“Ternyata cari uang itu sulit ya….” Zindy mengembuskan napas panjang nan dalam. Dilihatnya tumpukan uang recehan koin. Ada juga beberapa lembar uang kertas yang dipisahkan untuk modal jualan. “Bisa untung dua puluh ribu saja udah bersyukur. Bisa buat dikumpulin nyicil SPP bulanan. Nggak papa sedikit lama-lama terkumpul jadi bukit. Harus menyisihkan juga untuk ganti uang Rara. Nggak enak hati aku.”
Sepasang mata kecil mengintip dari kejauhan. Telinganya peka saat ada uang recehan dihitung. Langkah kecilnya menuntunnya ke arah Zindy yang terduduk di atas tikar plastik reyot.
“Wah, uang kakak banyak!” Zean nampak bahagia melihat uang yang dihitung Zindy. “Kak, aku pengen beli sepatu. Aku malu sepatuku udah jebol. Kakak uangnya banyak. Boleh ya Zean minta dikit buat beli sepatu. Yang hitam dan murah aja kok. Aku malu diledekin nggak punya bapak dan sepatu rombeng.”
Pinta lirih dari mulut kecil Zean berasa menghunus hati Zindy. Dia tak kuasa menahan pedih. Adik sekecil itu harus menghadapi kerasnya dunia.
Aku ingin jadi punya banyak uang bukan untuk dipuji tapi agar keluargaku tak merasakan pedih akibat kekurangan lagi. Tolong, Tuhan, mudahkan jalanku. Aku ingin jadi konten kreator sukses.
Tangan Zindy sedikit gemetar. Dia membelai kepala Zean. “Adek,ini uang buat kakak jualan besok. Ini juga masih pinjam dari teman. Sabar ya. Besok kalo kakak punya uang banyak kita jalan-jalan ke pasar, beli sepatu baru sama ayam goreng favorit kamu ya….” Hibur Zindy sambil menahan air mata.
“Janji ya Kak?” Zean tak bisa menyembunyikan wajah kecewanya. Dia menagih janji jari kelingking.
“Iya, Kakak janji.” Zindy berusaha tersenyum. “Kamu sekolah yang pintar ya. Sana belajar dan ngerjain PR dulu. Udah malam.”
“Ya udah. Aku belajar dulu. Zean pengen jadi tentara!” Kaki mungil itu melangkah menuji kamar.
“Jika hanya mengandalkan berdagang takkan cukup. Aku harus cari tambahan. Sepertinya harus benar-benar niat jadi konten kreator. Aku bukan siapa-siapa.” Zindy bertarung dengan isi kepalanya. “Jika aku kerja partime mungkin bisa, tapi Zean siapa yang jaga. Nenek juga udah tua. Beresiko jika ditinggal sendirian. Mungkin besok bisa coba dagang menu yang lebih bervariasi tapi jenisnya banyak.”
Zindy membuka akun Toktok-nua. Nambah followers yang baru belasan. Enam ratus followers. Jumlah minimal yang berasa sulit dicapai bagi orang biasa seperti Zindy.
“Apa aku bikin konten ASMR waktu menata dagangan juga ya? Tadi udah sedikit take sih buat mini vlog.” Zindy menghela napas. Smartphone usang itu sudah lamban saat digunakan membuka file berat. “Mau ngeluh tapi nggak boleh. Mungkin di luar sana banyak yang handphone aja nggak punya. Beli benda ini perjuangan banget. Ngumpulin uang jajan sama uang pemberian waktu lebaran. Meski second tapi bisa menunjang jika ada keperluan info lewat grup Wawa.” Zindy mengelus smartphone itu. Smartphone dengan layar yang sedikit retak. Dibeli secara second dengan harga enam ratus ribu rupiah. Ukuran memorinya tidak besar tergolong sudah usang untuk tahun 2025. Spesifikanya ROM 4 GB dan RAM 64 GB.
“Handphone ini udah jaman dulu banget. Please, jangan rusak dulu. Aku masih butuh kamu buat bikin konten dan info sekolah. Aku jujur nggak tahu cara bikin konten yang bagus. Tapi nggak boleh nyerah. Ini bukan zaman batu. Zaman udah canggih. Udah banyak tutorial di Yutub atau Toktok. Kayaknua aku harus lebih hemat uang saku buat beli kuota. Ah, kalo nggak ke tempat warung wifi yang pake voucher aja deh biar hemat.” Zindy melihat ke arah jam di smartphone-nya. “Masih belum malam banget. Bisa lah ke warung Pak Didin, buat beli wifi yang pake voucher. Tapi, aku malu. Di sana kan kebanyakan anak-anak pada main game. Oh ya, ajak Zean aja. Bilang aja nememin Zean main. Nanti habis aku selesai belajar cara edit dan upload konten di Toktok. Setengah jam bisa lah buat Zean main.”
Zindy mencari adiknya yang tengah belajar di atas meja belajar. Mata kecil Zean seolah kaget menatap kedatangan kakaknya. Tangan Zean ditarik Zindy.
“Temenin Kakak. Aku mau ke warung Pak Didin. Butuh wifi yang kencang. Ayo, temenin!” Zindy menarik pergelangan tangan adiknya.
“PR Zean belum selesai, Kak.” Keluh Zean.
“Nanti kerjain di sana aja. Ayo, ini penting. Mumpung belum malam banget!” Zindy terus membujuk Zean.
“Nanti kamu boleh deh, setengah jam main game pake handphone Kakak.” Zindy tak kehilangan akal.
“Ayo, gas!” Zean mengiyakan bujukan itu.
Kajak beradik itu melangkah menuju warung kopi yang juga menjual voucher wifi paketan. Bagi Zindy, membeli kuota merupakan hal mewah. Sangat sayang jika harus merelakan jatak kuota internetnya untuk men-download aplikasi dan menonton video.
“Eh, Zindy. Tumben, malam-malam ke sini. Mau pesan apa?” Bu Dindin menyapa dengan ramah.
“Mau wifi-an, Bu. Mau beli voucher yang tiga ribu aja. Ada?” Tangan Zindy sudah memegang uang receh sejumlah tiga ribu rupiah.
“Ada. Masoh banyak. Mau beli berapa?” Tangan Bu Didin mengambil voucher wifi berupa kertas kecil dari guntingan kertas HVS putih itu.
“Satu aja, Bu.” Zindy menyodorkan uang dan menerima voucher wifi itu.
Warung itu ramai dengan anak-anak remaja yang sibuk bermain game. Kehebohan terdengar dari arah gerombolan mereka. Zindy memilih tempat duduk di pojokan bersama Zean.
“Kapan ya Ayah pulang? Zean kangen. Aku juga pengen punya handphone bagus kayak mereka Kak. Yang bisa buat main mobile legend sama free fire.” Keluh Zean. “Zean malu buat keluar. Cuma bisa bengong aja liat temen main. Semua temen Zean punya handphone bagus buat main game….”
Zindy malah merasa bersalah sudah mengajak Zean ke warung kopi itu. Dia tak tega melihat Zean yang merasa tersisihkan. Mata mungil adiknya tak bisa berbohong.
“Nanti Zean main pake handphone Kakak aja gimana?” Hibur Zindy.
“Handphone Kakak nggak kuat. Kan dulu udah pernah nyoba Zean instal di situ.” Zean menundukkan kepalanya di atas meja. Dia tak antusias lagi.
“Sabar ya. Besok kalo Kakak punya uang besok kita beli handphone yang bagus ya. Udah, sekarang Zean lanjut belajar lagi ya.” Zindy mengeluarkan kata-kata penghibur sebisanya. Dia tak mungkin pulang. Uang tiga ribu rupiah itu sangat berharga. Harus ada ilmu dan konten yang didapatkan malam ini.
Zindy mulai memasukkan kode voucher di kertas itu agar bisa terhubung ke wifi warung. Dia segera membuka aplikasi Yutub. Video yang dia cari berupa tutorial menjadi konten kreator sekaligus cara mengedit video yang mudah. Tak lupa dia mencatatnya di dalam buku. Memori smartphone-nya terbatas. Men-download video mungkin bisa tapi itu membuat penuh.
“Jadi, aku harus konsisten buat upload video.” Pikiran Zindy berusaha memahami tutorial itu. “Harus tentukan niche juga. Niche kayak tema konten di akunku.”
Zindy membuat catatan di buku tulisnya: Konten kreator sukses 2025, Zindy, tukang jualan di sekolah. Isinya tentang keseharian jadi tukang jualan di sekolah. Niche-nya kehidupan anak SMA yang berusaha jadi wirausaha muda.
“Wirausaha muda. Kayaknya keren juga, hihihi!” Zindy tanpa sadar tersenyum. “Ngedit yang paling mudah bisa lewat aplikasi Toktok tapi lebih bagus kalo pake CutCap. Handphone jangan meledak dulu ya. Aku masih butuh kamu buat belajar dan bikin konten. Malam ini coba upload video pendek tadi deh. Yang menata jualan dan jualan di kelas tadi.”
Pikiran Zindy bertempur memikirkan hook konten yang bagus. Zindy's Vlog awalnya dipilih. Tapi nampaknya terlalu panjang. Akhirnya dipilihlah nama Zinvlog. Video pendek itu berusaha Zindy edit di dengan smartphone yang sering menunjukkan peringatan memori penuh. Judul Zinvlog A Day In My Live Jualan Di Sekolah akhirnya terpilih. Video pendek itu coba di upload Zindy di akun Toktok miliknya.
“Tolong, semoga banyak yang menonton. Jangan lupa tambahkan sound yang viral ,caption dan hastag.” Tangan Zindy mengedit video itu. Hatinya terus berdoa semoga ada harapan dan rahmat lewat usahanya ini. Bibir Zindy tersenyum saat angka 100% terpampang kecil di pojok kiri atas layar. “Susah selesai. Semoga view-nya banyak.”
Zean tak terdengar suaranya. Ternyata dia sudah tertidur di atas buku tulisnya. Hati Zindy sedikit sakit melihat Zean yang turut merasakan duka saat usia sekecil ini.
“Dek, Kakak janji. Pokoknya kita harus bahagia!” Zindy menggendong Zean pulang.