“Oh, ini seleb Toktok sekolah kita!” Teriak Sella saat Zindy hendak menawarkan dagangannya di jam istirahat.
“Orang lain mah bisa FYP karena prestasi. Kamu mah apa? Cuma modal cari simpati aja!” Vira tak mau kalah.
“Cari simpati terus pura-pura nggak punya duit, sok lemah! Sok cantik pula!” Dhea ikut nimbrung.
Zindy menghela napas panjang. “Jangan hina aku! Aku sedang berjuang untuk hidupku sendiri. Kalian mau apa pun tinggal minta! Aku harus mandiri biar bisa bayar SPP! Terserah mau bilang apa! Aku dibilang sok cantik. Oke, berarti aku emang cantik. Buktinya kalian iri. Aku sok seleb. Oke, berarti aku punya talenta buat jadi dikenal orang. Aku nggak mau ya berkelahi. Kalian minggir atau aku viralkan di vlog karena kalian bully aku!” Zindy berkacak pinggang. Dia memasang tatapan tajam. Kamera smartphone-nya sudah mengarah ke arah Sella.
“Kamu….” Sella ingin membalas lagi.
“Udah, Sel. Gue takut FYP. Videonya Zindy pernah FYP.” Dhea menarik tangan Sella.
“Ayo pergi aja!” Vira juga mulai takut.
“Woah, Zindy keren!” Terdengar suara Rara. Ucapan itu tak dipedulikan. Bendungan ketahan Zindy runtuh. Air mata berderai dari wajahnya. Dia segera berlari menuju kamar mandi.
Jahat banget. Mulut toxic itu jahat banget. Keterlaluan. Aku berjuang buat pendidikanku yang udah di ujung tanduk. Sakit banget. Dikatain sok seleb dan sok cari perhatian. Kalau hidupku keluarga cemara nggak bakal aku begini. Aku beneran berjuang biar bisa lulus SMA dan bayar SPP.
“Zindy!” Seseorang memanggil Zindy. Suara itu familar, tapi Zindy tak menghiraukannya.
“Lihat Zindy nggak?” Rara bertanya pada Leon. Dia hendak masuk ke kelas.
“Tadi lari ke arah sana.” Tunjuk Leon. “Dia kenapa? Kok lari sambil menangis?”
“Di-bully sama Sella. Mulut mereka memang toxic. Temen gue tuh beneran dagang dan jadi konten kreator pemula biar bisa mandiri dan bayar SPP. Malah dikatain sok caper dan sok cantik. Udah, gue nyusul dia dulu.” Rara berlari menuju arah itu.
Zindy menangis di depan toilet wanita. Kakinya ambruk. Dia menangis sambil memeluk lututnya. Rara bergegas menghampirinua.
“Zin….” Panggil Rara.
“Aku capek…..” Zindy langsung memeluk Rara. “Aku cuma pura-pura sok kuat. Padahal aslinya rapuh. Kalo boleh milih aku juga pengen jadi anak keluarga cemara!”
“Iya. Udah, nggak papa. Keluarkan semua unek-unek kamu. Istirahat dulu.” Rara membelai lembut rambut Zindy.
“Aku pengen segera pulang dan istirahat.” Keluh Zindy. Dia menyeka air matanya dengan kain dasi abu-abu yang terikat di lehernya.
“Ada apa kok lesu? Tugasnya susah ya?” Kalib mengamati keadaan Zindy. Dia biasanya semangat membuat konten. Tapi tidak untuk malam itu.
“Aku di-bully. Dikatain sok cari perhatian, cuma jual simpati dan sok cantik. Tadi aku menangis di sekolah.” Rara mengeluarkan isi hatinya. “Aku berani cerita ini waktu Ibu lembur dan Nenek baru di dapur ya. Jangan bilang ke mereka.”
“Nggak usah didengarkan. Mulut toxic akan selalu ada. Mereka cuma bisa nyinyir tapi kamu beneran bisa mandiri. Bantu ibumu melunasi SPP. Di masa depan, siapa yang mentalnya kuat dialah yang bertahan. Nggak papa. Takdir ingin kamu lebih kuat sejak dini.” Hibur Kalib.
“Makasih Bang. Aku merasa beneran punya kakak. Capek rasanya jadi anak sulung perempuan lagi.” Zindy berusaha kembali mengerjakan tugas sekolahnya.
“Mau aku buatkan minuman cokelat nggak?” Kalib mengeluarkan minuman coklat sachetan dari dalam kamarnya. Minuman yang tergolong murah itu familiar di mata Zindy.
“Wah, coklatos. Enak tuh diminum di malam yang dingin.” Zindy mulai tertarik.
“Katanya minum atau makan cokelat bisa buat hati merasa lebih baik. Aku buatkan sebentar ya.” Kalib berjalan menuju ke arah dapur. Tak berselang lama, dia membawa nampan berisi dua gelas minuman cokelat instan hangat.
“Wah, makasih, Bang.” Zindy tersenyum saat menerima minuman itu.
“Nggak usah dipikirkan orang toxic kayak gitu. Iri tanda tak mampu. Doakan saja dirimu yang baik-baik. Nanti biar semesta yang balas orang toxic kayak gitu. Energi negatif bakal balik ke pemberinya. Maafkan,lupakan dan doakan hal-hal baik untuk dirimu sendiri. Mandiri sejak dini itu keren!” Kalib mengacungkan dua jempolnya ke arah Zindy.
“Abang bisa aja. Aku merasa punya kakak. Jadi anak sulung itu berat. Harus merasakan beban keluarga juga. Makasih semangatnya.” Seteguk demi seteguk Zindy menikmati cokelat hangat itu.
Aku baru tahu jika coklatos bisa seenak ini. Hatiku jadi lebih tenang dan lebih baik. Senyum Bang Kalib manis banget lagi. Hawa ruang tamu depan ini jadi berasa sejuk.
“Nggak usah sungkan. Kita bisa dibilang senasib. Aku juga nggak punya ayah. Aku tahu rasanya harus mandiri sejak dini.” Kalib mulai meminum cokelat di gelas itu.
“Abang gimana magangnya? Aku SMA nggak tahu rasanya praktek magang kayak gimana.”
“Seperti pekerja pada umumnya. Aku kan PKL di percetakan yang punya studio foto juga. Kadang bantu edit desain. Kadang bantu edit foto dan video. Pokoknya mengaplikasikan ilmu deh. Capek tapi seru. Ada pandangan baru soal dunia industri.” Kalib menunjukkan layar smartphone-nya ke arah Zindy. “Aku nggak sendirian sih. Ada dua temenku juga. Ini fotonya.”
“Oh, bagus. Nggak sendirian. Aku mau istirahat dulu deh. Hari ini memulihkan hati dan mental dulu.” Zindy membereskan akat tulis dan buku pelajarannya.
“Boleh. Kalo capek menepi dulu. Istirahat dulu. Setelah itu bangkit dan berjuang lagi. Good night. Semangat buat besok pagi.” Kalib membereskan gelas kotor itu.
“Aku aja yang nyuci gelas. Tadi kan Abang udah buatin.” Zindy mengambil alih pekerjaan.
“Oke. Aku tidur duluan ya.” Kalib masuk ke kamarnya yang ada di bagian depan rumah itu.
“Waktunya tidur. Istirahat dulu untuk hari ini.” Zindy sudah merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis dan sederhana itu. Dia membuka pesan dari akun Toktok-nya.
Ada akun bernama @leonhardituleon. Pesan itu berbunyi:
Semangat Nona Wirausahawan Muda. Aku siap memborong daganganmu lagi. Mandiri itu keren. Jangan dengarkan omongan toxic.
Dari pelempar bola basket yang viral (waktu itu nggak sengaja sumpah)
Zindy tersenyum manis saat membaca pesan itu. Hatinya berasa lebih lega dan lapang.