Dow menatap langit diatasnya dalam diam. Tidak banyak bintang yang terlihat, bulan pun masih jauh di kaki langit. Angin malam ini berhembus lembut. Hal itu pula yang membuat Dow semakin betah tiduran di atas genting rumahnya. Menyendiri di sini memang salah satu kegiatan favorit, terutama jika dirinya sedang muram.
Seperti sekarang ini.
Segala diskusi mengenai audisi membuatnya gundah. Bagaimana tidak, karena untuk pertama kalinya, hati dan otaknya benar-benar saling bertentangan. Sebenarnya, bohong kalau dirinya tidak memikirkan audisi tersebut, walaupun sekarang sudah terlambat. Tapi alasan yang sama kembali membayanginya.
Dow mengerang, kenapa tawaran muncul di saat seperti ini?
Pertanyaan yang paling menjengkelkan adalah, kenapa ia peduli?
Di situlah akar masalahnya, diakui atau tidak, Dow masih peduli dengan isi pamflet tersebut. Bagaimanapun juga, ia telah menghabiskan lebih dari 10 tahun untuk menari. Jadi, wajar jika sebagian dari dirinya berniat mengkhianati rencana masa depannya, kan?
Saat dirinya mendapat informasi mengenai kompetisi jurnal ilmiah. Seperti yang diduganya, Oi begitu bersemangat ikut serta. Kenapa tidak ada kompetisi yang berhubungan dengan dokter hewan?
Satu alis Dow terangkat ketika melihat sebuah bayangan bergerak di atasnya.
Oi.
So much for being here alone. Dow mendesah, namun tidak bergerak dari tempatnya tiduran, hanya kedua matanya yang memperhatikan setiap gerakan Oi hingga gadis tersebut duduk di sampingnya. Oi membawa dua kaleng kola, dan satu buket kentang goreng. Makanan favoritnya.
Catatan, segala macam makanan adalah favorit Oi.
“Jadi,” kata Oi seraya mengangsurkan kaleng kola pada Dow.
Dow mendorong tubuhnya untuk duduk, lalu membuka kola di tangannya.
“Jadi?” ulang Dow bodoh.
“Jadi, kenapa kau bertapa di atap sendirian, Mister?” tanya Oi dengan nada yang dibuat-buat.
“Dan kau kenapa mengganggu pertapaanku?” Dow bertanya balik.
“Bisa tolong menjawab pertanyaan dengan jawaban?”
Dow terkekeh tapi tidak mengatakan apapun, hanya sesekali meneguk kola. Sedangkan Oi, gadis itu hanya mengunyah kentang gorengnya dalam diam.
Rupanya, untuk saat-saat tertentu—walaupun teramat jarang—seorang Oi pun bisa tenang.
“Kau belum makan malam?” akhirnya Dow yang pertama memecah keheningan diantara mereka.
“Kenapa bertanya begitu?” Oi balik bertanya, heran.
Dow menunjuk buket kentang goreng yang kini tinggal separuh padahal Oi baru beberapa menit yang lalu duduk di situ.
“Makanan yang mengenyangkan,” Dow mengangguk ke arah buket kentang goreng.
“Fries adalah camilan,” bantah Oi.
“Camilan tidak seharusnya mengenyangkan,” kilah Dow.
“Aturan darimana itu?”
“Camilan adalah padanan kata untuk makanan ringan. Kau tahu ringan?”
“Nah,” Oi mengambil seiris kentang goreng, melambaikannya di depan wajah Dow yang sedang menyeruput kola. “Kau lihat ini? Irisannya kecil-kecil bukan? Bukankah, ini termasuk makanan kecil?”
Dow tersedak kola yang tengah diminumnya. Dengan gemas Dow mengurut dadanya. Sial, tersedak soda bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Memang benar, irisan kentang tersebut kecil-kecil, tapi—sudahlah, percuma berdebat dengan Oi untuk masalah sepele semacam ini. Lagipula kalau Oi suka, dia bisa makan apapun yang ia mau. Memangnya siapa dia yang melarang gadis itu makan sesuatu?
Tunggu.
Bukankah tadi dirinya hanya bertanya apakah Oi sudah makan malam atau belum? Kenapa jadi merembet ke arti cemilan, dan ukuran kentang goreng?
Damn.
Berbicara dengan Oi memang bisa merembet ke mana-mana.
“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Oi setelah batuk Dow mereda dan tidak lagi mengurut dadanya.
“Tidak boleh pun kau akan tetap tanya, kan?”
Oi terkekeh.
“Shoot.”
“Kenapa kau bersikeras menolak ikut audisi?” tanya Oi. “Dan bukan jawaban templat yang kau berikan pada orang-orang. Aku mau tahu alasan yang sejujurnya.”
Dow mengangkat bahu. Meletakkan kaleng kola yang telah kosong di sampingnya, kembali merebahkan diri di atas genting.
Bulan mulai bergerak naik, walaupun dari tempatnya berada, bulan masih tampak di bawahnya. Ketika awan mulai tersingkap, bintang-bintang yang terlihat menjadi semakin banyak.
Tidak lagi sesepi tadi.
“Be honest with me, kau nggak mau ikut audisi karena nggak tertarik, atau kau takut impianmu goyah?” kejar Oi.
Dow menoleh, walaupun dalam keremangan cahaya bulan separuh, ia masih bisa melihat tekad di kedua mata Oi. Anak itu benar-benar tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawaban.
Ia memalingkan wajah, kembali menatap bulan yang masih berada di bawahnya berbaring. Kadang kala, ia merasa lebih mudah untuk membuat gerakan tari baru dibandingkan berbicara dengan Oi. Terlebih jika mengenai masa depannya. Setidaknya gerakan tari tidak akan memaksa Dow untuk melakukan sesuatu, dan tidak protes jika gerakannya tidak dipakai.
Tapi kalau Oi?
Dow mengerucutkan bibirnya. Mungkin memang seharusnya dulu dia tidak perlu belajar menari. Mungkin dia seharusnya menjadi tenaga sukarela di penampungan hewan. Maksudnya tenaga tetap, karena saat ini pun dia menjadi tenaga sukarela di tempat penampungan hewan di mana Sans berasal.
Tapi … ia menari sejak usia 8 tahun, sedangkan dirinya baru diizinkan bekerja sejak naik SMA, itupun tidak boleh lebih dari 6 jam per minggu. Sebelum itu dia hanya boleh membacakan cerita untuk hewan-hewan yang berada di penampungan atau mengajak mereka jalan-jalan.
Ketika di penampungan dia hanya bekerja dengan posisi yang paling minim, sebagai penari, Dow sudah memenangkan kompetisi menari tingkat nasional. Jadi sebenarnya secara statistik pengalaman, menjadi penari, dan dokter hewan akan lebih menjanjikan sebagai penari.
Tapi … apa yang salah memiliki impian menjadi dokter hewan?
Melihat bagaimana hidup Sans, dan Teri sekarang, siapa yang menyangka jika kedua anjing tersebut sudah berada dalam daftar untuk ditidurkan? Siapakah yang paling berjasa di balik kesempatan kedua anjing-anjing tersebut?
Dokter hewan.
Tapi kenapa makin ke sini, semakin banyak yang beranggapan jika impian Dow tersebut tidak sebanding dengan apa yang mungkin ia dapat dari menari?
“Impianku nggak pernah goyah,” kata Dow.
“Aku mencium aroma keraguan di sana,” Oi menepuk ujung jari ke dagu, pura-pura berpikir.
“Nggak ada keraguan, aku hanya nggak suka membuatnya lebih rumit? Satu lagi, audisi sudah selesai. jadi nggak ada gunanya mengulang-ulang pembicaraan ini,” pungkas Dow.
“Okay, whatever,” Oi mengangguk.
Dow menoleh, tersenyum kecil. Tidak disangka Oi dengan mudah menerima keputusannya untuk menyudahi pembicaraan mengenai audisi. Dia tidak menyangkal kalau ada sedikit penyesalan, tapi seperti yang ia katakan pada Oi, semuanya sudah berakhir. menyesal pun tidak ada gunanya.
“Bagaimana dengan materi karya ilmiahmu?” tanya Dow.
Dow nyaris tertawa ketika kedua mata Oi membulat terkejut. Memang, sebelum-sebelumnya Dow tidak pernah tertarik dengan apapun yang dikerjakan Oi, terutama yang berhubungan dengan kematian di masa lampau. Tapi tidak ada salahnya berubah, kan?
“Kau yakin ingin tahu?” Oi memastikan.
“Well, mungkin aku ingin tahu progresnya, bukan isi detailnya,” Dow mengedikkan bahu.
Oh, Dow masih tahu batas di mana dirinya mampu berkompromi dengan hobi Oi menelisik kematian.
Oi tertawa.
“Kau nggak percaya aku ingin tahu?” tanya Dow.
“Bukan salahku kalau aku merasa begitu. Kau nggak pernah tertarik sebelumnya.”
“Mungkin aku ingin berubah?”
Sekali lagi Oi tertawa dengan pengakuan Dow. “Nggak perlu berubah, Dow, apalagi memaksakan untuk peduli dengan sesuatu yang memang bukan bidangmu.”
“Kau ingin cerita, nggak?” desak Dow.
“Thomas ada ide baru, tapi aku belum baca benar-benar,” jelas Oi.
Dow menatap Oi lekat-lekat. “Aku ingin tahu progres menulismu, bukan tentang Thomas.”
“Benar, aku harus bertanya, kenapa kau nggak suka dengan Thomas?” Oi menjentikkan jari.
Sama seperti Dow, Oi juga menatapnya dalam. jadi keduanya berhadapan, saling tatap, meski dengan perbedaan intensitas. Tidak disangka, tatapan penasaran Oi justru membuat Dow beringsut gelisah. Bagaimana mungkin dirinya bisa menjelaskan kenapa ada perasaan tidak suka kapanpun nama Thomas muncul di percakapan mereka?
“Bukan nggak suka,” elak Dow. “Rasanya aneh saja karena selama ini nggak ada nama lain ketika kita ngobrol.”
Oi mengangguk-angguk, memikirkan ucapan Dow. Lalu seulas senyum centil tersungging di ujung bibir gadis itu.
“Apa ini berarti kau cemburu?”