“Apaan sih Ra!” Teriak Zindy. Dia kaget saat tiba-tiba Rara - teman sebangkunya - menarik tangannya dan sembunyi di balik pintu kelas.
“Sst!” Rara memberi isyarat untuk diam.
Dari kejauhan nampak seorang cowok tampan yang populer. Namanya Leon. Dia adalah kapten basket di sekolah Zindy berada. Cuek tapi memikat, itulah kesan pertama yang terpancar saat melihat wajah tampan dan manis Leon. Mata Zindy tak bisa berbohong. Dia juga turut tersihir dengan ketampanan Leon. Leon masuk ke kelas sebelah, tepat di samping kelas Zindy.
“Apaan sih!” Protes Zindy. “Hidupku tuh udah berat! Nggak ada waktu aku mikirin cinta-cintaan kayak begini.”
“Ih, kan kamu sendiri yang bilang dia ganteng. Gimana sih!” Wajah Rara manyun sambil duduk di kursi samping Zindy. “Hari ini pelajarannya apa?”
Zindy terperangah. Mulutnya menganga. Dia masih tak percaya dengan kalimat yang dia dengar. “Pelajaran matematika, Nona!”
Buku mulai dikeluarkan Zindy dari dalam tas lusuhnya. Nampak Bu Suci masuk bersama seorang mahasiswi yang memakai almamater warna biru tua. Mata Rara langsung bersinar.
“Ra, lihat!” Tangan Rara menunjuk ke arah mahasiswi yang sedang praktek mengajar itu.
“Kenapa?” Zindy cuek.
“Itu almamater kampus impian gue, Zin. Ortuku maunya aku masuk ke kampus sebelah yang almamaternya warna coklat. Tapi, aku maunya di kampus itu yang almamaternya warna biru tua.” Mata Rara seolah tak berkedip menatap ke arah yang sama sejak tadi.
“Kamu mau jadi guru? Itu kan kampus di Yogyakarta.” Zindy mengamati almamater itu.
“Ih, kan jurusannya nggak cuma jadi guru aja. Ada yang lain juga. Papi maunya aku jadi dokter. Tapi aku pengennya manajemen. Pengen kerja kantoran aja. Pokoknya, gue harus bisa masuk lewat jalur ujian tulis!” Rara berapi-api.
“Kan SNBP (Seleksi Nasional Berbasis Prestasi) belum mulai. Kamu udah putus asa aja!” Zindy mulai mencatat materi.
“Aku tuh sadar diri, tahu! Otak pas-pasan belum tentu masuk siswa eligible. Udah harus mulai minta cari tempat les yang oke ke Papi. Nanti deh aku mau sharing soal ini!” Rara juga mulai sibuk menulis.
Sharing ke Papi? Enak ya punya keluarga cemara. Bisa curhat ke ayah dan ibu. Didukung bisa kuliah. Aku bisa nggak ya kuliah? Melunasi SPP saja sulit. Tapi pengen juga ngerasain kuliah kayak yang lain. Kalo nggak kuliah, aku bingung mau jadi apa. Impianku kan kerja di BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang katanya gajinya gede. Semoga ada jalan deh.
Bunyi melodi dari bel elektrik itu menjadi hal yang ditunggu para siswa. Rara nampak kegirangan mendengar bunyi itu. Dia segera mengemasi alat tulisnya.
“Otakku mau rontok! Matematika itu nggak cocok buatku!” Keluh Rara. Dia menatap ke arah Zindy. “Tahu, aja kalo aku baru lapar!” Rara langsung mencomot tempe dari kotak bekal Zindy.
“Itu tempe udah dari kemarin. Kamu sakit perut nggak nanti?” Mata Zindy melotot.
“Aku tuh bukan princess yang lemah, tahu! Badanku tuh kuat nggak lembek. Lapar, tapi pengen jalan ke kantin malas. Jauh banget! Ini sekolah luas tapi kenapa kantinnya di taruh di ujung utara sih! Kan kelas yang di sebelah selatan malas banget kalo mau jalan ke ujung!” Keluh Rara lesu. Dia menyandarkan kepalanya di atas meja. “Makan bekalmu aja, deh!” Tangan Rara mencomot lagi tempe dari kotak bekal Zindy.
“Iya, boleh. Apa sih yang nggak buat kamu! Aku juga baru diet.” Zindy sedikit berbohong.
“Rambutku rapi nggak?” Rara menunjukkan rambutnya sambil memegang kamera depan.
“Kamu pasti mau main Toktok lagi ya? Kali ini pake filter apa lagi?” Zindy menghela napas.
“Eh, siapa tahu videoku viral terus FYP. Zaman udah canggih. Coba aja dulu. Lagian aku juga cuma bikin nari-nari pake filter kok. Bukan konten aneh-aneh!” Rara mulai menggerakkan tangannya menari-nari dengan gerakan velocity. “Ayo, Zin. Ikut. Baru trend velocity nih!”
“Nggak, ah! Kamu aja!” Tolak Zindy. Dia membuka smartphone miliknya. Layarnya sedikit retak. Softcase-nya sudah lusuh. Warna yang tadinya bening nampak coklat kekuningan.
Handphone boba logo apel emang bening banget ya kameranya. Enaknya punya keluarga cemara. Katanya nggak boleh iri, tapi liat takdirnya Rara kayaknya mulus banget nggak ada lubangnya sama sekali. Nggak kayak aku. Bergelombang, penuh batu. Apa aku jadi konten kreator aja ya? Tapi, apa yang mau dikontenin. Hidupku kayak roller coaster begini. Lebih banyak curamnya daripada gembiranya.
Pikiran Zindy larut dalam lamunan itu. Tangannya tanpa sadar membuka aplikasi Toktok. Nampak video ibu-ibu dengan rumah terbilang sederhana sedang mencuci baju. Video pendek itu banyak yang menonton. Beribu likes nampak terpampang jelas di halaman video itu.
“Video kayak gini bisa viral bahkan FYP (For Your Page).” Zindy heran. “Apa aku mulai bikin konten aja ya?”
“Iya, mulai aja dulu! Sapa tahu rejeki. Mukamu kan juga lumayan, Zin. Kuning mulus.” Celetuk Rara. “Ayo ikut aku bikin video velocity!” Bahu Zindy ditarik ke arah kamera.
“Aku sadar diri, Ra. Wajahku nggak cantik. Hidungku pesek. Nggak glowing kayak ubin mukaku tuh. Handphone-ku juga nggak canggih kayak punyamu. Jelek pasti kalo buat bikin video.” Zindy menyingkir dari frame kamera depan itu.
“Ih, coba aja dulu. Aku juga nggak manis-manis amat. Sapa tahu jadi jalan rejeki. Nih, banyak lho yang bikin konten. Penduduk negara kita tuh ratusan juta, Zin. Bisa ditonton ribuan orang aja udah bagus. Mulai aja dulu, deh. Mukamu tuh cuma perlu dirawat dikit. Pakai basic skincare aja….”
“Buat bayar SPP aja sulit. Mau mikirin skincare….” Zindy melihat wajahnya di cermin kecil bekas bedak yang habis.
“Ya udah, nih. Aku pesanin!” Rara menunjukkan aplikasi market place miliknya. “Kebetulan skincare-ku juga abis. Aku juga pesan buat Mbak asisten rumah tangga di rumah juga.”
“Nggak perlu. Aku nggak mau bikin kamu repot. Nanti uang sakumu kurang. Pakai aha buat dirimu sendiri.” Tolak Zindy.
“Nggak papa. Kamu tuh satu-satunya temen yang tulus temenan sama aku. Yang lain cuma mengincar duitku aja. Aku cuma punya kamu, Zin. Kamu tuh selalu oke aja kalau aku chat. Hidupku tuh dari luarnya aja sempurna. Padahal kosong. Mami kerja dan Papi juga kerja. Aku anak tunggal,di rumah cuma sama Mbak. Iya, sih duit banyak. Tapi kan aku juga butuh perhatian.” Keluh Rara. “Hape emang boba, dijemput pake mobil, tapi Papi sama Mami jarang ada waktu buatku.”
“Sabar, ya. Udah, ayok. Aku mau ikut velocity, deh!” Zindy mengiyakan ajakan Rara.
“Nah, gitu dong!” Rara semangat merekam aksi mereka berdua. Jam pelajaran selanjutnya kembali mulai. Pelajaran selanjutnya Kewirausahaan
Rara menyimak materi sambil menahan kantuk. Zindy menyimak dengan serius. Dalam pelajaran itu dijelaskan analisis SWOT saat akan memulai usaha. Analisis SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) dalam suatu proyek atau bisnis.
“Apa aku jualan aja ya mulai besok?” Zindy berpikir hal itu lagi.