“Kamu mau jualan?” Rara tak jadi terpejam saat mendengar suara lirih Zindy.
“Iya, mau jualan. Jualan makanan ringan gitu. Kayak yang dijelasin Pak Guru tadi. Ada opportunity atau kesempatan. Anak-anak pada malas gerak mau ke kantin. Aku nggak ada saingan kalau jualan. Udah genting kondisiku. Tagihan SPP punyaku udah nunggak banyak. Aku harus bisa bertahan sampai lulus dan dapat ijazah SMA.” Zindy mulai mencatat rencana untuk berdagang.
“Bisa tuh, Zin. Terus jadiin konten. Siapa tahu bisa viral!” Rara nampak bersemangat. “Nanti aku numpang juga deh, bikin konten buat mengisi akun Toktok-ku. Kalo rame kan bisa narik endorse.” Pikiran Rara sudah jauh terbang melayang.
“Aku tuh jualan buat bertahan hidup beneran, Ra. Bukan buat mainan. Udah di ujung tanduk kondisiku, tuh!” Wajah Zindy cemberut.
“Mulai aja dulu. Kan belum dicoba. Konten ibu-ibu nyuci baju di sungai aja ada yang nonton dan bisa viral kok. Jalan rejeki tuh nggak ada yang tahu. Sapa tahu videomu FYP terus ribuan yang nonton. Jangan putus asa dulu. Belum dicoba juga. Jadiin konten yah!” Bujuk Rara.
“Iya, deh. Aku pikirin nanti. Ini baru mikir modal buat jualan darimana….” Zindy mulai menulis perkiraan uang belanja untuk modal berjualan. “Mungkin nanti bisa jual barang di rumah dulu….”
“Ini, pakai duitku dulu!” Lima lembar uang warna merah tua langsung digeletakkan di atas buku Zindy.
“Hah!” Zindy refleks membekap mulutnya. Dia sangat jarang melihat uang sebanyak itu. “Kamu dapat uang sebanyak ini darimana?”
“Itu uang jajanku kalo mau treatment. Hari ini jadwal treatment ke klinik kecantikan. Tapi, pakai aja dulu, deh. Nanti aku kan mau numpang bikin konten juga. Buat mengisi akun Toktok-ku aja. Sapa tahu banyak yang likes. Pemula ini, baru berjuang nyari 600 followers biar bisa pasang keranjang kuning.” Rara tersenyum membayangkan konten yanv akan dia buat.
“Kamu baik banget, Ra.” Air mata Zindy menetes.
“Eh, jangan nangis.”
“Aku beneran bingung. Harus gimana biar SPP-ku lunas. Ayahku udah lama pergi. Nggak ada kabar. Terakhir bertengkar sama ibuku. Kamu baik banget. Aku bersyukur bisa punya temen kayak kamu.” Zindy mengusap air matanya dengan kain lengan bajunya.
“Ini, aku punya tisu kok. Jangan nangis. Nanti orang-orang salah paham sama aku. Bisa dikira aku bully kamu.”
“Nggak bakal. Kamu kan sahabat baikku.” Zindy tersenyum.
Dalam kisahku memang banyak durinya. Tapi aku bersyukur semesta masih mengirim kebaikan lewat orang-orang baik seperti sahabatku. Hanya karena beberapa orang toxic, bukan berarti dunia ini sepenuhnya kejam.
Rara menyimpan uang itu dengan sangat hati-hati ke dalam tasnya. Benda berharga itu tidak boleh hilang. Secercah harapan untuk menyambung hidup dan masa depannya.
Suara denting keyboard piano menggema di dalam rumah itu. Sudah lama, Zindy tak melihat ibunya bermain keyboard itu. Suara indah dari melodi lagu menghayutkan. Seokah membuat lupa sejenak beban hidup.
“Ibu, udah bisa main keyboard? Token rumah udah nggak bunyi lagi. Ibu udah dapat pinjaman uang dari mana?” Zindy heran.
“Ada temen kerja Ibu tadi berbaik hati kasih pinjem uang buat bayar listrik. Rencananya Ibu mau jual keyboard piano ini. Ini keyboard yang nemenin Ibu waktu jadi mahasiswa jurusan seni musik dulu. Mau Ibu jual atau gadai dulu buat bayar biaya sekolah kamu. Setidaknya bisa mencicil.” Mata Ibu berkaca-kaca. “Maaf ya buat kamu susah. Keuangan kita memang baru down. Ibu cuma mengetes keyboard ini. Dulu kuliah jurusan seni musik. Pengennya jadi guru seni musik. Tapi, kenyataannya kalau jadi guru honorer gajinya kecil. Ibu nggak bisa kayak gitu terus. Jadi guru di sekolah swasta saingannya banyak. Ibu udah kalah umur. Mau kerja jadi pemain musik, Ibu juga udah kalah saing, Nak. Banyak yang lebih muda dan lebih jago daripada Ibu.” Ibu mengusap air matanya.
“Jangan dijual, Bu. Ini kan benda pemberian almarhum Simbah Kakung. Ibu simpan aja. Zindy mau izin bantu jualan mulai besok di sekolah! Ini ada modalnya!” Lembaran uang kemerahan itu ditunjukkan kepada Ibu.
“Kamu dapat uang dari mana?” Ibu kaget.
“Rara kasih pinjam, Bu. Dia sahabat baik Zindy di sekolah. Anak orang kaya tapi nggak sombong. Nggak usah gadai keyboard. Itu benda kenangan. Mungkin juga kalau dijual harganya murah. Kan udah ketinggalan zaman, Bu.” Zindy tak yakin keyboard itu bisa terjual mahal.
“Keyboard ini memang udah tua dan jarang dipakai sejak Ibu berhenti jadi guru seni musik. Tapi, sejak dulu Ibu rawat dengan sungguh-sungguh. Ibu selalu lap tiap minggu dan dijaga biar tetap hidup. Meski cuma main, satu lagu.” Tangan Ibu mengusap keyboard itu. “Kamu ingat nggak? Dulu waktu kecil suka Ibu ajarin kenal nada pakai keyboard ini?”
“Ingat, Bu. Itu masa yang manis. Waktu Ayah masih ada. Udah, deh, Bu. Nggak usah ingat masa lalu.” Zindy tak mau mengingat hal itu. “Aku pengen berjuang juga buat hidupku. Pengen menulis nada indah dengan caraku sendiri. Meski aku juga nggak paham nada tapi pengen bikin lagu di hidupku nggak cuma sedih tapi happy ending, Bu. Izinkan Zindy jualan ya, Bu….” Pinta Zindy.
“Kamu masih kecil. Sekolah aja dulu. Ibu masih kuat cari uang. Cari uang itu tanggung jawab Ibu, Nak.” Ibu menggelengkan kepala.
“Tapi, aku cuma jualan di sela-sela istirahat kok. Buat bantu temen-temen yang malas ke kantin juga, Bu. Aku udah kelas sebelas, Bu. SPP masih nunggak. Aku juga pengen kuliah. Kuliah kan butuh biaya jutaan, Bu. Aku nggak mau kalo harus gap year.” Bujuk Zindy.
Suasana hening sangat terasa di malam dengan rintik hujan itu. Mata Ibu dan Zindy saling bertatapan dengan serius. Keduanya saling beradu dengan pikiran masing-masing. Ibu mengembus napas dalam-dalam.
“Ya udah. Boleh. Ibu nggak menyangka kalo kamu udah punya pemikiran sematang ini. Asal jangan sampai lupa belajar.” Ibu memeluk Zindy dengan hangat. “Ibu doakan Zindy jadi anak sukses. Lebih sukses daripada Ibu.”
“Baik, Bu. Aku pasti tetap rajin belajar.” Zindy tersenyum.
Dunia boleh kejam. Tapi, aku masih punya Ibu. Doa Ibu selalu menyertaiku. Kehangatan dan iringan doanya membuatku yakin dan berani terbang lebih tinggi lagi meski rasanya mustahil.