Zindy menatap laptop milik ayahnya. Dia menggunakan laptop itu untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Wallpaper laptop itu sengaja Zindy pasang foto saat mereka berempat masih lengkap.
“Zindy sampai kapan pun akan selalu rindu, Ayah.” Tangan Zindy membelai foto di laptop itu.
“Kamu belum tidur?” Suara Ibu terdenfar dari arah belakang.
“Belum, Bu. Tadi habis ngerjain tugas dari guru. Laptop ayah setelah diservis masih lumayan bagus. Biasa buat mengetik. Kipasnya nggak berisik lagi.”
“Rawat dan gunakan dengan baik ya. Meski usang tapi ini benda peninggalan ayahmu.” Ibu membelai lembut kepala Zindy.
“Iya, Bu. Pasti. Di sini juga ada novel karya ayah. Salah satunya draft novel yang berjudul Simfoni Rindu Zindy. Ayah ternyata sesayang itu sama Zindy. Aku berasa bersalah pernah benci ayah, Bu….” Zindy mencurahkan isi pikirannya.
“Tidak apa-apa. Itu wajar. Sekarang sudah tahu kan apa alasannya?” Ibu memeluk Zindy. “Maafkan Ayah ya. Biar Ayah tenang di sana. Doakan Ayah….”
“Iya, Bu. Zindy pasti mendoakan ayah.” Tangan Zindy kembali memegang liontin berbentuk huruf Z itu.
“Ibu pengen bahas masa depan….” Ibu mengeluarkan buku tabungan dan kartu debet peninggalan ayah dari dalam saku bajunya. “Ibu sudah mengurus ini ke bank dibantu Tante dan Om. Uangnya bisa dicairkan. Besok buat melunasi SPP kamu yang menunggak ya. Ganti juga sisa uang punya Rara.” Ibu menyerahkan lembaran uang pecahan seratus ribu rupiah ke hadapan Zindy.
“SPP Zindy bisa lunas, Bu?” Zindy merasa tak percaya ini.
“Iya, bisa lunas besok.” Ibu tersenyum.
“Aku senang!” Zindy menangis. “Aku takut banget kalau putus sekolah. Zindy pengen lulus SMA terus lanjut kuliah. Biar bisa jadi pegawai BUMN!”
“Iya, kita usahakan ya, Nak. Ibu pasti akan bantu dan dukung Zindy!” Ibu turut menangis melihat Zindy.
“Aku janji bakal rajin sekolah. Pokoknya bakal selalu rajin. Ini uang hasil kerja keras ayah. Ayah pasti susah payah buat mengumpulkan ini. Dia masih ingat aku.” Zindy memasukkan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya.
“Kamu rajin belajar ya. Ibu juga bakal usaha kerja keras mengumpulkan uang buat biaya kuliah kamu. Jika diusahakan pasti ada jalan.” Ibu menyemangati Zindy.
“Apa Zindy jualan lagi ya Bu?”
“Buat apa? SPP kan udah lunas dengan uang ini.” Ibu nampak bingung.
“Buat bantu mengumpulkan uang kuliah, Bu. Menurut data di internet, biaya kuliah makin mahal. Uang kuliah tunggal bisa mencapai jutaan rupiah setiap semester. Mumpung masih kelas sebelas, Zindy bisa bantu mengumpulkan uang dari sekarang, Bu. Meski sedikit, jika dikumpulkan pasti jadi bukit juga. Minimal uang semester pertama bisa terbayar. Waktu kuliah, pasti butuh buat biaya beli buku dan mengerjakan tugas.” Zindy menatap Ibu.
“Pemikiranmu sudah matang. Jika itu keinginanmu, maka lakukan. Ibu tidak memaksa dan tidak akan melarang. Setelah kamu dewasa, kelak harus mandiri. Ibu tidak bisa setiap saat mendampingi. Ibu juga bakal bantu mengumpulkan uang dan berhemat dari sekarang. Kuliah memang tidak langsung menjamin punya setumpuk uang setelah lulus. Tapi kuliah bermanfaat untuk membentuk pola pikir dan memperluas sudut pandang. Beberapa kesempatan jabatan seperti PNS dan BUMN juga mayoritas perlu gelar sarjana. Ibu orang kecil, tidak bisa mewariskan banyak harta buat Zindy. Ibu akan mewariskan ilmu. Harapannya agar kamu bisa semakin bijaksana dalam menjalani hidup.” Ibu mengambil selembar kertas.
“Ibu, mau nulis apa?” Zindy bingung.
“Menulis rencana masa depan. Kamu setahun lagi kan perlu kuliah. Zean tahun depan masuk SMP. Perlu direncanakan.” Ibu membuat catatan.
“Jadi, sisa tabungan ayah buat persiapan Zean masuk SMP ya?” Zindy melihat catatan itu.
“Iya, sebagian buat melunasi SPP kamu dj kelas sebelas dan dua belas besok. Sebagian buat persiapan masuk SMP adikmu. Katakanlah besok kamu dapat uang kuliah tunggal sekitar empat atau lima juta rupiah setiap semester. Berarti kita harus mengumpulkan uang setidaknya enam ratus ribu rupiah setiap bulan mulai tahun ini. Paling tidak sehari harus menabung atau berhemat dua puluh ribu rupiah. Ini biar bisa bayar semester pertama kuliahmu. Usahakan masuk PTN ya.” Ibu menatap Zindy lembut.
“Iya, Bu. Zindy bakal rajin belajar biar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Zindy memang ada cita-cita masuk PTN. Pengen masuk fakultas ekonomi dan ambil jurusan manajemen.”
“Itu jurusan yang tugasnya tidak butuh banyak bahan. Mungkin mencetak tugas saja. Kalo kamu mau masuk jurusan yang banyak prakteknya seperti tata boga atau tari, uang yang dikumpulkan harus lebih banyak.” Ibu mencatat jurusan impian Zindy.
Diterima masuk PTN jurusan manajemen dengan UKT yang tidak besar.
Ibu menulis kalimat itu lalu menempelkannya di meja belajar Zindy. Kalimat itu ditempel dengan plester seadanya.
“Perlu ditulis biar selalu ingat dan didoakan dalam hati. Meski masih satu tahun lebih tapi harus diperjuangkan dan dipersiapkan dari sekarang. Ibu pernah jadi mahasiswa. Kuliah butuh mental yang kuat dan dukungan finansial juga.” Ibu membelai lagi kepala Zindy. “Demi masa depan, harus diperjuangkan dan didoakan. Ayah mungkin sudah tidak bersama kita. Tapi kamu masih punya Ibu. Ibi bakal bantu sekuat tenaga. Biar Zindy bisa terbang menggapai impiannnya.”
“Makasih, Bu….” Zindy kembali menangis. Dia merasa aman dan tenang.
“Maaf ya jika mungkin kamu tidak seperti anak-anak lain. Perjalananmu mungkin lebih terjal dan berbatu. Tapi, Ibu janji bakal mengusahakan sekuatnya. Ibu bakal lebih keras bekerja lagi biar gajinya juga bertambah.” Ibu memeluk Zindy.
“Bu, kalo Zindy juga jualan di sunday morning gimana?” Zindy mengeluarkan ide di kepalanya.
“Kamu nggak capek? Di sekolah udah jualan. Weekend live, masih mau jualan di sunday morning?” Ibu kaget dan nampak tak suka.
“Seperti kata Ibu tadi. Harus berjuang dari sekarang, biar uang kuliah semester pertamaku ada. Biar terkumpul semakin banyak, Bu. Aku tidak memaksakan diri, sekalian refreshing. Oh ya, sekalian olahraga jogging juga. Aku mau jualan jalan pakai nampan aja, Bu. Nggak buka stand. Boleh ya, Bu….” Bujuk Zindy.
“Baiklah. Jika itu maumu. Ibu mengizinkan. Jangan terlalu keras pada dirimu. Tugas utamamu masih sekolah ya.” Ibu tersenyum.
Zindy menangguk-angguk. “Iya, Bu. Zindy bakal tetap rajin belajar.”
“Sudah malam. Segera tidur ya….” Ibu hendak meninggalkan kamar Zindy.
“Malam ini tidur di kamar Zindy, Bu. Pengen ditemenin Ibu….” Ujar Zindy manja. Dia menarik tangan Ibu dengan erat.
“Udah besar masih pengen ditemenin. Ya udah. Sini, Ibu temenin malam ini.” Ibu merebahkan diri di samping Zindy.
“Zindy pengen dibacain dongeng….” Rengek Zindy manja. Dia sudah memeluk tubuh Ibu.
“Mau dongeng apa? Dongeng kancil aja ya. Oh atau kancil versi masa kini aja. Dia nggak mencuri timun tapi pesan timun lewat aplikasi online….”
“Bu, mana ada kancil bisa pegang handphone.” Zindy tak jadi terlelap.
“Kan dongeng fabel masa kini. Kan sekarang ada juga tuh cangkir kopi jadi penari balet. Ceritanya kancil lapar terus dia order lewat aplikasi minta dikirimin timun emas….” Ibu asal mengarang cerita. Zindy mendengarkan begitu saja. Dia terlelap dalam buaian Ibu.