Loading...
Logo TinLit
Read Story - Simfoni Rindu Zindy
MENU
About Us  

Mata Zindy terus menatap ke arah mobil pick up itu. Separuh hatinya berada di dalam mobil itu. Mobil itu terus melaju hingga hilang di tikungan jalan. Dia menghela napas panjang. Matanya sayu, dengan langkah gontai masuk kembali ke dalam rumah.

Perlahan, kakinya melangkah masuk ke rumah. Rasanya… aneh. Sunyi yang menyusup kini terasa berbeda. Sejak Kalib menginap beberapa bulan lalu karena PKL, rumah ini tak pernah benar-benar sepi. Selalu ada suara keyboard yang ditekan lembut, suara tawa saat makan malam, atau obrolan panjang di teras sambil menyeruput teh hangat. Sekarang, semua itu pergi bersama mobil pick up putih yang membawa Kalib pulang.

“Rumah ini jadi sepi lagi….” Ujad Zindy lirih. 

“Sabar ya. Kalau memang jodoh pasti suatu saat ketemu lagi,” Ibu membelai lembut dahi Zindy. 

“Baru jadian udah long distance relationship. Gini amat, kok sedih ya, Bu. Padahal tadi rasanya biasa aja….” Zindy menahan air matanya agar tak jauh di depan Ibu. 

“Kamu sedih hal yang wajar. Nggak apa-apa, Ibu paham. Diterima dulu. Jangan denial. Mungkin adanya Kalib membuatmu merasakan kehangatan yang hilang. Sabar ya, jika ditakdirkan pasti akan bersatu. Entah bagaimana caranya nanti. Kamu masih muda, sekolah dan bangun karir dulu.” Zindy dipeluk Ibu. 

Zindy hanya mengganguk. Ada air matanya yang terjatuh. Dia segera menyekanya agar Ibu tak lihat. 

“Sudah tidak masalah kalau mau menangis. Itu hal wajar. Anak Ibu kan manusia biasa.” Ibu menghapus air mata Zindy. 


Zindy masuk ke kamar yang dulu disewa Kalib. Dia memandangi kamar itu. “Empat  bulan Kalib ada di sini. Dia tidur di sini.” Mata Zindy memandang tempat tidur yang kasurnya terlipat itu. “Setiap hari pasti dia tidur sambil membayangkan mimpinya di sini ya. Kemudian pasti mengedit konten di meja belajar lapuk ini. Kalib pernah di sini….” Zindy duduk di kursi yang berhadapan dengan meja belajar itu. Matanya menangkap sebuah sticky notes warna kuning di meja belajar itu. 

Meski aku sudah tidak ada, tapi kenanganku tetap menemanimu. Jaga kesehatan, tetap semangat, suatu saat pasti bertemu lagi :)
-Kalibrasi Samudera Dimas-

“Kamu bahkan tahu aku pasti akan masuk kemari. Aku akan jaga kesehatan. Tetap semangat.” Zindy mengambil sticky notes itu. Dia masuk ke dalam kamarnya. Sticky notes itu kemudian ditempelkan ke dalam bindernya. “Aku akan menyimpannya dengan baik.”

Tapi nyatanya, kehadiran Kalib selama ini bukan cuma soal keberadaan fisik. Ia seperti jangkar yang membuat Zindy tetap waras di tengah kesibukan sekolah, jualan, dan live TokTok. Dia yang selalu diam-diam siapin minum kalau Zindy batuk pas siaran. Dia yang membuatkan coklatos setiap Zindy merasa gundah. Dia yang… bikin hati Zindy deg-degan dengan senyum isengnya.

Tanpa sadar, Zindy menyentuh gelang di pergelangan tangannya. Ia memakainya sekarang. Benangnya kasar, simpulnya tidak terlalu rapi, tapi justru itu yang membuat benda kecil itu terasa begitu nyata. Ada Kalib di dalam setiap lilitannya.

Tangan Zindy juga menancapkan flashdisk pemberian Kalib ke dalam laptop ayah. Dia menemukan folder berjudul “Z x K”. Isinya puluhan video pendek, behind the scene dari setiap konten yang mereka buat bersama. Di salah satu video, Kalib tertangkap kamera sedang menatap Zindy dari jauh, lalu tertawa sendiri saat gadis itu kelepasan ngomong “uhuk” waktu live.

Zindy memutar video itu berkali-kali, lalu mengetik pesan:

Aku nemu video kamu ngeliatin aku kayak orang jatuh cinta dari awal ketemu. Aku baru saja buka folder di flashdisk yang kamu kasih waktu itu. 

Balasan datang cepat:

Emang iya

Zindy terdiam. Tangannya gemetar saat membaca dua kata itu. Ia tidak tahu harus membalas apa. Tapi hatinya bergetar.

Kalib menyambung:

Dari awal aku memang suka kamu, Zind. Tapi aku tahu kamu masih punya banyak mimpi. Jadi aku nggak mau buru-buru. Baru berani memastikan di detik-detik terakhir

Zindy menatap layar lama, lalu mengetik:

Aku dari awal juga sudah terpesona sama kamu

Lalu menghapusnya.

Kemudian ia menulis ulang:

Aku juga suka momen-momen kita. Tapi sekarang aku juga bangga pada diriku sendiri yang lagi berjuang. Aku suka karena di kisah perjuanganku ada kamu juga :)

Balasan Kalib:
Dan itu kenapa aku suka kamu. Karena kamu tahu arahmu ke mana.

Zindy melihat jam di smartphone-nya. Tak terasa ternyata hari sudah beranjak siang. Dia ingin tahu sudah sampai mana perjalanan Kalib. 
Udah sampai mana? Mabuk nggak di jalan?

Balasan Kalib:
Sebentar lagi sampai. Aku tak pernah mabuk. Pindah Toktok aja. Nanti ayam kita mati

Zindy sedikit heran. Dia lalu ingat pada api yang janji akan dia jaga dengan Kalib. 
Sudah kubilang dia itu api, bukan ayam. Sekarang dia kedinginan. 

Nampak animasi api yang membeku di dalam es. Balasan Kalib:
Dia ayam. Jika api takkan bisa kedinginan. Pasti langsung mati. 

“Benar juga ya. Jika dia api pasti nggak bisa beku.” Zindy jadi goyah pada pendapatnya. Zindy membalas:
Apa pun itu. Jangan sampai mati. Aku ngambek kalo dia mati

Balasan Kalib:
Nggak akan mati. Aku akan selalu ingat. Ini sudah mau sampai di rumahku. 

Zindy membalas:
Syukurlah. Jangan lupa istirahat. 

Keesokan harinya, Zindy mulai berdagang di sekolah seperti biasa. Kali ini ada yang berbeda. Keranjang hijau itu tetap penuh cemilan, roti dan minuman. Tapi kali ini, ia menambahkan pita kecil dari lakban fragile sebagai aksen di sisi keranjang. Ciri khas itu tetap dipertahankan. Beberapa anak sekolah masih suka menyapanya, bahkan beberapa lebih sering memanggilnya “Kakak Pita Fragile”.

“Kamu hidup tapi seperti ada yang hilang….” Rara menatap mata Zindy cukup lama. 

Zindy menghela napas panjang. “Kalib pulang. Aku sedang menjalani long distance relationship.” Perkataan itu membuat Rara tersendak. Dia baru saja memakan bekalnya untuk istirahat. 

“Kamu ditembak Kalib?” Rara terkejut. Zindy hanya menggangguk pelan. Dia sibuk menata dagangan yang akan di jajakan di lorong kelas. “Berita sebesar ini, kamu nggak ngasih tahu aku?” 

“Aku baru ingat. Kemarin sibuk memikirkan kepulangan Kalib.” Zindy lesu saat mengingat nama Kalib. 

“Sabar ya. Jangan khawatir, teknologi sudah canggih. Kamu bisa video call sama dia kapan pun. Kalib aku lihat tipe cowok yang setia kok.” Hibur Rara. 

“Tapi aku tidak suka LDR. Udah lah, mau jualan keliling dulu.” Zindy beranjak keluar dari dalam kelas. 

“Ikut dong! Mau cuci mata, nih. Hehehe.” Rara dengan cepat mengemasi kotak bekalnya. Dia menemani Zindy berjalan di lorong kelas. 

“Wah, Zindy sudah jualan lagi ya?” Sapa anak-anak saat Zindy menjajakan dagangannya. 

“Iya. Aku udah jualan lagi. Ayok, yang laper, yang haus. Bisa beli, yuk. Murah dan enak.” Zindy tersenyum. 

Masa depan masih panjang. Guntur akan luntur. Bunga hati akan mekar. Silih berganti. Masa depan masih perlu diperjuangkan. Aku harus lulus dan kuliah. 

“Kamu mau masuk ke kelas Leon?” Tanya Rara saat langkah Zindy terhenti di depan pintu kelas Leon. 

“Mau ada urusan.” Zindy masuk ke dalam kelas itu. 

“Ada Kakak Pita Fragile….” Celetuk beberapa anak. 

“Pasti cari Leon….” Terdengar bisikan itu. Zindy risih tapi dia mengabaikannya. 

Nampak Leon seperti biasanya. Dia sibuk main game bersama gengnya. Zindy sudah mendekat ke gerombolan itu.

“Apa aku menggangu?” Zindy nampak ragu. 

“Yon, loe dicari….” Ujar seorang anggota geng. 

“Ah, tanggung. Baru push rank ini!” Leon nampak gusar. Matanya fokus menatap ke layar smartphone

“Ehm, nggak apa-apa. Aku cuma mau memberikan ini.” Zindy mengeluarkan tas mika plastik bening. “Ini untukmu, Leon. Semangat ya, latihan basketnya. Semoga bisa menang di perempat final. Aku pergi dulu….” Zindy langsung buru-buru pergi. 

Kenapa aku dag dig dug ya. Padahal kan cuma mau membalas kebaikan Leon. Tapi rasanya tetap bikin jantungan. 

“Eh, tunggu ….” Nampak Leon tersadar. Dia menatap tas mika plastik bening itu. Ada tulisan di dalamnya:
Untuk Captain Leon
Terima kasih sudah menghiburku
Terima kasih sudah berjuang membawa sekolah kita sejauh ini
Semoga bermanfaat
Aku baru belajar menyulam, maaf jika hasilnya jelek
-Zindy-

Ada dua buah handuk putih di tas itu. Setiap handuk tersulam nama Captain Leon. Tulisan itu dibuat dengan benang warna biru. Ada juga minuman rasa jeruk, cemilan keripik serta cokelat. Senyum tersungging di bibir Leon. 

“Ayo, lanjut main. Eh, aku traktir! Beliin cemilan di tempatnya Zindy. Sana!” Leon memberikan uang pada anggota gengnya. 

“Siap, Bos!” Salah satu anak pergi mengejar Zindy. Zindy baru sibuk melayani pembeli di kelas sebelah. “Kak Zin, Leon mau borong daganganmu ya. Dua puluh ribu!” Anak itu menyerahkan uang kepada Zindy. 

“Oh boleh, ini pilih aja!” Zindy mempersilahkan anak itu memilih. 

Dasar Leon, dia masih saja sama. Sebuah kertas kecil jatuh dari uang yang diberikan Leon. Kertas itu jatuh saat Zindy membuka gulungan lembaran uang kertas warna hijau itu. 

Aku akan tetap menunggu, Nona Wirausahawan Muda
Makasih, aku bakal semangat tanding besok
-Captain Leon-

“Dia tetap saja tak menyerah.” Zindy menggelengkan kepala. 

“Cie so sweet banget. Ingat udah punya…” Rara menyenggol bahu Zindy. 

“Iya. Aku hanya membalas kebaikan Leon aja. Tapi kan kita masih muda. Punya kenalan nggak apa-apa kan?” Tangan Zindy merapikan dagangan di keranjangnya. Anak yang disuruh Leon sudah pergi dengan tangan penuh jajanan. 

“Kalau mau punya cadangan nggak apa-apa sih, hehehe.” Goda Rara.

“Hush, ngawur kamu. Aku cuma membalas kebaikan Leon aja.” Zindy kembali berjalan lagi.

“Kan nggak pasti sama Kalib juga kan. Kalau punya satu lagi juga nggak apa-apa. Kan masih muda.” Rara ingin tahu reaksi Zindy. 

“Aku nggak mau orang lain terluka. Aku hanya berteman dengan Leon. Tapi dia masih tak menyerah.” Zindy menyentuh benang merah di pergelangan tangannya. “Aku coba jalani dulu dengan Kalib.”

“Ini gelang dari Kalib?” Rara nampak tak familiar dengan gelang itu. 

“Iya, dari Kalib. Dibuat khusus hanya untuk Zindy.”
***
Weekend pertama semenjak Kalib pulang ke rumahnya. Zindy menghela napas. Dia menyiapkan sendiri tripod dan ring light miliknya. Saat ini Zindy sudah memiliki peralatan live yang lebih memadai. Dia memasang bando pita fragile di atas kepalanya. 

Sebuah notifikasi muncul di smartphone Zindy. Kalib mengirim sebuah video. Dia tak langsung membuka video itu. Setelah napas sedikit tertahan, Zindy membuka pesan itu.

Video itu memperlihatkan Kalib sedang duduk di studio kecil, dengan latar penuh kertas desain dan komputer. Ia menatap kamera dan berkata:

“Aku keterima kerja partime di rumah produksi konten dan percetakan lokal. Nggak besar, tapi pas banget sama passion-ku. Dan… aku janji bakal terus belajar biar nanti bisa bantu kamu lebih profesional lagi, bukan cuma jadi tukang kamera dan editing otw profesional terus.” Zindy tersenyum. Dia memutar kembali video itu. “Oh iya, aku bikin sesuatu. Coba tebak apa?”

Kalib mengarahkan kamera ke meja. Ada satu box kecil, berisi pin fragile versi kulit sintetis, elegan dan premium. Di tengahnya ada logo kecil: Z x K.

“Nggak dijual. Cuma buat kamu. Dan kalau kamu setuju, kita bisa bikin buat dicetak berdua. Satu dikirim ke tempatmu. Satu lagi kusimpan di rumahku.”

Zindy menatap layar lama. Air matanya menetes lagi. Video itu tidak langsung dibalas. Dia menyimpan video itu dulu, lalu menulis dalam notes kecil di sebelah laptopnya:

Masa depan bukan soal buru-buru saling terikat. Tapi soal saling bertumbuh. Pelan-pelan, tapi saling tahu arah.

“Aku pengen video call sama Bang Kalib. Kalibrasi, dia benar-benar seperti namanya. Suka membuat hidup seseorang berubah-ubah.” Zindy tertawa kecil. 

Di latar smartphone nampak dering tunggu video call. Layar hijau aplikasi Wawa masih belum memunculkan wajah Kalib. “Apa dia sibuk ya?” 

“Hay, Beb….” Sapa Kalib dengan senyum semanis madu. Panggilan itu membuat hati Zindy berdebar. 

“Aku mau live tapi kau malah membuat jantungku tak karuan….” Zindy pura-pura marah.

“Baiklah, aku sudahi ya video call-nya….” Goda Kalib. 

“Jahat! Apa kau tak rindu padaku?” Zindy nampak kesal. 

“Aku terus menabung celengan rinduku setiap hari, wahai Kakak Pita Fragile. Jika liburan sekolah tiba aku berencana ke kotamu lagi. Wisata sekaligus memecah celengan rinduku….”

“Kau semakin pandai menggodaku. Ehm, selamat sudah diterima part time. Aku juga sedang berjuang di sini. Sukses selalu….” Zindy mengacungkan jempolnya ke arah kamera.

“Jaga kesehatan. Jangan tidur larut malam. Aku sedang berjuang agar bisa masuk fakultas ekonomi. Mengumpulkan uang kuliah sekaligus uang saku.” Kalib menunjukkan logo universitas yang dia inginkan. “Lihat, ini perguruan tinggi impianku. Almamater kuning!” 

Zindy terkejut saat melihatnya. “Aku juga ingin masuk ke sana. Almamater kuning. Apakah ini takdir?” Canda Zindy.

“Jika kebetulan maka itu artinya takdir. Ayo berjuang. Agar kita bisa diterima di sana. Satu kota saat kuliah.” Kalib tersenyum. “Aku akan mulai share latihan soal ujian tulis berbasis komputer mulai besok, bagaimana?” 

“Boleh-boleh. Aku setuju. Bukan berarti tidak percaya diri masuk lewat SNBP tapi bersiap sedini mungkin lebih baik. Persaingannya pasti ketat. Itu salah satu PTN top dan favorit. Banyak pasti yang pengen masuk ke sana. Biaya hidup di ibu kota juga pasti mahal. Harus menabung dan kerja keras sejak dini. Tapi pasti seru jika bisa diterima di sana. Bisa melihat Monas, bisa jalan-jalan ke Ancol. Bisa merasakan naik MRT.” Zindy tersenyum cerah. “Apalagi jika bisa jalan-jalan dengan Abang!” Dia tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan.

“Pasti menyenangkan. Jika sudah ditakdirkan pasti bertemu lagi. Aku akan berjuang lebih keras. Jurusanku tergolong jauh dari akuntansi atau manajemen. Harus lebih giat belajar!” 

“Aku juga akan berjuang agar impian itu terwujud. Pin yang tadi kirim saja ke sini. Aku suka. Saat live mungkin bisa kupakai,” ujar Zindy malu-malu. 

“Baiklah jika kau setuju. Syukurlah jika kau suka. Kau mau live ya?” Kalib nampak sedih. “Biasanya aku menemanimu….”

“Jangan sedih. Kau pasti melihatku dan mendoakanku dari sana kan, Bang? Aku sudah merasa didukung dan ditemani. Kau juga jaga kesehatan. Jangan bekerja terlalu keras.” Zindy tersenyum.

“Aku akan jaga kesehatan. Sudah dulu,ya.” Video call itu terputus. 

Masa depan masih panjang. Aku akan terus mendukung Kalib. Mimpiku juga harus diraih dengan usaha yang lebih giat. 

***
Suatu malam, saat Zindy sedang mengedit katalog baru untuk produknya, ibunya masuk ke kamar. Membawa teh hangat dan menyentuh bahu Zindy dengan lembut.

“Zind…”

“Hm?”

“Ibu senang kamu jadi makin kuat. Tapi ibu juga tahu… kamu pasti kangen Kalib, ya?”

Zindy terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya. Tapi aku nggak sedih, Bu. Cuma… rindu yang diam-diam nempel gitu.”

Ibu tertawa kecil. “Kalau dia emang jodohmu, dia pasti datang lagi. Tapi kalau pun nggak, Ibu yakin… kamu akan baik-baik saja. Karena kamu tahu caranya menyayangi dirimu sendiri.”

Zindy memeluk ibunya. Erat. “Makasih, Bu. Karena udah percaya aku bisa.”

“Karena kamu emang bisa, Sayang.”

Malam itu, Zindy tidur dengan tenang. Tidak karena segalanya sempurna, tapi karena ia tahu, dia sedang bertumbuh. Cinta yang tumbuh pelan-pelan, entah kepada siapa pelabuhan terakhirnya kelak, entah ke mana, tapi dimulai dari diri sendiri… adalah cinta yang paling layak dijaga.

***
Sore itu, saat ia sedang mengedit konten, Zean masuk ke kamar dan nyeletuk, “Tadi Kak Kalib ngirimin paket!”

Zindy kaget. Ia mengambil paket kecil itu dan membukanya perlahan.

Isinya? Sebuah pin kecil dari bahan akrilik berbentuk pita dengan motif lakban fragile, persis seperti bando yang sering Zindy pakai. Ada juga pin Z x K yang pernah Kalib janjikan. Di baliknya, ada kertas kecil bertuliskan:

Untuk sebuah branding yang kamu ciptakan dari luka. Kamu bikin hal rapuh jadi kuat. Aku bangga banget.

Zindy menahan air mata yang mulai mengembun. Dia tahu, jarak bukan penghalang untuk tetap saling mendukung. Kalib tidak harus ada di sampingnya setiap hari untuk tetap jadi seseorang yang penting.Ia memeluk pin kecil itu. 

“Kalau suatu hari kita dipertemukan lagi, aku ingin menyambutmu sebagai Zindy yang benar-benar siap. Bukan karena ingin diselamatkan, tapi karena sudah menyelamatkan dirinya sendiri." Zindy berusaha tersenyum.

***

Beberapa hari kemudian, hujan turun deras. Zindy baru saja selesai siaran live di Toktok. Pita fragile di kepalanya sedikit basah karena tadi sempat keluar sebentar mengambil paket di teras. Dia duduk di tepi jendela kamarnya, menatap titik-titik air yang menari di kaca.

Biasanya, saat hujan begini, Kalib akan muncul dari balik dapur dengan dua gelas cokelat panas dan komentar iseng soal playlist galau Zindy yang terus berulang.

Sekarang, tak ada cokelat panas. Tak ada suara Kalib. Tapi anehnya, Zindy tidak merasa sendiri.

Zindy membereskan peralatan live-nya. Dia duduk di teras rumah sambil menyeduh coklatos. Minuman sederhana favorit Kalib. Aroma harum yang lembut menyelimuti udara, menenangkan hatinya yang sempat berdebar karena kiriman Kalib beberapa hari lalu. tadi. Tangannya memperhatikan pin Z x K yang terpasang di bajunya. Matanya memperhatikan setiap detail kecilnya seolah sedang membaca rahasia.

Zindy membuka smartphone-nya. Dia mulai menulis di catatan harian digitalnya:

Aku nggak tahu nanti kamu balik kapan. Atau kita akan bertemu lagi kapan. Tapi aku tahu, setiap langkahku sekarang... tetap mengarah ke versi terbaik dari aku sendiri. Dan kamu, pernah jadi bagian penting dari arah itu. Semoga kita dipertemukan dalam keadaan sudah memakai almamater kuning di universitas impian kita di ibu kota kelak. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Oh, My Psychopaths CEO!
1029      684     2     
Romance
Maukah kau bersama seorang pembunuh gila sepertiku?
Hidup Lurus dengan Tulus
199      177     4     
Non Fiction
Kisah epik tentang penaklukan Gunung Everest, tertinggi di dunia, menjadi latar belakang untuk mengeksplorasi makna kepemimpinan yang tulus dan pengorbanan. Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, dalam ekspedisi tahun 1953, berhasil mencapai puncak setelah banyak kegagalan sebelumnya. Meskipun Hillary mencatatkan dirinya sebagai orang pertama yang mencapai puncak, peran Tenzing sebagai pemandu dan pe...
Creepy Rainy
443      297     1     
Short Story
Ada yang ganjil ketika Arry mengenal Raina di kampus. Fobia hujan dan bayangan berambut panjang. Sosok berwajah seperti Raina selalu menghantui Arry. Apakah lelaki itu jatuh cinta atau arwah mengikutinya?
JURANG
1007      497     5     
Short Story
Adikku memang orang yang aneh. Adikku selalu beri pertanda aneh untuk kehidupanku. Hidupku untuk siapa? Untuk adikku atau calon suamiku tercinta?
Aku Sakit
5562      1515     30     
Romance
Siapa sangka, Bella Natalia, cewek remaja introvert dan tidak memiliki banyak teman di sekolah mendadak populer setelah mengikuti audisi menyanyi di sekolahnya. Bahkah, seorang Dani Christian, cowok terpopuler di Bernadette tertarik pada Bella. Namun, bagaimana dengan Vanessa, sahabat terbaik Bella yang lebih dulu naksir cowok itu? Bella tidak ingin kehilangan sahabat terbaik, tapi dia sendiri...
Sacrifice
6695      1709     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Kesetiaan
448      325     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang kesetiaan perasaan seorang gadis pada sahabat kecilnya
HEARTBURN
390      286     2     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
Memeluk Bul(a)n
22499      3888     28     
Fantasy
Bintangku meredup lalu terjatuh, aku ingin mengejarnya, tapi apa daya? Tubuhku terlanjur menyatu dengan gelapnya langit malam. Aku mencintai bintangku, dan aku juga mencintai makhluk bumi yang lahir bertepatan dengan hari dimana bintangku terjatuh. Karna aku yakin, di dalam tubuhnya terdapat jiwa sang bintang yang setia menemaniku selama ribuan tahun-sampai akhirnya ia meredup dan terjatuh.