“Kakak pulang ya hari ini?” Zean nampak sedih saat Kalib memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper.
“Iya. Jadwal magang Kakak sudah selesai. Waktunya pulang ke rumah.” Kalib berusaha tersenyum. “Kamu yang rajin ya sekolahnya. Kalau ada waktu libur, kita main game online bareng. Jangan nakal. Baik-baik sama Kak Zindy ya….” Tangan Kalib membelai Zean dahi Zean
“Aku nggak bakal nakal. Zean bakal jadi anak baik. Abang janji ya. Kalau weekend kita main game bareng kayak biasanya….” Zean menangih janji jari kelingking.
“Iya, janji.” Kalib memberikan jari kelingkingnya.
“Rumah ini bakal sepi tanpa kamu …..” Zindy berdiri di ambang pintu, menggenggam ujung bajunya sendiri.
Kalib menoleh menuju sumber suara, “Tapi kamu kan nggak pernah sendirian. Ada ibumu, nenek, Zean dan ….”
“ … dan kamu yang tidak ada lagi di ruang tamu. Tidak ada lagi Abang Kalib yang menemani aku live dan bantu edit konten. Bakal rindu banget sama Abang ….”
Kalib terdiam. Sunyi tiba-tiba menyerbu. Zindy nampak menahan tangis.
“Aku bakal sering-sering video call kamu. Bakal sering kirim pesan di Toktok juga biar ayam kita cepat besar. Biar ayam nggak kedinginan dan membeku. Aku pasti akan selalu memberi kehangatan meski dari jauh. Hatimu nggak bakal beku….” Kalib berdiri. Dia mendorong kopernya ke ruang tamu.
“Abang semakin jagi menggombal aja. Awas ya kalo sampai apinya mati, aku ngambek!” Ancam Zindy.
Zindy berusaha tersenyum. Tapi senyum di wajahnya seperti kaca retak - terlihat, namun nuaris pecah.
“Halo….” Ibu nampak tergesa-gesa keluar rumah sambil membawa smartphone-nya. Zindy termenung sejenak melihat tingkah Ibu. “Halo, udah sampe gang depan ya? Ini aku udah berdiri di depan rumah. Bisa kok mobilnya masuk ke sini, Sin. Nggak sabar ketemu kamu. Bestie-ku.” Ibu nampak antusias.
Dari kejauhan nampak sebuah mobil pick-up warna putih. Mobil itu ditumpangi dua orang. Penuh kehati-hatian, mobil itu masuk menuju halaman depan rumah Zindy. Plat mobil itu nampak berasal dari luar kota. Baguan belakang mobil pick-up sudah dimodifikasi. Nampak kotak dari kain anti air warna hitam menyelimuti bagian belakang mobil pick-up itu. Mobil itu berhenti di depan rumah Zindy. Pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita keluar dari dalam mobil.
“Mirna!” Wanita itu memeluk Ibu.
“Sindhy!” Ibu balik memeluk Tante Sindhy.
“Astaga, udah lama banget kita nggak ketemu langsung. Hahaha, makin tua ya kita….” Canda Ibu.
“Namanya juga udah punya buntut. Masak muda terus.” Sahut Tante Sindhy. “Ini ya kembaranku?” Dia menatap ke arah Zindy.
“Iya, dia putriku. Zindy. Zindy ini Tante Sindhy. Ibunya Kalib, teman dekat Ibu. Ayo salaman dulu. Zean juga.”
Zindy maju dan menjabat tangan Tante Sindhy dengan sopan. “Halo, Tante. Selamat datang.”
Wajah Tante Sindhy hangat, seperti salinan lembut dari Kalib dalam versi perempuan dewasa. Matanya menatap Zindy penuh makna.
“Kalib banyak cerita tentang kamu,” ujar Tante Sindhy. “Bahkan mungkin terlalu banyak,” tambahnya sambil tertawa kecil. “Dia bilang kamu kuat, mandiri, tapi kadang keras kepala.”
“Kalau kita jadi besan di masa depan gimana?” Ibu menyikut Tante Sindhy sambil berbisik pelan, tapi cukup terdengar oleh semua yang duduk di ruang tamu itu.
“Kalo sama anakmu kayaknya boleh. Asal anakku juga bahagia mah gas aja! Hihihi!” Tante Sindhy menjawab dengan tawa renyah, tatapannya menyapu Kalib yang sedang sibuk memasukkan jaket ke dalam tas besar.
Zindy makin dag dig dug.Ibu, apaan sih... Masih lama juga. Aku kan masih SMA. Udah mikir jauh ke arah situ.Matanya melirik Kalib sekilas, berharap laki-laki itu tidak mendengar celetukan orang tua mereka. Tapi sialnya, Kalib justru menoleh dan menatap Zindy dengan senyum menggodanya yang khas.
“Aku sih siap aja kalau kamu siap, Zin,” katanya ringan, seperti menggoda. Tapi ucapannya justru seperti bom kecil yang meledak di kepala Zindy.
“Oh, eh—nggak! Maksudnya, ya… aku kan masih sekolah, Kak. Belum mikir ke sana.” Zindy tergagap sambil memeluk bantal sofa, menyembunyikan wajahnya yang kian memerah seperti tomat.
Tawa pun pecah di ruangan. Ibu dan Tante Sindhy tertawa lepas, begitu juga dengan adik Zindy yang dari tadi diam-diam menguping sambil menyantap pisang goreng.
“Aduh, anak jaman sekarang. Dikit-dikit malu. Dulu zaman kita, baru ngelirik aja udah ditanyain kapan lamaran,” ujar Tante Sindhy lagi.
Nenek keluar dari dapur. Tangannya membawa minuman dan cemilan. “Ada tamu dari jauh. Pasti lelah. Ini diminum dulu. Ehm … semoga jika suatu saat Zindy nikah, saat itu aku masih ada ya. Calonnya udah ketemu….”
“Apaan sih Nenek ….” Zindy makin malu. “Aku masih mau kuliah tahu!”
Kalib hanya tertawa pelan dan kembali sibuk membereskan barang-barangnya. Tapi sesekali matanya tetap mencuri pandang ke arah Zindy yang pura-pura main smartphone, meskipun layarnya sudah gelap dari tadi.
Setelah suasana sedikit tenang, Zindy berdiri dan berjalan ke teras depan. Udara pagi masih segar. Embun di daun-daun belum sepenuhnya menguap. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil.
Beberapa menit kemudian, Kalib menyusul. Ia berdiri di sebelah Zindy, membawa dua cangkir teh hangat.
“Nih, teh manis buat gadis pemalu,” katanya sambil menyodorkan cangkir itu.
Zindy menerimanya tanpa menatap langsung. “Makasih…”
“Hari ini kayaknya bakal jadi pagi yang berisik, ya. Banyak celetukan nggak penting,” ujar Kalib pelan, menatap langit yang mulai menguning.
Zindy terkekeh. “Iya… Tapi aku senang sih, rumah jadi rame.”
“Hmm.” Kalib menyesap tehnya. “Nanti kalau aku udah balik, rumah ini mungkin bakal lebih sepi lagi, ya?”
Zindy terdiam. Hening menyelinap di antara mereka. Cuma ada suara daun gugur, dan sesekali cicitan burung.
Kalib menoleh ke arahnya. “Zin, makasih ya… udah ngebolehin aku tinggal di sini selama PKL. Makasih udah bantu bikin draft laporan, bahkan marahin aku kalau aku baru mode malas. Cuma main game aja.”
Zindy tersenyum kecil. “Iya… sama-sama. Kalib juga makasih. Udah sering bantu aku juga. Terutama pas Toktok-ku mulai rame, terus kamu bantuin semua konten live-ku. Kalo nggak ada kamu, aku bisa panik tiap hari.”
Kalib mengangguk. Tatapannya lembut, seolah sedang merekam wajah Zindy dalam ingatannya. “Aku seneng bisa bantu kamu. Serius. Mungkin karena kamu juga bikin hari-hari aku di sini jadi beda.”
Zindy menatapnya, perlahan. Ada sesuatu di balik kalimat itu. Sesuatu yang tak ingin terlalu diungkapkan, tapi juga tak bisa disembunyikan.
“Kayaknya ibumu ngobrolnya seru, Pakdhe ikut masuk ya, hehehe.” Seorang pria keluar dari dalam mobil pick-up putih itu.
“Pakdhe, maaf ya merepotkan. Pasti Pakdhe capek nyetir cuma buat jemput aku.” Kalib mencium tangan Pakdhe Santoso.
“Kamu udah seperti anakku sendiri. Yang penting sekarang udah lega. Udah selesai kan PKL-nya. Pacarmu cantik ya,” bisik Pakdhe Santoso.
Zindy hanya tersipu malu mendengar hal itu. Dia lalu tersadar. “Silahkan duduk dulu, Pakdhe. Aku ambilkan minum.” Dia berlari mauk menuju dapur untuk membuat minum tambahan.
Ibu dan Tante Sindhy keluar ke depan, melihat motor Kalib dinaikkan ke atas mobil pick-up. Mereka berpelukan dan ngobrol sejenak. Kalib mulai mengangkat koper dan tasnya ke mobil pick-up. Semua berjalan begitu cepat.
Zindy hanya berdiri di depan teras, memperhatikan dengan diam. Dadanya terasa aneh. Padahal tadi malam dia sudah bertekad untuk tidak sedih, tapi melihat Kalib benar-benar pergi membuatnya merasa seperti… kehilangan sesuatu.
Kalib menghampirinya untuk terakhir kali. Ia membuka kantong jaketnya, lalu mengeluarkan seutas gelang dari benang rajut merah yang tampak sederhana tapi rapi.
“Aku kemarin menyempatkan membuat ini,” katanya. “Nggak jago sih. Tapi ini buat kamu.”
Zindy menerimanya dengan hati-hati, seolah benda itu rapuh. Tangannya sedikit gemetar. “Kenapa warnanya merah?”
“Karena katanya, benang merah itu simbol orang-orang yang ditakdirkan untuk saling nyambung, walau sejauh apa pun.” Kalib tersenyum tipis. “Anggap aja ini buat ngingetin kamu, kalau aku pernah tinggal di rumah ini. Dan pernah jadi bagian dari harimu.”
Zindy mengangguk. Matanya mulai terasa panas.
“Jaga diri, ya,” ucap Kalib lembut.
“Kamu juga.”
Mereka tidak berpelukan. Tidak bersentuhan. Tapi mata mereka bicara banyak hal yang tak terucap.
Kalib naik ke atas mobil pick-up. Ibunya melambaikan tangan ke semua orang. “Terima kasih banyak ya, udah jaga Kalib selama ini!”
Mobil mulai melaju pelan. Kalib membuka jendela, melambaikan tangan.
“Zindy!” teriaknya sambil tersenyum. “Jangan lupa makan! Jangan lupa live! Dan jangan senyum-senyum ke orang lain kayak kamu senyum ke aku!”
Zindy tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang mulai basah. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Cepet balik, Kalib! Biar aku bisa senyum lagi ke kamu!”
Mobil menjauh, meninggalkan jalanan depan rumah itu. Zindy berdiri sendiri, menggenggam gelang benang merah itu erat-erat, seolah sebagian hatinya ikut terbawa pergi.