“Hai Emma,” sapa Dow.
Emma yang berjaga di konter resepsionis penampungan hewan Second Chances mendongak. Wajah wanita itu berbinar gembira ketika melihat Dow bersandar di depan mejanya.
“Hai Dow,” Emma menoleh melihat jam dinding, keningnya berkerut heran. “Tidak biasanya kau datang jam segini, tidak latihan tari?”
Yeps, Emma tahu hampir semua jadwal Dow, selain karena memang dekat, Dow, dan Oi menjadi relawan tetap di Second Chances. Disebut relawan tetap karena mereka berdua banyak menghabiskan waktu di sana meski tidak mempunyai tanda pengenal sebagai karyawan.
“Nggak ada latihan hari ini,” Dow mengangkat bahu. “Kau sudah makan siang?”
Emma menggelengkan kepala.
“Tidak ada yang menggantikanku, hari ini hanya berdua Jane, dia sedang menjaga Olie. Kau tahu, kan, Ollie baru saja dioperasi,” jelas Jane.
Olie, salah satu anjing rescue yang dioperasi untuk mengangkat kanker di kakinya.
Dow mengangguk-angguk prihatin. Ia mengitari meja resepsionis, meletakkan tasnya di salah satu loker staf. Meski bukan staf resmi, karena saking seringnya Dow—dan Oi, karena memang di mana ada Dow, di situlah Oi berada—menjadi relawan, staf resmi Second Chances memperlakukan mereka berdua seperti staf yang lain, perbedaannya hanyalah jam kerja, karena Dow, dan Oi bisa datang, dan pergi sesuka hati mereka.
“Kau pergilah makan, aku yang akan jaga—“ kata Dow berbareng dengan Jane yang menyarankan untuk pesan pizza.
“Kita pesan pizza saja—“
“Aku masih punya ayam goreng 3 potong!”
Dow, dan Emma sontak menoleh ke arah sumber suara yang memotong ucapan berbareng mereka.
Oi mengacungkan kantong ayam goreng lalu meletakkan kembali ke keranjang sepeda, tidak lupa cengiran lebar tetap tersungging di wajahnya. Butiran keringat terlihat menghiasi wajah Oi yang memerah, anak-anak rambut pun tidak mau kalah, menempel di sana-sini.
“Dasar siput,” ejek Dow.
“Dasar curang,” Oi mencebik, lalu menoleh ke Emma. “Jadi?”
“Pizza, dan ayam goreng!” seruan Emma membuat Oi melompat kegirangan. Kantong ayam di keranjang sepedanya nyaris terbalik, jatuh ke tanah akibat sepedanya oleng karena si pemilik melompat-lompat sambil memegang setang sepeda.
“Heh! Emma memesan pizza untuk makan siang berdua Jane, bukan untukmu, lagipula, kita baru saja makan siang,” kata Dow pada Oi.
“Nah, selalu ada tempat untuk makanan, apalagi ayam goreng,” Oi menjulurkan lidahnya pada Dow. “Benarkan Em?”
Emma tertawa.
Oi pun semakin senang ketika Emma setuju dengannya.
Usai memarkir sepeda dengan benar, Oi mengambil buket ayam goreng dari keranjang dan meletakkannya di meja resepsionis. Kemudian gadis itu mencabut beberapa lembar tissue dari meja Emma, mengusapkannya ke seluruh wajah, dan merapikan rambutnya.
“Semua teman-temannya sedang ikut audisi tari, jadi dia nggak punya kerjaan,” kata Oi seraya menunjuk Dow dengan dagunya sementara kedua tangannya sibuk mengikat rambut.
Mungkin kalau Dow tidak sedang memesan pizza, dan ayam goreng, cowok itu akan buka suara dan protes. Dasar mulut lebar.
“Audisi tari?” ulang Emma seraya mencomot sepotong ayam goreng milik Oi.
Oi mengangguk. Merasa sudah rapi, gadis itu bergabung dengan Emma—mencomot sepotong ayam—dan bersandar di meja resepsionis. Oi menjulurkan leher ketika mendengar langkah kaki dari dalam.
“Jane!” seru Oi bersemangat—memang kapan sih Oi tidak bersemangat? Rasanya tidak pernah—“Apa kabar Olie?”
“Wah, ternyata kalian berdua, pantas ribut sekali,” komentar Jane, ia menjulurkan lehernya, melihat isi kantong ayam goreng milik Oi, tinggal sepotong terakhir. “Ayam ini yang kalian ributkan? Aku tidak tahu bagaimana kau menyelundupkan makanan ke sekolah.”
Oi menggeleng dengan mulut penuh, menutup mulutnya dengan bagian belakang telapak tangan—kali ini dia ingat sopan santun.
“Ambil saja, Dow sudah pesan lagi, dan pizza juga!” seru Oi. “Dan untuk menjawab pertanyaanmu, aku nggak, menyelundupkan apapun, semuanya hanya di dalam tas, nggak ada trik khusus.”
“Telan dulu baru bicara, dasar tidak punya sopan santun,” Dow menjitak kepala Oi dari belakang.
“Kau ini suka kekerasan, ya?! Hobi sekali menjitak kepala orang!” sungut Oi. “Lagipula aku sudah menutup mulutku!”
“Sopan santun makan tidak hanya menutup mulut, ada juga aturan berbicara,” kilah Dow.
“Kau memang sengaja mencari celah untuk menyalahkanku, kan?”
“Hei, sudah, sudah. Ini aku makan, ya?” lerai Jane seraya mengambil ayam goreng dari kantong, lalu membuang ke tempat sampah terdekat. “Berapa lama lagi pizzanya datang?”
“Sebentar lagi,” jawab Dow.
“Bisa, nggak, beri jawaban yang pasti? 10 menit, 15 menit,” sambar Oi.
“Heh!—“
“Stop!” lerai Jane sekali lagi, kali ini gadis itu merentangkan kedua tangannya ke arah Dow dan Oi. “Kalian ini kenapa, sih?” tanyanya seraya menggelengkan kepala.
“Kalau mereka tidak bertengkar, itu baru aneh Jane,” Emma terkekeh.
Dow dan Oi saling melotot tapi tidak berusaha untuk menerobos kedua tangan Jane. Oi memberungut lalu membuang muka, menolak bersitatap dengan Dow.
“Childish!” cibir Dow, meskipun dalam hati dirinya berjingkrak kegirangan. Pertengkaran seperti ini lah yang membuat mereka berdua spesial.
“Hei, sudah,” Jane menggelengkan kepala.
Beruntunglah, kali ini Oi tidak termakan cibiran Dow. Untuk sesaat mereka—kecuali Dow—makan dalam diam sampai sebuah sepeda dengan keranjang merah—dengan tulisan pesan layan antar dan gambar pizza buatan tangan yang membuat siapapun ngiler—berisi beberapa kotak pizza dan tas kertas berhenti di depan penampungan.
Sementara Emma menerima makan siang dari si kurir, Jane mencabut tissue untuk membungkus ayam yang tengah dimakan. Bersama Oi, dan Dow, mereka bertiga menyiapkan tempat makan siang di teras belakang penampungan. Berbeda dengan Jane yang memilih untuk menghentikan sementara acara makannya, Oi tidak. Alih-alih meletakkan ayam gorengnya, gadis itu menggigit ayam—yang nyaris tersisa tulang—di mulutnya sedangkan kedua tangannya membawa gelas sedangkan Dow membawa satu botol besar soda, dan satu pitcher air putih.
“Siapa sangka kita akan piknik siang-siang begini, beruntung hari ini tidak ramai,” komentar Jane seraya membuka kotak pizza.
Sontak aroma mozzarella menguar beradu dengan aroma ayam goreng karamel, membuat Oi yang masih meletakkan gelas di meja, mengendus-endus salah satu aroma favoritnya.
“Luar biasa kalau setiap hari bisa begini ya?” tambah Oi seraya menarik kursi di samping Jane.
“Yang ada Emma bangkrut kalau setiap hari memberi makan karung karet,” timpal Dow.
“Heh, sudah, sudah, jangan bertengkar lagi,” lerai Emma ketika Oi melemparkan pelototan tajam ke arah Dow. “Ayolah kita makan.”
“Omong-omong, tidak biasanya kalian ke sini siang-siang begini. Kau tidak latihan tari?” tanya Jane pada Dow.
Dow menggeleng, namun sebelum ia menjawab pertanyaan Jane, Oi menyerobot dengan menjelaskan kenapa Dow bisa keluyuran ketika biasanya cowok itu bertapa di studio tari.
“Kenapa kau tidak ikut?” tanya Jane heran.
“Idealisme~~~” Oi menjawab dengan cibiran.
“Aku nggak merasa kalau itu penting,” jawab Dow, mengabaikan cibiran Oi.
“Apanya yang tidak penting?” tanya Emma dengan kedua mata terbelalak tidak percaya. “Siapa tahu kau bisa direkrut, kan?”
Oi melirik Dow dengan senyum yang seolah mengatakan, kubilang juga apa?
Dow mengerang, merasa terpojok. Kenapa semua merasa audisi itu penting? Ia benar-benar merasa seperti orang bodoh.
“Kalian tahu aku ingin menjadi apa. Kenapa sekarang semuanya merasa kalau menjadi penari itu bagus?” tanya Dow.
“Ya, karena menjadi penari itu memang bagus. Kau sudah berlatih keras selama ini, kenapa tidak mengambil keuntungan dari itu?” tanya Emma.
“Baiklah,” Dow mengangkat kedua tangan di atas kepalanya. “Aku mau tanya. Katakanlah, aku ikut audisi lalu diterima. Menurut kalian apa yang harus kulakukan?”
“Follow up, tentu saja. Kalau merasa menguntungkan, ya, kenapa tidak? Anggap petualangan baru. Kau setuju, Em?” tanya Jane.
Emma mengangguk mantap, dan menambahkan.
“Kalau tidak diterima, juga tidak rugi? Gratis, kan, audisinya? Nothing to lose, young man.”
“Atau kau takut kecewa kalau tidak diterima?” tanya Jane.
Sampai di sini, baik Emma maupun Jane meninggalkan makan siangnya dan perhatian mereka fokus pada Dow. Berbeda dengan Oi yang masih asyik dengan pizza berselang-seling dengan ayam goreng. Selain suka kukis, Oi suka makan. Apapun asalkan tidak beracun pasti dimakan, yang bikin banyak anak gadis iri adalah, meski doyan makan, tubuh Oi tetaplah mungil, baik dari segi tinggi maupun berat badan.
Dow mengangkat bahu. Sejujurnya dirinya hanya berpikir konflik batinnya jika ia diterima padahal dirinya sudah punya rencana masa depan yang sangat sempurna. Damn, terdengar sangat sombong, bahkan di telinganya sendiri.
“Sejujurnya aku nggak pernah membayangkan diriku menjadi penari profesional atau siapapun yang berada di panggung, dan dibayar untuk itu,” aku Dow.
“Kalau kau menjadi artis panggung …” Jane tidak melanjutkan ucapannya melainkan berpikir, membayangkan Dow sebagai artis. “Kau akan menjadi pria tampan, fans-mu berteriak-teriak kagum, dan yang tidak kalah penting adalah kau akan punya banyak uang, mobil bagus dan sebagainya. Oh! Omong-omong soal uang banyak, kau tahu tanah di balik pagar itu?” tanya Jane seraya menunjuk pagar pembatas halaman belakang penampungan.
Dow dan Oi mengangguk serempak.
“Mr. Rob akan menjual pekarangannya. Seluruh tanah di sini akan dijual,” tambah Jane.
“Kenapa dijual?” tanya Oi.
“Tidak ada yang tinggal di sini. Dua anaknya tinggal di luar negeri,” jawab Emma.
“Mr. Rob-nya?” tanya Dow.
“Sejak jatuh dari tangga belakang beberapa minggu lalu, Mr. Rob berpikir untuk pindah ke rumah lansia,” jelas Jane.
Semuanya mengangguk-angguk.
“Kalau bisa membeli pekarangan Mr. Rob, kita bisa memperluas penampungan, ya,” kata Emma setengah berkhayal.
“Pekarangan Mr. Rob luas, Em, uang darimana kita,” ujar Jane mengingatkan.
“Kalau kau jadi penari, kau bisa membeli pekarangan Mr. Rob,” canda Oi seraya menyikut dada Dow. “Ugh … Aku kenyang. Rasanya nggak sanggup untuk bangun.” Oi menyandarkan dirinya pada sandaran kursi dengan kepala terkulai ke belakang.
“Keterlaluan kalau kau nggak kekenyangan,” kata Dow.
“Oi benar, lho,” timpal Jane. “Aku yakin sekali, kalau kau punya uang, kau pasti akan membeli pekarangan Mr. Rob untuk perluasan shelter.”
“Kalian terlalu tinggi menilaiku,” Dow tersipu.
“Aw, Dow bisa tersipu!” Oi menjerit kegirangan, dan sebelum gadis itu tersadar, jari Dow mendarat di dahinya dengan sebuah sentilan keras!