Hujan turun tipis saat mereka keluar dari studio. Gerimisnya halus, seperti kapas yang melayang-layang. Langit kota sudah gelap, tapi lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya ke aspal yang mengilap.
Kalib membuka payung hitam yang ia ambil dari bawa dari dalam tasnya, lalu menahannya di atas kepala mereka berdua.
“Bisa pulang bareng?” tanyanya.
Zindy mengangguk. “Tapi jangan mampir-mampir. Aku belum upload story closing hari ini.”
Mereka tertawa.
Di dalam mobil taksi online itu, suasana lebih tenang. Tidak seperti live tadi yang penuh sorak dan tawa, kini hanya ada suara hujan pelan yang memukul-mukul kaca jendela.
“Jadi...” Kalib mulai bicara saat mereka berhenti di lampu merah. “Kalau kalau suatu saat dikasih tawaran jadi host tetap Emcaya, kamu ambil nggak?”
Zindy berpikir sebentar. “Mungkin. Tapi nggak mau tiap hari. Aku masih pengen sekolah, masih pengen jadi diri sendiri. Aku suka dunia ini, tapi bukan berarti aku harus kehilangan sisi Zindy yang dulu.”
“Zindy yang jualan cemilan pakai keranjang hijau?”
“Zindy yang sempat gagal, sempat takut, sempat malu buka mulut. Tapi sekarang bisa bilang, ‘Gaes, buruan check out!’ di depan ribuan orang,” ucap Zindy sambil tersenyum bangga.
Kalib meliriknya sekilas. “Aku salut, loh.”
“Apaan?”
“Kamu berkembang banget.”
Zindy tersipu, lalu menatap keluar jendela. “Kamu juga. Kamu tahu nggak, Kalib? Dulu aku pikir aku sendirian. Nggak ada yang dukung. Tapi ternyata semesta pelan-pelan ngasih orang yang tepat datang di waktu yang tepat.”
Kalib tak menjawab. Tapi dari sudut pandangnya, terlihat senyum yang cukup untuk menjelaskan perasaannya.
Sampai di rumah, Ibu sudah menunggu di teras. Tangannya memegang payung, dan ia menyambut mereka dengan senyum hangat.
“Gimana live-nya?” tanya Ibu.
“Ramai banget, Bu,” jawab Zindy sambil membuka sepatu. “Kalib sempat salah nyebut serum jadi sirup.”
Ibu tertawa. “Halah, yang penting jualannya laris.”
Zindy dan Kalib masuk ke rumah. Hawa hangat menyelimuti ruang tamu. Aroma wedang jahe tercium dari dapur.
“Zindy, istirahat, ya. Nanti upload story-nya besok pagi juga boleh,” saran Ibu.
“Nggak, Bu. Nanti lupa.”
Zindy masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan wajah dan mengganti pakaian, ia duduk di meja belajar. Tangannya membuka draft story dan mulai merekam dengan nada yang santai tapi tetap profesional.
“Hai, gaes! Terima kasih buat yang udah nonton live bareng aku dan Kalib tadi. Nggak nyangka responnya seramai itu. Emcaya bakal kasih kejutan lagi, jadi stay tuned ya. Dan ingat… kulit sehat adalah investasi. Sampai jumpa di live selanjutnya!”
Selesai. Ia mengunggah video itu dan meletakkan smartphone-nya di meja.
Zindy berdiri, berjalan ke jendela. Hujan masih turun pelan. Di luar sana, lampu jalan bergoyang pelan tertiup angin.
Zindy memejamkan mata. Di dalam kepalanya, terputar momen-momen sepanjang hari itu: tawa, keseruan, komentar-komentar lucu netizen, dan… tatapan Kalib saat mereka sama-sama bilang “lima menit saja!”
Zindy tersenyum. Bukan senyum biasa. Tapi senyum dari hati, senyum seseorang yang tahu bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Senyum seseorang yang mulai jatuh cinta pada hari-harinya sendiri.
Besoknya, pagi diisi dengan aktivitas biasa. Tapi di hati Zindy, ada perasaan luar biasa.
Kalib belum pulang. Tapi waktu terus bergerak. Dan mereka tahu, waktu kebersamaan itu tak akan lama lagi.
Namun hari itu, mereka tidak bicara soal perpisahan.
Hari itu, mereka cuma ingin jadi Zindy dan Kalib—tim kuat yang selalu bisa membuat orang lain ikut tersenyum.