba-tiba menjadi ringan, tergantikkan oleh sebuah keinginan yang membuat kakinya terus melangkah dan tiba-tiba mendorong kenek pintu Diamonds in white zone secara perlahan.
Dia pun masuk bersama Judy yang mengikuti di sampingnya. Bianna tidak bisa melihat apa-apa selain gelap yang menerpa penglihatannya. Dia berjalan merapat ke dinding dan meraba-raba untuk mencari sakelar lampu. Untungnya, tombol sakelar berada di jangkauan yang dekat dengan gadis itu, sehingga Bianna dapat langsung menemukannya dan menyalakan lampu.
Masih sama seperti sebelumnya, tidak ada apa-apa di sana. Hanya ruangan putih hampa yang justru membuat Bianna kecewa. Gadis itu menghembuskan napas berat. Malam ini, kalau saja si pemilik ada bersamanya, dia akan meminta izin untuk menginap dalam sehari.
Bianna tahu itu adalah tindakan paling bodoh yang pernah dipikirkannya. Namun, Bianna benar-benar merasa tidak peduli meski bisa saja dia diusir setelah meminta izin untuk hal konyol seperti itu. Kini, Bianna menatap Judy dengan putus asa, lalu berjongkok.
"Baiklah Judy, ini keinginanmu kan? Kalau begitu, kita akan tidur di sini. Tetapi, bersiaplah jika pemiliknya datang dan mengusir kita," ucap Bianna sambil duduk bersila di tengah ruangan tersebut.
Judy dengan sigap meluncur ke pangkuan Bianna. Mereka berdua pun berusaha terlelap dengan posisi yang yang dapat membuat kaki Bianna terasa keram.
Waktu baru berselang sebentar, dan kaki Bianna tiba-tiba tidak bisa merasakan apa-apa. "Oh, keram," pikirnya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Bianna merasakan gravitasi di sekitarnya tiba-tiba menghilang dan tubuhnya mendadak menjadi seringan kapas. Bianna masih terpejam, dengan pikiran yang berkeliaran kemana-mana.
"Ada apa ini? Apa tubuhku melayang? Judy! Judy! Kamu dimana?" Pekik Bianna histeris ketika menyadari tubuhnya sudah jauh dari tanah. Bianna menggeliat ketakutan, berharap tubuhnya bisa kembali berada di bawah. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Bianna malah terbang semakin tinggi, dan tiba-tiba, seolah ada magnet di antara tubuh dan pusat bumi, dirinya tiba-tiba terhempas dan jatuh begitu saja.
Bianna berteriak histeris sambil memeluk dirinya sendiri. Gadis itu meracau tidak jelas sementara angin yang kencang terus menampar wajahnya.
"Ya tuhan, biarkan aku masih hidup. Aku menyesal karena sudah kabur dari rumah. Aku masih pengen ketemu Bailey, dan minta maaf ke mama,"
"Oh iya, Judy. Judy maafkan aku. Karena aku kamu jadi terluka. Kuharap kamu bisa hidup lebih baik tanpaku nanti, selamat tinggal Judy,"
Suara berdebum yang sangat kencang seharusnya terdengar beberapa saat setelah tubuh Bianna menghantam tanah. Namun, gadis itu masih bisa merasakan jantungnya yang berdetak tidak keruan. Takut-takut, Bianna mengintip melalui celah matanya.
Dia langsung terlonjak ketika mendapati sesosok perempuan paruh baya tersenyum persis di depan wajahnya. Perempuan itu memiliki rambut yang hampir putih sepenuhnya. Kulitnya tampak mengendur, tetapi tidak menutup kecantikannya sama sekali.
Bianna mengontrol dirinya sejenak sebelum bertanya. Dia memberanikan diri untuk duduk dengan benar di hadapan perempuan tersebut.
"Ekhem, a-anda s-siapa?"
"Guk, guk," perempuan paruh baya itu segera menjawab. Bianna terkejut bukan main. Dirinya langsung kehilangan kata-kata begitu melihat segores luka di dekat telinga kanan perempuan itu, persis seperti luka di telinga Judy. Bianna menutup mulutnya tak percaya. Kedua matanya semakin membesar ketika melihat perempuan di hadapannya bertingkah seperti Judy, yaitu mengusap kedua telinganya kemudian berlari ke arah Bianna.
"Judy, kau kah itu?" Ucap Bianna lirih sambil menatap tepat ke manik milik perempuan di hadapannya. Lalu tiba-tiba, perempuan itu merengkuh tubuh Judy.
"Jangan lukai tanganmu seperti itu lagi ya sayang," katanya dengan suara yang membelai rungu Bianna. Gadis itu tidak bisa menahan lagi air matanya. Dia seketika menangis dengan puas di pelukan perempuan itu. Pelukannya yang hangat mampu membuat Bianna terasa nyaman.
Sudah lama sekali, semenjak kali terakhir Selena memeluknya. Namun, Bianna masih ingat dengan jelas bagaimana rasanya pelukan Selena mampu menghangatkan hatinya ketika sedang merasa gelisah atau ketakutan. Dan hari ini, Bianna merasakan perasaan itu lagi, dari pelukan perwmpuan asing yang baru tiba-tiba muncul di hadapannya.
Hal konyol lagj-lagi melintas di pikiran Bianna. "Jangan-jangan, tuhan sengaja mengirimkanku sosok yang hangat sepertimu, agar aku bisa tidur malam ini."
Beberapa saat kemudian, Bianna terlelap dengan hati yang terasa lapang, dan di dalam pelukan perempuan asing yang baru saja ditemuinya.