“Dagangan hari ini lumayan ramai. Aku juga harus mulai siapkan catatan kegiatanku juga. Jangan sampai nilai melorot. Perjalanan jadi pegawai BUMN masih panjang!” Zindy menghitung uang modal dan kembalian di meja.”
“Wuih, rame nih. Dagangannya banyak yang laku juga hari ini padahal baru istirahat pertama. Ikut aku bikin challenge donk! Nanti aku tag akunmu biar rame juga akunku!” Rara sedang scroll challenge Toktok yang sedang viral. “Tebak-tebakan anomali aja ya. Ituh yang gambar foto aneh bikinan AI (Artifial Intellegence).”
“Boleh. Waktu istirahat masih agak longgar. Kayaknya ada jam kosong juga. Ballet Rina Cappucino. Kayak gitu kan anomali tuh?” Zindy asal celetuk.
“Iya sih. Nanti aku pilih yang susah-susah. Hahaha!” Rara sibuk mengumpulkan gambar para anomali.
“Nih,aku mau nyicil hutang. Maaf ya lama.” Zindy menyerahkan dua lembar uang nominal seratus ribu rupiah kepada Rara.
“Aku terima. Nggak papa. Aku ada alasan buat cuci mata tiap ekstrakulikuler basket. Apalagi cowok gengnya Leon, cakep-cakep. Dapat satu boleh lah, hihihi.” Rara mulai berkhayal. “Zin! Follower-mu udah 600 akun!” Teriak Rara. Suaranya keras dan nyaring.
“HAH?” Zindy tak percaya melihat akunnya yang tampil di layar smartphone Rara. “Ih, bener. Followerku udah 600 akun lebih dikit.” Zindy masih tak percaya. “Emang boleh ya orang biasa seperti aku dapat follower sebanyak ini. Aku takut ini mimpi! Cubit aku, Ra!”
“Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Konsistensimu terbayar. Follower akunku juga naik. Belum 600 akun sih tapi dikit lagi bisa lah nyusul. Makanya aku mau bikin konten kolaborasi sama kamu. Nanti akunmu aku tag. Tebak-tebakan nama anomali. Handphone-mu nanti buat nampilin gambar anomalinya ya.”
“Boleh-boleh.” Zindy mengiyakan permintaan Rara. Pikirannya mulai terbang dari raganya. Mulai ada rasa takut, tegang dan antusias untuk mengambil langkah berikutnya.
“Malam ini ada apa lagi? Kok keliatan lesu?” Kalib masuk ke ruang tamu. Dia menemukan Zindu tertunduk memandangi smartphone-nya.
“Follower-ku udah 600 akun,Bang. Aku senang tapi takut juga. Berarti langkahku jadi influencer makin dekat. Tapi, emang bisa ya, orang kayak aku ngasih pengaruh ke orang lain buat beli produk?” Zindy masih tak percaya diri.
“Kamu itu unik. Kamu punya cerita sendiri. Punya perjuangan. Justru itu yang diburu netizen. Bukan hidup yang sok sempurna tapi yang nyata.” Kalib memberikan semangat dengan jempol. Senyum manis itu membuat jantung Zindy berdebar.
“Oke, aku coba. Tanggung juga udah sejauh ini.” Meski tertunduk, tapi di ujung mata Zindy seolah nampak ada lilin harapan yang dia ingin wujudkan.
“Kalo kamu mau, nanti aku bantu. Enam ratus akun itu jumlah yang cukup buat daftar affiliate. Nanti kita bisa buat konten yang jujur dan relate dengan netizen. Aku bantu edit. Di dekatmu ini editor dan kameramen yang otw profesional!” Kalib mengedipkan sebelah mata kanannya ke arah Zindy.
“Bisa aja. Ada ya editor dan kameramen otw profesional, hahahaa.” Untuk pertama kalinya, Zindy merasa mimpinya tak terlalu jauh untuk digapai.
“Mau mulai dari mana? Mungkin bisa tentukan produk yang mau dipasang di keranjang kuningmu nanti. Kamu cewek niche soal baju dan make up masih masuk lah. Mungkin bisa kita rencanakan pakai coret-coretan kertas dulu.” Kalib memberi kode minta kertas.
“Berarti nanti ngajuin sampel ya? Ehm, bisa sih kalo baju dan make up juga masuk. Makanan juga bisa masuk.” Mata Zindy antusias.
Jika nanti bisa mulai jadi affiliate, aku bisa dapat komisi. Bisa bantu Ibu pelan-pelan. Harus semangat.
Kalib mengeluarkan laptop dari dalam kamarnya. Ini pertama kalinya Zindy melihat laptop itu. “Kita lihat apa yang kurang dari akunmu. Jika kamu mau sih, boleh nanti akunmu masuk lewat laptopku. Kita lihat apa yang kurang.”
“Wah, boleh banget, Bang. Aku tetering lewat handpone-ku ya.” Zindy tahu diri, meski dibantu dia tidak ingin merepotkan sepenuhnya.
“Nggak usah, pake data seluler punyaku aja. Kuotaku masih banyak tapi masa tenggangnya udah mau habis. Sayang kalo terbuang.” Kalib tersenyum.
“Makasih, Bang. Kamu baik banget, deh.”
Udah manis. Baik lagi. Aduh, kok aku merasa agak dag dig dug ya. Ih, apaan sih, Zin. Pikirkan dulu affiliate ini.
“Nih, masukin akun Toktok-mu.” Kalib menyerahkan laptopnya pada Zindy. Tidak lama kemudian, akun itu terbuka. “Ehm, konten kamu sudah punya warna. Ayo, kota rapihin deskripsinya buat apply affiliate. Harus totalitas.”
“Siap, Bang. Ini praktek Kewirausahaan yang menyenangkan!” Zindy antusias. Keduanya saling memberi masukan untuk merapikan caption di konten Zindy. Tak bisa dipungkiri, aplikasi AI juga dijadikan bahan referensi.
“Udah lumayan rapi. Kita coba apply beberapa produk dulu. Ehm. Mungkin dari brand yang baru mulai dulu. Yang penting dapat sample.” Layar laptop Kalib menunjukkan form pengajuan produk sample.
Zindy tanpa sadar gemetar saat melihat hal itu. “Wah, beneran aku udah sampe ditahap ini?” Tangannya tanpa sadar mengelus layar laptop itu. Rasanya dag dig dug. Bukan takut ditolak tapi lebih ke beneran aku otw jadi affliate?”
“Ya beneran, dong. Ini bukan mimpi!” Kalib tersenyum. “Mau aku bantu cubit?”
“Ih, nggak usah. Nanti sakit lagi. Aku cubit sendiri aja pipiku.”