“Kau sedang memikirkan audisi?” tanya Oi sambil mengayuh sepedanya pelan, menyesuaikan ritme dengan Dow yang berjalan di sisi kiri jalan.
Dow menoleh, senyum kecil menggantung di bibirnya. Tapi Oi tahu, bukan senyum bahagia. Itu senyum menghindar. Mereka meninggalkan Second Chances hampir satu jam yang lalu, dan sejak itu, Dow lebih banyak diam. Bukan hal aneh memang. Dow tak pernah jadi tipe yang cerewet. Tapi Oi yang mengenalnya sejak mereka masih di kandungan, sejak dunia belum mengenal kata ‘konflik batin’, tahu benar, ada sesuatu yang mengganjal di kepala sahabatnya.
“Menurutmu?” Dow mengedikkan bahu.
Oi mencebik. “Akuilah kalau ada sebagian dari dirimu ingin mengikuti audisi. Kau hanya terlalu sombong untuk mengakuinya, oh, bukan, terlalu malu untuk mengakuinya. Ya, itu yang lebih benar.”
“Sok tahu,” Dow berdecak.
“Aku benar, kan?” desak Oi sambil melirik ke samping.
Dow tidak menjawab, hanya menatap jalan di depan mereka. Asap dari kendaraan yang lewat sesekali membuyarkan pikiran mereka, tapi keheningan tetap menggantung lebih kuat.
“Terserah. Asal tidurmu nyenyak malam ini,” nada suara Dow tetap ringan, tapi tidak bisa menipu Oi.
“Kau tahu, Dow, ada banyak keuntungan kalau kau mau berpikir lebih rasional, dan tidak terlalu takut sama kata ‘berbeda’,” sekali lagi Oi berusaha untuk memancing Dow bicara lebih dalam.
Dow tertawa kecil. Ia berhenti, lalu menyandarkan sepedanya ke pohon di tepi jalan untuk duduk di trotoar. Oi menyusul, duduk di sampingnya. Pemandangan sore di kompleks itu seperti lembaran foto lama—tenang, dengan cahaya matahari yang perlahan mulai menyentuh atap rumah warga.
“Kau tidak akan menyerah, kan?” tanya Dow tanpa menatap Oi.
“Menurutmu?” Oi menjawab dengan nada yang sama seperti Dow sebelumnya. Ia menggoda, tapi juga tulus. Ia tahu, yang dibutuhkan Dow bukan dorongan yang memaksa, melainkan teman yang tetap duduk di sisinya meski dunia mengarah ke jalur lain.
Diam melingkupi mereka. Hanya suara burung, angin yang menyapu dedaunan, dan suara mobil yang lewat sesekali, menjadi latar dari percakapan yang belum selesai itu.
“Kenapa jalannya sepi, ya?” Oi akhirnya bertanya.
“Mana kutahu,” jawab Dow cepat. “Kenapa, sih, pertanyaanmu selalu random?”
“Kalau kutanya soal audisi, kau juga tidak mau menjawab dengan serius, kan?” Oi mencebik.
Dow menggeleng, lalu meregangkan kedua tangan ke atas kepala. Ia menghela napas panjang, seperti ingin menghembuskan semua keraguan yang menyesaki dadanya sajak kabar audisi muncul.
“Sebenarnya memang ada benarnya sih. Tapi aku tetap ingin jadi dokter hewan. Kadang aku merasa kalian semua adalah ujianku. Ujian untuk tahu, apa aku masih mau mengejar mimpiku, atau menyerah dan jadi penari.”
“Jadi kaupikir aku ini semacam setan?” Oi mendengus.
“Iblis, malah.”
“Hei!” sontak Oi berdiri berkacak pinggang. “Bagus sekali kau menyamakan aku dengan iblis—”
“Teriakanmu bisa membangunkan orang satu kompleks, kau tahu?” potong Dow. Sebelum Oi sempat membuka mulut lagi, Dow menambahkan. “Kau tahu aku bukan tipe yang impulsif. Semua pasti kurencanakan jauh-jauh hari, apalagi untuk masa depanku.”
Masih dengan muka cemberut, Oi kembali duduk di tempatnya semula.
“Ayolah, Dow, tidak ada salahnya impulsif sesekali, lagipula, ini bukan impulsif yang negatif.”
“Sekali lagi, kuanggap sebagai ujianku,” Dow mengedipkan matanya.
“Ujian, atau kau hanya termotivasi untuk membuktikan diri jika pilihanmu lah yang paling tepat? Dasar keras kepala,” Oi hanya bisa menggelengkan kepala dengan kemantapan hati Dow.
Dow mengalihkan pandangannya, kali ini ke langit yang mulai berubah warna.
“Kau sendiri?” tanya Dow, mencoba membalikkan situasi.
“Aku?” Oi sedikit terkejut.
“Apa kabar karya ilmiahmu?”
“Oh, itu?! Sangat baik, kau tahu, aku nggak salah pilih partner, Thomas tahu semua yang kubutuhkan. Aku nggak menyangka lho ada orang lain yang sama maniaknya,” cerocos Oi penuh semangat.
“Thomas, huh?” Dow mendengus.
“Kenapa?” Oi otomatis defensif dengan respons Dow.
Cowok itu seperti punya masalah serius dengan Thomas, padahal setahunya mereka berdua tidak pernah saling berinteraksi satu sama lain. Lagipula Thomas dan Dow berada di dua lingkaran pergaulan yang berbeda.
Alih-alih menjawab pertanyaan Oi, Dow malah berdecak.
“Menyebalkan memang, melihatmu bisa begitu yakin dengan setiap pilihanmu. Kau bercita-cita jadi Indiana Jones—”
“Arkeolog! Bukan Indiana Jones. Indi hanya visual, Dow, V I S U A L, kau tahu artinya visual?” sergah Oi.
Yang benar saja, seberapun dirinya terobsesi dengan Indiana Jones, dirinya juga tidak mungkin ‘bersaing’ dengan Harrison Ford, kan? Pertama beliau pria, dan yang kedua, Indy adalah tokoh fiksi. Tidak peduli seberapa besar cintanya pada arkeologi, dibandingkan dengan karakter fiksi itu terasa aneh.
“Whatever, pokoknya itu. Kau suka sejarah, dan ada lomba membuat jurnal ilmiah sejarah orang mati atau apalah yang horor begitu. Kenapa bukan esai mengenai tari coba?” gerutu Dow.
“Kau juga sama, kan? Kau suka tari dan ada audisi tari, cocok,” Oi menjentikkan jari di wajah Dow.
“Tapi aku nggak bercita-cita menjadi penari!”
“Baiklah, baiklah,” Oi mengangkat kedua tangannya di atas kepala. “Kita kembali ke titik 0. Perdebatan ini nggak akan pernah mendapatkan titik temu. Gezz.”
“Oi... kau sadar, nggak, kalau kau selalu jadi satu suara yang paling keras dalam hidupku,” Dow tertawa kecil.
“Kau butuh itu,” kata Oi ringan. “Karena kalau nggak, kau akan terlalu lama menunggu rencana sempurna yang tak akan pernah datang.”
Dow bertopang dagu, menatap jalan yang sepi, mungkin dia sedang mencerna ucapan Oi. Oi pun menambahkan, kali ini dengan nada lebih pelan.
“Kau tahu kenapa aku ambil semua kesempatan yang ada? Karena aku nggak mau menyesal. Aku tahu sebagian akan gagal. Tapi paling nggak, aku tahu bagaimana rasanya mencoba. Kau ... bahkan belum memberimu kesempatan untuk tahu apa yang akan terjadi.”
Dow menoleh, menatap Oi yang kini menatap jalan kosong di depan mereka. Matanya tidak segarang tadi, tapi lebih tenang. Lebih dewasa.
“Kau nggak harus ikut audisi untuk membuktikan apa-apa pada siapa pun,” lanjut Oi. “Tapi kalau kau memilih untuk nggak ikut hanya karena takut ... maka itu bukan keputusan, Dow. Itu penundaan.”
Dow tidak menjawab. Angin sore menyapu wajahnya, membuat rambutnya sedikit berantakan. Cowok mendongak ke langit yang mulai jingga.
“Masalahnya adalah, audisinya tadi pagi. Mungkin sekarang mereka sudah pulang.”
“Apa ini artinya seorang Dow menyesal?” Oi melirik ke Dow.
“Aku nggak pernah menyesal,” Dow menggelengkan kepala.
Oi terkekeh. “Ayolah, tunjukkan pada dunia kalau seorang Dow pun hanyalah manusia biasa.”
“Mungkin kau benar, aku perlu tahu apa rasanya gagal juga. Supaya aku bisa lebih yakin bahwa aku memilih jadi dokter hewan bukan karena lari dari mimpi lain,” Dow mengabaikan godaan Oi.
“Oh, aku memang selalu benar,” Oi tertawa senang. Ia berdiri, lalu mengulurkan tangan ke arah Dow. “Kalau begitu, mari kita pulang, calon dokter hewan yang bisa menari.”
Dow menyambut tangan itu, ikut berdiri. “Dan calon arkeolog yang nyaris seperti Indiana Jones.”
“Nyaris?”
“Oke, oke. Bahkan lebih keren dari Indiana Jones.”
“Itu baru benar,” Oi tersenyum lebar, lalu menepuk bahu Dow. “Kau akhirnya mengerti.”
Keduanya kembali ke sepeda masing-masing. Sore semakin larut, dan jalan yang sepi kini terasa lebih akrab. Mungkin karena percakapan panjang itu telah membuka pintu yang lama terkunci. Mungkin karena di titik persimpangan seperti ini, seseorang hanya butuh satu suara yang bersikeras bertahan.
Dan bagi Oi, ia akan terus menjadi suara milik Dow.