Katanya, jadi orang gak boleh jahat. Sebisa mungkin, kalau punya rasa, jangan sampai rasa itu berubah jadi kebencian yang malah nambah beban hati. Di sisi lain kalau bersikap baik, kita bisa jaga hubungan dengan orang lain, bisa rawat kedamaian juga.
Tapi, rasanya ... hal baik juga perlu porsi.
Kebaikan yang terus menerus diberi ke orang lain tanpa memikirkan diri sendiri itu, lama-lama bisa jadi hal yang melelahkan.
'Lama-lama, bisa jadi hal yang melelahkan.'
Tanpa suara, Reiji memikirkan hal yang sama, saat mata kirinya menatap kosong ke arah langit. Seolah-olah langit bisa menjawab keraguannya, dalam diamnya kata-kata itu terus berputar di kepalanya.
Reiji menghembuskan napas ke jendela kaca di hadapannya, embun hangat dari helaan itu membuat dunia di depan sana sedikit buram tak terlihat lagi.
Ah ... barusan yang terjadi tadi, mengingatkannya pada satu hal.
Ia tahu, dulu Reiji punya hati yang bening. Tapi setelah berkali-kali menampung rasa orang lain tanpa mau dibersihkan, kini yang tersisa hanya siluetnya yang samar, tak bisa ia kenal i lagi.
Reiji menyapukan satu jarinya ke permukaan kaca, menggambar bentuk hati di antara embun tadi. Tapi, bentuk hati itu tak bertahan lama saat Reiji kembali menghembuskan napas. Hembusan itu menghapusnya perlahan, tanpa meninggalkan jejak.
Rasanya sama seperti usahanya selama ini. Ada, tapi cepat dilupakan.
Reiji menurunkan jarinya, pemuda itu perlahan menutup tirai dengan gerakan perlahan, seolah-olah dengan menutupnya, Reiji bisa menghindari semuanya.
"Ck, sejak kapan udah hampir sore?" gumamnya pelan.
Suasana di kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jam kecil pemberian Ibunya di atas meja.
'Tin... tin.... '
Reiji yang tadinya ingin beranjak pergi dari dekat jendela, pandangannya kini beralih menerobos di sela-sela kain, berusaha ingin memastikan dari mana suara klakson mobil itu berasal.
"HAH?!"
Mata kirinya melebar, merasa tak percaya dengan pemandangan yang baru saja dia lihat dari rumah tetangganya. Rumah yang sudah kosong hampir lima tahun itu, kini pemiliknya kembali lagi entah itu hanya ilusi yang Reiji buat atau benar kenyataan.
Reiji berbalik badan, lalu mulai beranjak dengan langkah yang sedikit tergesa namun berusaha untuk tetap tenang.
"Mas kamu tuh hati-hati, baru sembuh itu, jangan dibawa lari!"
Suara perempuan dari ruang tengah menyapa telinganya.
Langkah Reiji terhenti di anak tangga terakhir, pemuda itu mengedikkan bahu lalu melepas penyangga lutut kain berwarna abu-abu yang masih membalut lutut kanannya. Meski cederanya sudah hampir pulih, tapi bekas dislokasinya terkadang masih terasa ngilu.
Sayangnya, Reiji bukan termasuk orang yang suka mengeluh. Dia juga tak bisa diam di kamar terlalu lama, kepalanya justru semakin berisik saat Ibunya selalu memintanya untuk beristirahat.
"HIHHH, MASS! JANGAN BANDEL, JANGAN SAMPAI KE UGD LAGI!"
"Iya, Bu. Udah sembuh ini," jawab Reiji.
Ibunya tak tahu ingin menegur putranya bagaimana lagi saat melihat Reiji sudah berjalan santai ke luar rumah melewatinya. Oh, yang paling membuat wanita itu semakin lelah dan geram, Reiji dengan aksi sok nya itu melepas kain penyangga di lututnya.
Putranya baru saja pulih dari cedera setelah membantu temannya melawan preman, memang bagus, perbuatannya baik, tapi yang membuat Ibunya semakin ingin marah, kaki Reiji terpelintir dan yang menjengkelkannya lagi, Reiji sama sekali tak mendapat ucapan terimakasih atau permintaan maaf.
Memang, siapa yang tidak jengkel?
Sepertinya hanya Reiji.
***
Reiji sedikit mengintip rumah tetangganya dari teras rumah. Cela-cela dari gerbangnya membuat Reiji semakin jelas melihat keadaan rumah tetangganya yang ada di hadapan rumahnya.
"Kak Cana! Di sini ada kucing?!"
Reiji mengerutkan dahinya, bingung. Yang membuatnya ingin turun dari kamarnya itu karena ingin melihat apakah sahabatnya Cana ikut pulang atau tidak, karena terakhir kali yang Reiji tahu, Cana pergi ke Bandung ikut Ayah dan Ibunya. Tapi saat Reiji mendengar suara teriakan manis yang seperti terdengar dari suara seorang gadis, Reiji mulai penasaran.
"Heh, ngapain lo?"
Reiji mengelus dadanya sedikit terkejut dengan suara yang barusan berhasil mematahkannya dari lamunan.
Pemuda itu menatap malas ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dari bagasi. Kakaknya Indy itu memang sering nongkrong di bagasi hanya untuk mengubah motornya menjadi motor rongsokan menurut Reiji.
"Apa sih," balas Reiji.
Indy menyipitkan matanya curiga, senyum misterius yang mulai muncul saat matanya tak sengaja melihat mobil yang sudah lama tidak dia lihat kini ada di pandangannya.
"Bestie lo tuh udah balik, peluk gih," ucapnya seraya mendorong pelan sang Adik.
Reiji mendengus, sedikit kesal dengan Kakaknya yang masih suka meledek perpisahannya dengan Cana lima tahun lalu. Yah~ kalau diingat memang memalukan, pantas Indy suka sekali mengejek.
"Ck, balik lagi sono benerin motor, pusing gue denger suaranya," usir Reiji.
Indy masih ingin meledek Adiknya habis-habisan sebenarnya, tapi melihat wajahnya Indy jadi tak tega, sedikit.
"Bilang aja lo ngiri sama motor gue, yekan?"
"Najis, pergi sono."
Reiji kembali memandang rumah sahabatnya setelah memastikan Indy masuk ke dalam rumah. Pemuda itu sedikit menimbang ingin menghampiri rumah Cana atau memilih menunggu Cana datang ke rumahnya.
"Hahaha Kak Cana!"
Suara itu kembali terdengar, sekarang tawanya yang menyapa pendengaran Reiji. Tawa yang terdengar jelas, membuat Reiji tanpa sadar melangkah maju ingin melihat lebih jelas.
***
Huhuhu
Comment on chapter Chapter 2 Meera