“Hari ini mau jualan sore lagi kan?” Mata Rara nampak berbinar. Dia sibuk memperbaiki tatanan rambut dengan sisir. Bedak dan liptint tak lupa dia poles ulang.
“Iya, hari ini aku mau jualan. Mumpung ada ekstrakulikuler. Kamu nggak pulang aja?” Zindy menghitung ulang sisa dagangan di keranjang hijau itu.
“Aku mau ikut. Butuh refreshing mataku. Kan kalo nemenin kamu ada alasan buat ngeliat cowok-cowok cakep di tim basket. Tahu nggak? Sekolah kita mau ikut Youth Basket League (YBL). Itu yang liga basket antar sekolah SMA. Leon and the geng pasti baru sibuk latihan. Aku mau cuci mata, hihihi sapa tahu ada yang nyangkut. Kan jodoh boleh lah diusahakan, hehehe.” Rara menyikut bahu Zindy.
“Iya,ayo kalo mau ikut.” Zindy sudah merapikan tas sekolah dan keranjang dagangannya. “Bentar, aku mau touch up dulu.” Zindy menggerai rambut panjangnya yang selama ini terkuncir. Dia juga menambahkan poni. Bando warna merah dengan pita di sebelah kanan juga dipakainya. Bedak dan polesan liptint juga sudah digunakan.
“Cie, cantik amat, Bun. Mau ehem narik perhatian Leon ya?” Goda Rara.
“Nggak mau memperlihatkan aja ciri khasku. Pita merah. Pengen tahu kalo Zinvlog tampilanku kayak gini, fresh makin banyak yang nonton nggak, hehehe.” Zindy mengambil selfie di smartphone-nya. “Halo Gaes, hari ini aku mau jualan lagi di sore hari. Sekolahku mau ikut liga basket yang lagi viral itu, YBL. Aku mau jualan sambil nonton latihan tim sekolahku. Biasa sama bestie-ku, Rara.” Zindy merekam vlog sejenak.
Lapangan basket indoor di sekolah itu nampak ramai. Banyak siswa antusias melihat latihan tim basket. Mata itu sejenak tertuju pada kedatangan Zindy.
“Wah, kebetulan. Aku laper, nih. Apa aja cemilannya?” Seorang anak menghampiri dagangan Zindy. Dia baru saja duduk di tribun penonton.
“Masih ada banyak, Gaes.” Zindy tersenyum sambil menawarkan dagangannya.
“Aku mau beli minuman dan cemilan ini ya, uangnya.”
“Ya, makasih.” Zindy mulai sibuk melayani pembeli.
Suara tabuhan drum juga ikut meramaikan latihan itu. Ada juga grup dance sekolah yang akan ikut tampil. Nampak Leon sedang sibuk mengikuti arahan pelatih.
“Leon semangat, Zindy datang buat kamu!” Teriak Rara. Teriakan itu terdengar kencang.
Teman durhaka! Mau ditaruh mana mukaku. Ra, kamu bikin jantungku mau berhenti tahu!
Leon sejenak menoleh ke arah panggilan itu. Dia seolah tersenyum saat menatap Zindy. Zindy tak berani menatap balik.
“Tuh! Leon notice. Dia senyum lho, tadi!” Rara menyenggol bahu Zindy.
“Aku malu, Ra.” Zindy tertunduk.
Nampak Leon semakin semangat. Dia dengan mudah memasukkan bola basket ke ring. Sorak sorai penonton terdengar setiap Leon berhasil memasukkan bola. Latihan basket itu sudah berakhir
“Udah, udah sore. Pulang, yuk!” Zindy menarik tangan Rara.
“Tunggu!” Terdengar suara menuju ke arah Zindy dan Rara. Nampak Leon lari menuju ke arah tribun. “Sebentar!” Dia mencari sesuatu dari dalam saku celana jersey-nya. “Aku tanding besok hari Sabtu. Datang ya. Ini ada dua tiket. Buat kamu sama temenmu.” Leon tersenyum saat menyerahkan tiket itu.
“Pasti! Pasti!” Rara nyengir. “Zindy dan aku pasti bisa datang! Makasih Yon.”
“Bisa datang kan? Hehehe. Aku berharap kamu datang kayak hari ini.” Leon sedikit gugup.
“Aku usahakan. Karena ada Rara juga.” Sahut Zindy. Dia tak ingin membuat Leon kecewa.
“Oke. Aku tunggu ya. Hati-hati pulangnya, Nona Wirausahawan Muda!” Leon berlalu pergi.
“Ah, so sweet banget, deh!” Rara menyikut bahu Zindy. “Langsung dibeliin tiket. Ini pasti tribun yang deket. Besok harus nonton. Nih, kamu yang bawa ya. Aku takut lupa. Besok aku jemput pake mobilku aja!” Rara menyerahkan tiket itu ke Zindy.
“Padahal aku belum tahu datang apa nggak. Ibuku kan strict parent. Tapi, kalo sama kamu kayaknya boleh deh.” Zindy menyimpan tiket itu di dompetnya.
Weekend sudah tiba. Zindy sudah nampak rapi. Dia dudui di ruang tamu.
“Rapi amat. Mau pergi ya? Nggak live sore ini?” Sapa Kalib, dia datang dari luar rumah.
“Bang, ayo temenin Zean mabar. Mumpung weekend,nih!” Zean hendak mengambil smartphone Zindy.
“Bentar, ah. Aku baru nunggu chat dari temenku, Rara. Kakak mau pergi. Ada acara!” Tolak Zindy. Nampak notifikasi chat masuk.
Rara:
Beb, maaf. Aku nggak bisa ikut nemenin. Maaf banget. Nenekku tiba-tiba masuk rumah sakit. Kepleset di kamar mandi.
“Astaga! Kasihan amat Rara.” Zindy ikut panik. “Ya udah deh. Pergi sendiri aja.”
“Kamu yakin mau pergi sendiri?” Ibu datang membawakan cemilan gorengan.
“Iya, Bu. Nggak enak kalo nggak datang. Tiketnya udah dibeliin temen.” Zindy hendak mengambil kunci motor.
“Itu gedung olahraga pasti rame. Kamu cewek. Nanti kalo ada apa-apa gimana? Pasti juga sampai malam.” Tegur Ibu.
“Ya, ehm….Zindy bisa jaga diri, Bu. Temen Zindy pasti banyak juga di sana.”
“Ya udah, Kalib boleh minta tolong temeni Zindy?” Ibu tersenyum pada Kalib.
“Hah? Ngajak Bang Kalib?” Zindy kaget.
“Iya. Pasti tiketnya ada dua kan? Atau kalo nggak,nanti Kalib beli tiket di sana aja. Berapa sih tiketnya? Ibu bayarin, deh. Yang penting kamu aman. Nggak sendirian.” Ibu sudah berkacak pinggang.
“Tiketnya ada dua, Bu. Nggak usah beli. Tapi, masalahnya Bang Kalib ada acara nggak? Kan dadakan banget.” Zindy tak yakin.
“Aku nggak ada acara kok. Boleh banget. Sekalian lihat event di kota ini. Aku ganti baju dulu ya!” Kalib mengiyakan permintaan itu.
“Tuh, Kalib bisa. Pake motornya Kalib aja. Nanti kamu isi bensinnya ya. Dah, sana. Hati-hati perginya.” Ibu akhirnya memberikan izin.
“Abang, maaf ya merepotkan.” Zindy tak enak hati.
“Santai aja. Kapan lagi bisa nonton basket gratis? Hehehe. Itu temenmu yang ngasih tiket siapa?” Kalib menoleh sejenak ke arah Zindy saat motor itu berhenti di lampu merah.
“Ehm, dikasih Leon. Dia minta aku datang sama Rara. Tapi Rara nggak bisa.” Lidah itu terasa kelu saat menyebut nama Leon di hadapan Kalib.
“Oh, temen kamu itu. Eh, apa pacar kamu?” Celetuk Kalib.
“Ih, apaan sih, Bang. Aku nggak ada apa-apa sama dia. Mungkin dia mah minta maaf karena pernah nimpuk kepalaku aja.”
“Ya udah kalo temen. Aku nggak enak soalnya kalo kamu ada hubungan istimewa sama dia. Takut jadi gosip di sekolahmu. Kan kemarin di akunmu banyak yang nge-ship kalian.” Kalib menjalankan motor itu sesuai arahan dari aplikasi maps di yang terpasang di smartphone-nya.
“Nggak ada apa-apa kok. Dia orangnya emang terkenal baik. Suka mentraktir teman.”
Nampak gedung olahraga yang megah. Dari luar gedung itu berasa ramai. Kalib mencari parkiran yang aman untuk menaruh motornya. Motor itu berhenti. Zindi turun dan melepaskan helmnya.
“Aku nggak tahu, lho. Ini harus kemana. Aku ngikut kamu deh.” Kalib memegang bahu Zindy yang terbungkus jaket tebal.
“Aku juga belum pernah ke sini,Bang. Ngikut orang aja. Pasti nanti juga bisa masuk.” Zindy menatap ke arah gerombolan orang itu.
“Zindy!” Terdengar seseorang memanggil.
“Hay, Dhea!” Sapa Zindy balik. Nampak Dhea datang bersama Vira dan Sella. Mata Sella fokus menatap ke arah Kalib.
“Rara mana?” Dhea menatap tajam ke arah Kalib.
“Rara nggak bisa ikut. Ada acara keluarga yang penting. Jadi aku datang sama ehm …. Saudara jauhku.” Zindy sedikit ragu.
“Oh, ini saudaramu. Siapa namanya?” Vira penasaran.
“Aku Kalib. Senang bertemu dengan kalian.” Sapa Kalib ramah. Lesung pipinya terlihat saat dia tersenyum.
“Wah, manis banget.” Celetuk Sella spontan.
“Hah? Apa yang manis?” Kalib bingung.
“Ehm, gula. Ya, gula! Gula itu manis!” Sella salah tingkah.
“Oh, gitu.” Kalib jadi bingung.
“Udah, ayo masuk. Nanti telat!” Ajak Dhea.
Mereka segera memasuki area gedung olahraga itu. Bentuknya bangunan segidelapan. Untuk mencapai tribunnya perlu menaiki anak tangga. Ada panitia yang memberi petunjuk agar penonton tidak tersesat. Sebelum masuk dilakukan pemeriksaan tiket.
“Wah, ramai banget suasananya!” Kalib takjub. Dia baru pertama kali mengikuti acara seperti ini. Zindy sibuk memegang ujung jaket Kalib.
“Abang belum pernah nonton kayak gini?” Zindy melangkah dengan hati-hati menuju kursi duduk di bagian tengah.
“Belum, sekolahku nggak pernah ikut acara kayak gini. Seru juga ternyata.” Kalib sudah duduk di samping Zindy.
Acara dibuka dengan meriah. Terdengar yel-yel dari kedua sekolah. Grup dance sekolah Zindy menakai seragam warna merah. Anak-anak dance itu dengan lincah menunjukkan keterampilannya diiringi musik K-pop dan Pop Indonesia. Grup dance sekolah lawan juga tak kalah memesona.
“Wuih, keren dan cantik!” Puji Kalib.
“Cantikan mana sama aku?” Celetuk Zindy spontan.
Mulut durhaka. Kenapa kau menanyakan hal konyol seperti itu.
“Tentu lebih cantik kamu.” Kalib tersenyum. “Kamu itu manis. Hatimu bersih. Juga mandiri.”
Bang, kamu tahu nggak sih kalo hatiku dag dig dug. Kenapa menanggapinya serius sih. Bercanda kan bisa.
“Eh, pertandingan udah mau mulai.” Zindy mengalihkan pembicaraan.
Nampak kedua tim menyambut penonton. Leon nampak gagah dengan jersey warna putih dengan gradasi merah. Dia mencari ke arah tribun sekolahnya. Matanya mencoba mencari Zindy.
Siapa itu cowok yang ada di sampingnya? Dia nggak datang sama Rara? Apa itu pacarnya Zindy?
Zindy sibuk mengabadikan momen dirinya dengan Kalib. Beberapa kali jepretan kamera depan dilakukan Zindy. Ini pertama kalinya dia bepergian dengan Kalib.
“Nanti pulangnya bisa kali ya mampir ke warung bakso. Aku belum makan tadi.” Keluh Kalib.
“Nanti aku traktir. Aku tunjukin warung bakso urat jumbo yang enak!” Jempol kanan Zindy teracung.
“Aku aja yang traktir. Kan udah nonton gratisan. Lincah juga ya pemain sekolahmu. Mana yang namanya Leon?” Kalib penasaran.
“Itu, yang tinggi dan putih. Yang pakai tanda captain.” Tunjuk Zindy.
Sorak sorai nampak terdengar saat Leon berhasil memasukkan bola ke ring. Paling heboh para penonton cewek tentu saja. Zindy ikut histeris karena terbawa suasana.
“Gila, Leon keren. Dia bisa ya lompat setinggi itu!” Suara Zindy terdengar nyaring.
“Cuma lompat aja. Kangguru juga bisa.” Kalib nampak tak suka.
Leon sibuk mengejar point. Dia dengan mudah mencetak skor kembali. Penonton semakin heboh.
“Wah, gila itu tadi 3 poin ya? Akurat sekali Leon!” Zindy ikut heboh.
Kalib masih duduk di samping Zindy. Dia tidak ikut suasana yang makin heboh. Matanya melirik ke arah Zindy sebentar lalu kembali fokus ke arah lapangan.
“Hm….” Kalib datar.
Ini cuma perasaanku aja? Atau emang Abang Kalib agak bete. Suaranya terdengar berbeda.
“Kenapa? Abang capek?” Tanya Zindy.
“Nggak papa. Aku nggak tahu bakal seheboh ini suasananya. Yang nonton lebih excited daripada yang main.” Kalib nampak badmood.
Wajar kan kalo terbawa suasana. Ini perasaanku aja atau dia nggak suka aku memuji Leon. Tapi kan semua orang melakukan hal yang sama.
Saat pertandingan berhenti sejenak, Leon menoleh ke arah penonton dan tersenyum. Itu bukan senyum biasa. Senyuman itu terasa berlangsung lama. Senyuman yang seolah mengarah ke arah Zindy.
Zindy refleks tersenyum balik. Wajahnya memerah, dia semakin bingung dan gugup. Kalib hanya diam. Bahunya agak kaku. Matanya tetap menatap ke lapangan.
“Dia emang sering senyum gitu ke semua orang?” Kalib bertanya tanpa menoleh.
Zindy gelagapan. “Hah? Siapa?”
“Itu Leon. Siapa lagi.” Nada bicara Kalib nampak makin gusar.
“Oh. Biasanya emang gitu sih.” Zindy menjawab asal.
“Hmm….” Kalib mendengus pelan. “Padahal menurutku senyum kayak gitu cuma buat satu orang aja.”
Zindy makin bingung. “Maksudnya?”
Kalib tetap tak menatap. Tapi tangan di saku celananya terkepal. “Nggak papa.”
“Kamu marah? Abang udah capek ya nontonnya?” Zindy penasaran.
“Kamu sadar nggak sih tiap dia berhasil memasukan bola ke gawang senyumnya ke arah kamu?” Kalib menoleh dengan sorot mata yang tajam.
“Enggak ah. Itu cuma perasaan Abang aja kali.”
Kalib mendekat. Kepalanya mendekat miring sedikit ke arah telinga Zindy. “Kalau ada yang mau bikin kamu deg-degan, jangan senyum orang lain. Tapi, aku saja.”
Zindy menunduk. Mukanya panas. Dia gagal fokus. Gagal napas juga kayaknya.