“Ada kabar apa hari ini?” tanya Dad ketika mereka bertiga duduk di meja makan untuk makan malam.
Satu minggu berlalu sejak kehebohan audisi yang melibatkan seluruh anggota inti klub tari kecuali dirinya dan hari ini, akhirnya, akhirnya kehebohan tersebut mencapai puncaknya. Sungguh plot twist yang tidak terduga ketika Mr. York mengumumkan jika dirinya lolos audisi.
Luar biasa.
Benar-benar luar biasa, tapi kehebohan ini bukan termasuk kabar yang ditanyakan Dad bukan?
Seharusnya begitu. Cukup Mom saja yang tahu perihal audisi, Dad tidak perlu tahu juga.
“Nggak ada kabar apa-apa, hanya sekolah seperti biasa,” jawab Dow di tengah-tengah kesibukannya menikmati Casserole spesial Mom.
“Hm-hm,” Dad menggeleng. “Bukan itu, maksudku audisi. Bukankah hari ini pengumumannya?”
“Audisi?” ulang Dow. Ia menatap Dad dan Mom bergantian. Audisi yang ditanyakan Dad bukan audisi itu, kan?
Atau memang audisi yang sama?
Dad tengah menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu sedangkan Mom tidak menunjukkan reaksi apa-apa, hanya menikmati makan malamnya.
Hm … Aneh.
“Audisi tari minggu lalu,” akhirnya Dad menjelaskan.
Dow menatap Dad lurus-lurus, masih tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Darimana Dad tahu soal pengumuman audisi?
Mendadak bulu-bulu di sekujur tubuh Dow berdiri, perutnya seketika mulas. Jangan sampai kecurigaannya benar.
“Bagaimana Dad tahu soal audisi?” tanya Dow.
Mom hanya mengangkat bahu ketika Dow menatapnya.
Perut Dow semakin tidak nyaman, tapi ia berusaha untuk tidak berpikir apapun mengenai Dad. Tidak juga ketika ucapan Mr. York kembali terngiang di telinganya.
Ada orang lain yang mengirimkan profilmu. Ucapan Mr. York terngiang kembali di telinganya.
“Kita membicarakannya di galeri, ingat,” Dad mengingatkan.
“Tentu ingat, tapi apa yang membuat Dad berpikir aku ada hubungannya dengan pengumuman tersebut?”
“Kau benar-benar tidak ikut audisi?” tanya Dad sambil mengunyah Casserole dengan santai, seolah tidak menyadari jika topik yang dibicarakan tergolong sensitif.
Dow menggeleng.
Dad tertawa seraya menunjuk Dow dengan garpu. Lalu berkata dengan nada bangga, dan puas terhadap dirinya sendiri.
“Nasib baik aku membiarkan Lucas membawa video-video itu.”
“Video?”
“Oh, video tarimu.”
Dow menatap Dad, dan Mom bergantian. Otaknya masih tidak bisa mencerna apa yang barusan ia dengar.
“Aku … masih belum paham,” kata Dow.
“Lucas adalah salah satu juri audisi, dan kami berteman,” Dad mengedikkan bahu.
Jika sebelumnya Dow hanya menatap Dad lurus-lurus, kini ia benar-benar ternganga. Jadi biang kerok yang dicarinya seharian ini adalah…. Dad?
Dad?
Tapi dirinya masih butuh kejelasan sedetil-detilnya.
“Jadi … maksudnya secara kebetulan si Lucas ini teman Dad, tiba-tiba tahu aku bisa menari, dan bisa mendapatkan videoku menari?”
“Kau tahu yang namanya Youtube?” tanya Dad.
Dow paham pertanyaan Dad retoris, jadi dia tidak repot-repot untuk menjawab, lagi pula dirinya masih berusaha menekan kemarahan yang mulai merangkak naik ke permukaan.
“Videomu ada di mana-mana, Dow, begitu Lucas tahu sekolahmu mendapat undangan audisi tapi namamu, dan kau sendiri tidak muncul, Lucas mencariku.”
Dow masih tidak bisa mempercayai pendengarannya. Dad punya koneksi dengan petinggi agen bakat?
“Jadi maksudnya Dad memberikan videoku ke juri?” tanya Dow memastikan, walaupun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Dad mengangkat bahu. “Lucas hanya minta dua atau tiga video, tapi dari range usia yang sangat jauh. Apa aku tidak memberitahumu?”
Sekali lagi Dow hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia tidak yakin bisa menjawab pertanyaan Dad dengan jawaban yang wajar. Dow benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, ia masih terlalu shock dengan pengakuan Dad.
“Ah, berarti aku lupa,” tambah Dad ringan, seolah campur tangannya soal audisi tersebut bukan masalah besar. “Tapi bagus, kan? Kau tidak perlu capek-capek datang ke sana untuk audisi? Jadi katakan padaku, bagaimana hasilnya?”
Rasa tidak nyaman di perutnya berubah menjadi amarah nyaris tidak bisa dikendalikan lagi, dan pertanyaan terakhir benar-benar menjadi pemicu.
Memang, harus diakui Dow, ada sebagian dari dirinya yang bangga atas perhatian Dad. Tapi bukan itu akar masalahnya.
“Dad nggak seharusnya ikut campur urusan beginian. Aku sudah memutuskan untuk nggak ikut, seharusnya Dad menghormati keputusanku,” desis Dow.
Dad meletakkan garpu, pun begitu dengan Dow. Kedua orang itu duduk tegak, saling berhadapan, membuat aura ruang makan kental akan tensi yang tinggi.
Mom yang duduk di samping Dad hanya menatap suami, dan putranya bergantian. Beliau memang tidak pernah ikut campur ketika Dad, dan Dow terlibat adu argumen. Baru setelah mereka selesai beliau akan bicara dengan mereka secara terpisah.
“Ada alasan yang masuk akal kenapa kau memilih untuk melewatkan kesempatan emas ini?” tanya Dad kalem. Entah untuk meredakan tensi antara dirinya dan Dow, atau memang beliau merasa tidak ada masalah dengan apa yang diributkan Dow.
“Dad tahu dengan jelas aku nggak berencana menjadi penari profesional, much less a celebrity,” jawab Dow.
“Kalau kau tidak ikut audisi hanya karena alasan, kau bercita-cita menjadi dokter hewan, maka itu bodoh,” kata Dad.
Dow menatap Dad dengan kedua alis terangkat tinggi-tinggi.
“Menjadi dokter hewan adalah rencana masa depan, sedangkan audisi ini adalah kesempatan di masa sekarang. Menjadi dokter hewan, kau masih harus mengikuti serangkaian tes—masih nanti, kau bahkan belum tahu tesnya kapan—yang juga punya dua kemungkinan, lulus atau tidak. Jadi apa bedanya dengan audisi? Mungkin kau lolos, mungkin tidak. Kalau lolos dan kau tidak ingin melanjutkan, kau bisa menolak tawaran apapun yang mengikutinya. It’s not a big deal but you still snatch the chance. See? Oh satu lagi,” kata Dad ketika Dow akan menyela. “Aku tidak pernah berharap kau menjadi selebriti.”
“Ha! Dad seharusnya berpikir seperti itu ketika memberikan video itu ke juri!” seru Dow.
“Kau tahu apa alasanku memberikan video itu? Terlepas dari bagian audisi atau tidak?” tanya Dad.
Dow menggeleng.
“Aku melihat sebuah talenta, dan aku ingin ada orang yang lebih tahu dari aku mengetahui talenta tersebut dan mengapresiasinya sebagai sebuah karya seni, bukan sebagai objek,” jelas Dad.
“Kurasa Dad ada benarnya. Aku tidak mengerti kenapa kau begitu keras menolak ikut audisi. Apa memang ada alasan lain selain rencanamu untuk ikut tes kedokteran?” agaknya Mom tidak tahan juga untuk tidak berkomentar.
“Apa alasanku penting? Kalian sudah memutuskan!” kata Dow sengit. Hilang sudah sedikit rasa bangga ketika Dad mengatakan beliau ingin karya tarinya diapresiasi sebagai karya seni, bukan sekadar objek.
“Seperti yang kubilang, it’s not big of a deal—“
“But it is, Dad!” potong Dow. “Bagaimana bisa kau bilang nggak? Yang nggak aku mengerti di sini adalah, kebanyakan orang tua akan mendorong anaknya menjadi dokter atau pengacara, belajar yang benar dan mendapatkan pekerjaan yang stabil.”
“Nah, itu bukan aku,” kata Dad ringan. “Belajar yang benar? Tentu, kau harus melakukannya. Apa pernah aku membiarkanmu bermalas-malasan? No. And in case you forget, pekerjaanku juga tidak stabil, whatever that means. Jadi kenapa aku harus menekanmu untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil?”
Untuk pertama kalinya Dow sadar, jika Dad juga bekerja di dunia seni. Sebagai putra pemilik galeri seni, kenapa ia mesti bertanya-tanya darimana bakat tarinya berasal? Darah seni mengalir dari kedua orang tuanya. Jadi mungkin saja, bagian dirinya yang menonjol adalah tari. Bukannya menjadi kurator seni ataupun pengrajin perhiasan seperti Mom.
“Aku nggak ingin membicarakan hal ini lagi. Terima kasih untuk makan malamnya.”