“Abang Kalib udah mau pulang ya?” Zean nampak sedih sore itu. Dia nampak tak ingin Kalib pergi.
“Aku masih di sini, Dek. Nih, buktinya masih bisa menemanimu main game!” Kalib tersenyum.
“Kata Ibu, Abang udah mau pulang. Soalnya magangnya udah mau selesai. Aku nggak mau Abang pulang. Tapi, nggak mungkin di sini terus.” Zean nampak tertunduk lesu.
“Jangan sedih. Kalau kangen besok bisa video call atau main game online bareng, ya. Jangan cemberut.” Bujuk Kalib.
Zean nampak melihat Zindy yang baru saja keluar dari dalam kamar. “Abang, jadian deh sama Kakakku! Biar pasti!” Celetuk Zean. “Kak, Kakak suka kan sama Abang Kalib!” Zean menghampiri Zindy.
Anak ini. Bisa tidak sih sehari saja tidak menjodoh-jodohkan aku dengan Kalib. Mau ditaruh mana mukaku. Zean, pengen banget rasanya kamu aku kunci aja di dalam kamar.
“Zean, dipanggil Nenek tuh di dapur!” Zindy mengalihkan pembicaraan agar Zean menghilang.
“Masa sih? Aku nggak dengar tuh,” Zean menggaruk-garuk kepalanya.
“Iya, kamu dipanggil. Sana, pergi!” Kalib mendukung Zindy.
“Oh ya. Iya, Nek. Zean dengar!” Zean berlari menuju dapur.
“Jadi,besok ehm … Abang udah pulang ya?” Zindy tertunduk.
“Iya. Ibuku besok menjemputku dengan mobil pick up. Dia mau berkunjung kemari. Katanya biar hemat, dijemput saja dengan mobil pick up punya pamanku. Apa kamu ehm … sedih?” Kalib ragu menanyakan hal itu.
“Tentu. Aku bakal sedih. Kehilangan kameramen dan editor otw profesional seperti Abang. Bakal kehilangan juga teman curhat. Jadi anak sulung itu tidak enak. Aku selalu bermimpi ingin punya kakak.” Zindy membuka laptop peninggalan ayahnya.
“Jadi, aku hanya kakak ya?” Kalib nampak kecewa.
“HAH?” Zindy tertegun. Dia bingung dengan tingkah Kalib. “Iya, kan lebih tua kamu kan. Masa aku menganggap adik. Kan aneh.”
“Apa itu berarti kamu sudah jadian sama Leon?” Kalib memberanikan diri bertanya hal yang selama ini dia tahan.
“Jadian? Kapan? Nggak. Aku cuma temenan sama Leon. Dia cowok yang baik. Abang sebenarnya mau tanua apa?” Zindy jadi bingung.
Apa aku mau ditembak? Nggak, nggak. Mungkin Abang Kalib cuma mau memastikan saja. Tapi, kenapa hatiku dag dig dug ya. Dia cowok yang baik. Selalu ada dan bantu aku. Jika aku juga suka wajar kan.
Zindy jadi makin salah tingkah. Dia langsung lupa dengan hal yang ingin dia lakukan. “Aku tadi mau buka apa ya?”
“Jika lebih dari kakak apa kamu setuju?” Kalib bertanya dengan suara meninggi.
“HAH?” Zindy tercengang. Dia heran. Baru pertama kali dia mendengar Kalib setengah berteriak seperti itu. “Maksud Abang apa?”
“Aku mau lebih dari sekedar kakak. Aku mau jadi penghuni … penghuni hatinya Zindy ….” Kalib tak berani menatap Zindy. Dia langsung menyembunyikan wajahnya di balik hoodie-nya yang tebal.
“Ah, Abang bisa malu juga ya. Lucu. Aku merasa nyaman sama kamu ….” Zindy memberikan jawaban.
“Berarti kamu menolak aku?” Kalib merasa kecewa. “Aku pasti banyak kurangnya ya ….”
“Dengerin dulu! Aku belum selesai bicara!” Zindy berkacak pinggang.
“Oh, masih ada terusannya? Oke, siap mendengarkan.” Senyum langsung terkembang di bibir Kalib.
“Kemarin Leon juga menembak aku, tapi aku ….”
“Kamu terima Leon?” Kalib memotong lagi.
“Aku belum selesai bicara, Bang. Kamu beneran nggak sabar ya. Dengarkan dulu ceritaku….” Zindy semakin ingin jahil. Dia suka melihat Kalib nampak putus asa dengan wajah yang menurutnya kocak.
“Seumur hidupku baru kali ini aku nembak cewek!” Kalib menyembunyikan wajahnya lagi di balik hoodie-nya.
“Astaga, aku yang pertama ya. Oke, aku setuju. Jadi yang pertama kan spesial….” Zindy nampak canggung. Dia tak berani menatap Kalib. Matanya tidak berani melirik ke arah Kalib.
“Aku diterima?” Kalib nampak senang. Dia ingin memeluk Zindy tapi tak jadi. “Maaf, terlalu senang. Kamu harus dijaga….”
“Ehm …. aku berarti punya pacar nih?” Zindy ragu harus bicara apa.
“Iya, aku kakak dan juga pacarnya Zindy. Ehm … buat kamu ….” Kalib menyerahkan flash disk warna pink. Ada gantungan dari akrilik. Gantungan itu berbentuk beruang coklat dengan wajah Kalib terpampang di bagian kepala.
“Ih, lucu. Beruangnya imut sekali. Buat sendiri ua?” Zindy menyandingkan beruang itu dengan wajah Kalib.
“Iya, limited edition hanya ada satu di dunia. Khusus buat Zindy saja. Beruang Kalib Coklatos namanya. Agar kamu selalu ingat aku. Isi flash disk itu video editan dari vlog kamu. Aku harap meski kita long distance relashionship. Astaga, baru jadian udah LDR. Kamu selalu ingat aku….” Kalib tak berani menatap Zindy. “Entah pernyataanku diterima atau tidak, tapi aku sudah menyiapkan benda ini. Aku ikhlas memberikannya. Kamu gadis yang baik dan ehm … cantik. Aku suka ….” Kalib masih malu-malu saat memuji Zindy.
“Aku cuma menyiapkan ….” Zindy bergegas menuju ke kamarnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ada mug di dalam kotak itu. Mug putih dengan sebuah foto tercetak di sisi luar lapisan mug. “Aku nggak tahu bagaimana perasaan Abang kepadaku jadi aku cetak fotonya yang ada Zean. Biar netral. Itu foto waktu kita jualan di sunday morning kemarin. Setidaknya jika mug itu aku berikan, kamu akan selalu ingat aku.”
“Mug yang lucu. Aku bakal simpan dengan baik….” Kalib tersenyum menatap foto di mug itu.
“Digunakan!. Aku mau mug itu menemani Abang waktu baru belajar atau kerja bikin projek edit video. Aku tak bisa menemani setiap saat. Kuharap kamu bakal terus mengingatku. Aku merasa nyaman dan aman saat ada kamu, Bang. Meski harus berpisah, tapi … aku menerimanya ….” Zindy tersenyum.
“Aku bakal pulang dengan perasaan lega. Kita nanti besarkan ayam aja!” Kalib menunjukkan akun Toktok-nya. Ada chat random dia dengan Zean. “Aku sama Zean suka chat random tentang game sampai ada ayam. Kayak gini!”
“Itu bukan ayam.” Zindy protes dengan pendapat Kalib. Animasi api Toktok itu emang mirip ayam. “Itu api! Dia itu api bukan ayam!”
“Lebih mirip ayam. Dia warnanya kuning, kadang oranye juga. Mana ada api bisa kedinginan.” Kalib tak setuju dengan pendapat Zindy.
“Oke nanti kita chat sampai ada apinya ya. Harus wajib dibuka. Awas aja kalau apinya sampai mati. Aku nggak bakal maafin!” Ancam Zindy.
“Iya, aku chat setiap hari sampai di akun Toktok kita ada ayam warna ungu. Ayam cemani. Ini ayam, bukan api….” Kalib masih mendebat Zindy.
“Ya udah terserah, pokoknya harus saling memberi kabar. Kalo aku live kamu juga harus lihat. Komentar dan wajib nonton. Jangan di skip! Aku juga bakal sering like videomu di Yutub. Mungkin aku juga bakal belajar jadi Yutuber juga. Kayaknya seru, hihihi!” Zindy antusias.
“Boleh, nanti aku ajarin tutorial dari jauh. Jalan di depan masih panjang. Aku juga masih ingin kuliah….” Kalib menghela napas.
“Abang pengen jadi apa?” Zindy penasaran.
“Aku ingin jadi pegawai negeri sipil. Sepertinya enak, sampai tua bisa dapat pensiun. Di lingkungan msyarakat tempatku tinggal, jadi PNS itu terpandang. Berasa berwibawa. Aku juga ingin seperti itu. Kalau kamu? Mau ambil jurusan apa?”
“Aku ingin kuliah jurusan manajemen. Aku ingin kerja di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMM). Katanya gajinya besar. Pengen rasanya kerja kantoran. Pakai blazer rapi, di depan komputer seharian. Pakai lanyard biru. Pasti sangat menyenangkan.” Zindy tersenyum membayangkan impiannya.”
“Apa yang kita usahakan saat ini sebenarnya hanyalah jalan untuk mencapai impian yang lebih besar. Jika tidak berada dalam kondisi sulit, mana mungkin aku belajar jadi Yutuber, belajar jadi konten kreator sampai susah payah buka jasa edit foto online. Sayap kita nggak bakal terkembang sejauh ini….”
“Iya, jika dipikir-pikir ada benarnya juga. Jika aku tidak broken home, terus kesulitan bayar SPP, aku nggak bakal nekat jualan di sekolah. Nggak bakal nekat jadi konten kreator modal seadanya. Nggak bakal nekat jadi affiliate. Nggak bakal bisa kerjasama sama brand besar. Mungkin aku cuma bakal jadi anak biasa saja. Yang hanya menggantungkan hidup pada orang tua.” Zindy mengingat kembali masa-masa sulit itu. “Aku nggak akan mengusahakan membangun akun yang menghasilkan jika terjebak di zona nyaman.”
“Itulah hikmahnya. Kita bisa atau mungkin terpaksa harus bisa bertahan. Lepas dari zona nyaman. Matang sedikit lebih awal. Mungkin ini cara Tuhan memberi jalan rejeki lebih. Jika terus dikembangkan akan jadi sumber side income. Bukan kah manusia hingga akhir hayat perlu uang?” Kalib menatap Zindy.
“Iya, bisa jadi sumber pemasukan. Akunku harus dirawat agar bisa menghasilkan uang untuk modal kuliah. Siapa tahu kelak makin banyak brand yang mengajak kerjasama. Bisa jadi portofolio juga. Aku merasa Abang memang dikirim semesta untukku….” Zindy merasa malu mengatakannya.
“Ehm … aku pahlawan ya untukmu?” Kalib merasa tersipu malu mendengar pujian Zindy.
“Iua, kamu pahlawanku. Teman belajar bareng. Seseorang yang mengajari cara membuat konten. Seseorang yang menguatkan. Seseorang yang khawatir padaku. Aku beruntung semesta mengirimmu bertemu denganku….”
“Aku jadi makin malu. Aku besok mau ambil akuntansi atau manajemen. Agak nggak nyambung tapi kata orang-orang, jurusan itu yang banyak dicari waktu pembukaan CPNS. Mimpi harus terus diperjuangkan.” Kalib menatap Zindy lembut.
“Perjalanan masih panjang. Mari saling menguatkan untuk masa depan. Sama-sama usaha biar bisa masuk fakultas ekonomi ya!