Loading...
Logo TinLit
Read Story - Je te Vois
MENU
About Us  

Dow sedang kesal. 

Oi menghilang sejak kemarin sore. Sekembalinya dari galeri, Dow baru tahu kalau Oi belajar bersama temannya di Bite & Brew, kedai kopi tidak jauh dari rumah mereka. Hampir saja ia menyusul ke sana, kalau tidak sadar bahwa bukan saja hal itu akan terlihat begitu konyol, tapi juga seram. Kenapa seram, karena nyaris seperti orang yang sedang cemburu. 

Apakah dirinya sedang cemburu? 

Tentu tidak, Dow hanya kesal karena akan pamer ide Dad yang akan membuatkannya studio di rumah, malah Oi tidak di rumah.

Seakan belum cukup, pagi ini, Oi membalas pesannya semalam dengan foto setumpuk buku, dan bilang berangkat ke sekolah pagi-pagi, jadi Dow harus berangkat sendiri. Acara petak umpet mereka belum berakhir, karena setiba di sekolah Oi sama sekali tidak terlihat di manapun. Memang mereka tidak selalu satu kelas, tapi biasanya, mereka pasti bertemu di sela-sela pergantian jam.

Tidak tahan dengan semua itu, Dow akhirnya menyusul Oi ke satu tempat yang pasti di mana ia berada.

Perpustakaan.

Dow menarik napas panjang ketika langkah kakinya terhenti di depan pintu perpustakaan sekolah. Matanya menyipit saat melihat pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak. Benar saja, Oi duduk bersama Thomas di sudut ruangan, kepala mereka nyaris bersentuhan, sibuk berdiskusi sambil membuka beberapa lembar kertas dan buku-buku bertumpuk.

Suasana itu terlalu akrab, terlalu serius, dan bagi Dow terlalu mengganggu.

Jadi yang membuat Oi menghilang sejak kemarin adalah Thomas?

Thomas bukan siapa-siapa, setidaknya di mata Dow. siswa biasa yang tidak aktif dalam kegiatan sekolah, heran juga Oi bisa ‘dekat’ denganya. Satu lagi, memang mereka sedang belajar apa, sih? Yang lebih menyebalkan, mereka berdua tampak nyaman satu sama lain! 

Dow masuk perpustakaan tanpa membuat suara. Langkahnya ringan namun pasti, ekspresinya datar tapi matanya menyimpan bara. Ia berjalan ke arah mereka seperti seorang raja yang datang untuk merebut kembali tahtanya yang direbut secara diam-diam.

“Serius sekali, kalian,” suara Dow memecah konsentrasi Oi, dan Thomas. 

Oi mendongak, menatap Dow datar. “Kami belajar, kau pikir bersenang-senang?”

Dow berdecak, tangannya menarik kursi di sebelah Oi, duduk tanpa diundang. Matanya sekilas menatap Thomas, lalu kembali ke Oi. 

“Kemarin sore kurang?” tanya Dow pada Oi.

Sementara Thomas menatap Oi, dan Dow bergantian, seperti tidak yakin harus bersikap bagaimana.

“Kau tahu, kan, kalau lomba karya ilmiah ini bukan seperti tugas sekolah yang bisa dikerjakan satu kali selesai?” Oi menjawab pertanyaan Dow dengan senyum termanisnya, lalu menoleh ke arah Thomas. “Jadi bagaimana?”

Thomas menyorongkan sebuah buku yang sudah dibuka, cowok itu menunjuk dengan pensil mengenai bagian yang ia maksud, bagaimana pendapat masyarakat awam mengenai Hatshepsut. 

“Ah, benar, pendapat macam ini penting juga untuk penyeimbang,” Oi mengangguk-angguk.

“Kupikir yang namanya karya ilmiah semuanya harus dari para ahli,” komentar Dow.

Oi menoleh, sedikit kaget ketika mendapati Dow ikut melongok membaca bagian yang ditunjuk Thomas.

“Seperti kata Oi barusan, penting untuk penyeimbang, jadi perspektifnya luas,” jelas Thomas.

Dow mengedikkan bahu. Dia tahu dirinya tidak akan pernah bisa berada diantara mereka, dan ikut berdiskusi, pertama karena dia tidak tahu materinya, kedua, dia duduk di sini hanya karena Oi. jadi sekarang dia melakukan satu hal yang membuatnya tidak terlihat seperti pecundang, mengeluarkan ponsel, dan melakukan apapun asalkan terlihat ‘sibuk’.

Untuk beberapa waktu Oi, dan Thomas tenggelam dengan tugas mereka masing-masing. Bahkan, di satu titik, Dow nyaris yakin kalau keduanya lupa dirinya duduk di samping Oi. Dow mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai, menyembunyikan gelisah yang merayap dari dadanya sampai ke ujung jari. Pandangannya tidak benar-benar ke layar ponsel, lebih seperti berpura-pura. Tangannya menggulir layar kosong, mengabaikan percakapan di sebelahnya yang semakin membuatnya merasa seperti orang asing.

Oi tertawa kecil saat Thomas menjelaskan sesuatu tentang simbol-simbol dalam makam Firaun. Suara tawa yang biasanya jadi musik favorit Dow kini terdengar seperti sumbang, dan mengganggu.

“Cleopatra memang menarik, tapi aku masih merasa Hatshepsut lebih mencerminkan kekuatan perempuan dalam sejarah,” ujar Thomas, penuh semangat.

Oi mengangguk. “Iya, tapi Cleopatra lebih dikenal luas. Jadi kalau ingin karya ini lebih ‘menjual’, kita tetap butuh fokus pada dia.”

“‘Menjual’? Ini lomba karya ilmiah atau presentasi bisnis?” ceplos Dow dari samping Oi. 

“Kalau nggak paham, nggak usah komen,” Oi melirik Dow, sambil melanjutkan mencatat di bukunya.

“Memang,”  Dow mengangguk. 

Oi meletakkan pensil, lalu memutar tubuhnya, menghadap Dow. 

“Oke, ada masalah apa?”

“Nggak ada masalah apa-apa,” Dow mengedikkan bahu, lalu menunjuk Thomas dengan jempolnya. “Kalian lanjutkan.”

Thomas terlihat kikuk melihat Oi dan Dow yang saling tatap serius, jadi ia mulai merapikan buku, dan laptop miliknya. 

“Kau pikir kami bisa lanjut denganmu duduk di sini, dan berkomentar yang aneh-aneh?” tanya Oi.

“Um … mungkin sebaiknya aku ke kantin dulu. Kalian... sepertinya perlu ngobrol,” Thomas menyelempangkan tas di bahunya. “Sepertinya lebih baik kalian mengobrol di luar, kalian tahu, Mrs. Smith.”

Tanpa menunggu respons Oi, Thomas berjalan cepat-cepat keluar perpustakaan. Dari ujung lorong, Dow melihat Mrs. Smith menurunkan kacamata, tengah memperhatikan mereka.

“Puas, kau?” desis Oi seraya merapikan meja, memasukkan buku beserta laptop ke dalam tas, lalu bergegas keluar.

Dow hanya berdiri, melihat Oi yang berjalan cepat-cepat keluar perpustakaan, dalam hati ia menendang kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya dia tidak bisa mengendalikan emosi. Mengembuskan napas panjang, Dow merapikan meja sebelum menyusul Oi keluar perpustakaan.  Cowok itu nyaris tertawa ketika melihat Oi yang berjalan ke kantin. 

Dasar suka makan.

“Oi,” panggil Dow.

Oi tidak berhenti, bahkan mungkin gadis itu malah mempercepat langkahnya.

“Olivia!”

Gadis itu sontak berhenti, berbalik, dan berkacak pinggang. “What the hell, Dow!

“Kau menghilang sejak kemarin, memang kau pikir kenapa?” teriak Dow.

“Menghilang?” Oi tertawa meskipun raut muka Dow jelas tidak mengapresiasi hal itu. “Yang benar saja!”

“Kau membalas pesanku pagi, dan kau berangkat duluan.” 

“Jadi ini karena aku tidak segera membalas pesanmu, dan aku berangkat sekolah duluan?” Oi menatap Dow tidak berkedip.

Dow terdiam, ketika mendengar Oi mengulang pertanyaannya, ia merasa seperti idiot. Remeh sekali kalau karena alasan itu dirinya bisa sekesal ini. 

Sorry, I really do,” kata Dow akhirnya. 

Ia tidak punya alasan yang lebih tepat kenapa bisa semosi tadi. Jadi minta maaf adalah pilihan yang paling tepat, sebelum melihat kembali kenapa, dan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. 

“Aku akan minta maaf ke Thomas,” imbuh Dow.

“Sudah seharusnya,” Oi berbalik berjalan ke kantin sambil menggelengkan kepala. 

Mau tidak mau Dow pun tersenyum, dan mengekor di belakang Oi. Setibanya di pintu kantin, gadis itu berhenti sejenak, menyapukan pandangan ke seantero ruangan.

“Mencari Thomas?” tanya Dow.

Oi tidak menjawab, hanya melotot, lalu menuju konter makanan untuk memesan makan siang. Seperti biasa, Oi memilih meja di pojok, yang hampir bisa diklaim sebagai ‘meja Oi’. Kadang cukup mengherankan kenapa tidak ada murid lain yang duduk di meja Oi. Selama ini Dow belum pernah melihat Oi mengusir murid lain hanya untuk duduk di mejanya.

Bahkan ketika jam makan siang.

“Aku nggak tahu bagaimana caramu menyelundupkan makanan ke sekolah,” Dow menggelengkan kepala ketika Oi mengeluarkan kantong kertas berisi ayam goreng dari tasnya.

“Nggak perlu komentar, kalau mau, makan saja.”

Untuk beberapa saat keduanya makan dalam diam. Saat-saat seperti ini yang disukai Dow, karena Oi berubah sangat manis, bukan cewek cerewet yang melelahkan.

“Kenapa?” tanya Oi, sepertinya sadar kalau diperhatikan Dow.

Dow mengedikkan bahu. “Aku nggak tahu kalau kompetisi karya ilmiah bisa dikerjakan kelompok, kupikir kompetisi pribadi.”

“Semuanya kelompok, minimal dua orang,” Oi menggeleng. “Kurasa mereka paham kalau tema karya ilmiah yang mereka tentukan bukan hal yang mudah untuk satu orang.”

Dow mencomot sayap goreng milik Oi, ketika nampan makannya tandas.

“Kenapa Thomas? Aku nggak tahu kalau dekat dengannya,” Dow berusaha cuek, menanyakan pertanyaan tersebut seolah pertanyaan yang lumrah. 

Dalam hati ia berdoa Oi tidak mendeteksi ‘keanehan’ dalam dirinya, karena sejujurnya, Dow belum siap untuk menguliti lembar demi lembar perasaan aneh yang bergumul di hatinya.

“Semester ini kami satu kelas di beberapa mata pelajaran,” Oi mengedikkan bahu.

“Pelajaran sejarah?”

Oi menjentikkan jari. “Persis!”

“Kau nggak pernah cerita mengenai Thomas sebelumnya,” kata Dow.

Oi menatap Dow sepersekian detik sebelum menjawab. “Nggak ada alasan aku cerita, lagipula, kau nggak pernah tertarik dengan tipe sejarah yang kusukai. Kau tahu? Menyenangkan sekali rasanya ketika kau bisa bertukar pikiran dengan seseorang yang punya kesamaan topik cerita. 

Dow menunduk. Kata-kata Oi seperti tamparan yang telak, bukan karena menyakitkan, tapi karena jujur. Ia tidak sadar bahwa ia menuntut banyak. Ia tidak sadar bahwa selama ini, ia terbiasa menjadi pusat perhatian Oi. Bahkan ketika ia sendiri bersikap cuek, diam-diam ia mengharapkan Oi tetap memperhatikannya. Secara tidak langsung hal ini juga menjadi jawaban atas pertanyaannya kemarin, apakah benar Oi lebih bersemangat untuk urusan menari. 

“Dad akan membongkar salah satu kamar tamu untuk studio tari,” kata Dow.

What?” kedua mata Oi membulat lebar. “Itu keren, Dow!”

Dow mengangguk, ia masih memperhatikan reaksi kaget, dan senang Oi yang tulus.

“Tapi, kenapa baru sekarang? Kau sudah lama menari, kenapa tidak buat sejak dulu?” tanya Oi.

Dow mengulang cerita apa yang terjadi ketika dia mengajak Sans jalan-jalan yang tanpa disadari berakhir di galeri Dad, berikut pembicaraan mereka berdua.

“Aku tahu kau keluar dengan Sans, kau tahu?” aku Oi.

Sorry. Aku berniat untuk mengajakmu dan Teri, tapi kupikir lebih baik aku berpikir sendirian.”

“Aku paham,” Oi mengangguk. “Kita bersahabat, iya, tapi bukan berarti harus bersama setiap detik.”

“Aku lebih suka bersama tiap detik,” aku Dow.

Clingy,” Oi menjulurkan lidah.

And needy,” imbuh Dow.

Keduanya terbahak, dan entah bagaimana, suasana canggung itu perlahan mencair. Mereka kembali seperti biasa, tapi tidak benar-benar sama seperti sebelumnya. Ada yang berubah, dan itu tidak buruk. Dow tidak lagi memandang Thomas sebagai ancaman. Ia masih tidak suka sejarah kuno, tapi ia tahu sekarang, kalau Oi punya dunia yang luas, dan dirinya bukan satu-satunya bintang di langit itu. Namun selama ia masih diberi tempat di sana, meski kecil, ia rela.

Karena dalam hatinya, Dow mulai mengerti, rasa itu bukan hanya kesal, tapi juga bukan hanya butuh perhatian.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
REGAN
9849      2966     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Ojek Payung
534      386     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Galang dan Refana
643      420     0     
Short Story
“Untuk apa kita diciptakan di dunia? “ seorang gadis yang sudah cukup lama ku kenal mengajukan sebuah pertanyaan. Ia melemparkan pandangan kosongnya ke sebuah dimensi ruang. Tangannya yang dipenuhi perban memeluk lutut seolah tangah melindungi tubuh dan jiwa rapuhnya
Ken'ichirou & Sisca
13761      2930     1     
Mystery
Ken'ichirou Aizawa seorang polisi dengan keahlian dan analisanya bertemu dengan Fransisca Maria Stephanie Helena, yang berasal dari Indonesia ketika pertama kali berada di sebuah kafe. Mereka harus bersatu melawan ancaman dari luar. Bersama dengan pihak yang terkait. Mereka memiliki perbedaan kewarganegaraan yang bertemu satu sama lain. Mampukah mereka bertemu kembali ?
Our Different Way
5273      2046     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
C L U E L E S S
746      539     5     
Short Story
Clueless about your talent? Well you are not alone!
Campus Love Story
8311      1901     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
When the Winter Comes
59950      8159     124     
Mystery
Pertemuan Eun-Hye dengan Hyun-Shik mengingatkannya kembali pada trauma masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Pemuda itu seakan mengisi kekosongan hatinya karena kepergian Ji-Hyun. Perlahan semua ini membawanya pada takdir yang menguak misteri kematian kedua kakaknya.
HADIAH PALING BERHARGA
581      392     4     
Short Story
Seorang wanita yang tidak bisa menerima kenyataan, keharmonisannya berubah menjadi kebencian, sebuah hadiah yang mengubah semua hal tentangnya .
Aku Biru dan Kamu Abu
795      471     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?